Menghafal Al-Qur’an atau sering disebut tahfiz Al-Qur’an adalah tradisi yang mengakar kuat di kalangan umat Islam. Sejak diwahyukan pertama kali, Al-Qur’an senantiasa dihafal dan diamalkan oleh nabi Muhammad saw, para sahabat serta umat Islam. Oleh sebab itu, Nasr Hamid Abu Zaid menyebutkan bahwa Al-Qur’an hadir dalam ruang sosial dan menjadi pembentuk tradisi kaum muslimin (muntaj wa muntij al-tsaqafi).
Sepanjang sejarah, tradisi tahfiz Al-Qur’an ini senantiasa hadir mengiringi kehidupan umat Islam dan terus berkembang dari masa ke masa. Setidaknya ada dua faktor kenapa hal tersebut bisa terjadi, yakni: 1) kesakralan Al-Qur’an di mata umat Islam. Dalam konteks ini, Al-Qur’an menjadi pusat kehidupan mereka; 2) quranic cultures. Pada banyak kasus, para penghafal Al-Qur’an dipengaruhi oleh faktor sosial-kultural dalam upaya menghafal Al-Qur’an.
Dalam sejarah dan dinamika tradisi tahfiz Al-Qur’an, ada satu hal yang menarik untuk dikaji, yakni proses dan metode tahfiz Al-Qur’an yang memiliki tingkat adaptasi tinggi terhadap perkembangan sosial, budaya, serta teknologi masyarakat. Abdul Jalil dalam tulisannya, “Studi Historis Komparatif Tentang Metode Tahfiz Al-Qur’an”, menjelaskan bagaimana metode tahfiz Al-Qur’an senantiasa membarengi teknologi yang ada.
Di sana ia menerangkan bahwa metode tahfiz Al-Qur’an menyesuaikan dengan peranti-peranti perekam wahyu Al-Qur’an pada masanya. Mulai dari hafalan dari mulut ke mulut (oral tradition), kodifikasi Al-Qur’an melalui tulisan, percetakan Al-Qur’an, hingga teknologi audio dan video ayat Al-Qur’an. Kehadiran peranti tersebut secara tidak langsung turut serta mengembangkan metode tahfiz Al-Qur’an.
Tahfiz Al-Qur’an Pada Masa Nabi Muhammad Saw dan Sahabat
Pada masa nabi Muhammad saw, setiap kali Al-Qur’an turun, beliau menerimanya, mengafalnya, dan menyampaikannya secara tartil kepada para sahabat, baik laki-laki maupun perempuan. Setelah para sahabat menghafalnya, maka mereka kemudian menyebarkan apa yang dihafal kepada pasangan, anak-anak dan sahabat lain yang tidak hadir pada saat itu. Dengan demikian, pasca beberapa hari ayat Al-Qur’an yang turun telah dihafal oleh sebagian besar sahabat.
Jadi, selain nabi Muhammad saw (al-mu’allim al-awwal), beberapa sahabat juga turut menjadi guru atau pengajar Al-Qur’an (muhaffiz). Diantara sahabat tersebut adalah Khabbab bin al-Arat (w. 37 H) yang sering mendatangi muridnya dari rumah ke rumah pada periode Makkah dan ‘Abdullah bin Mas’ud atau lebih dikenal Ibnu Mas’ud (w. 32 H), sahabat pertama yang secara terang-terangan membaca Al-Qur’an di hadapan orang kafir Makkah (al-Sirah al-Nabawiyyah).
Pada periode ini, ada tiga kunci proses atau metode tahfiz Al-Qur’an, yakni: 1) menerima hafalan dengan cara mendengarkan bacaan dari guru yakni nabi saw atau sahabat (al-sama’) dan membacakan hafalan di depan guru untuk dikoreksi; 2) setelah seseorang sahabat dianggap mumpuni, maka ia akan mengajarkan kepada sahabat yang lain; serta 3) upaya menjaga hafalan dalam segala kondisi.
Dalam proses tahfiz Al-Qur’an, para sahabat sangat memperhatikan sanad atau ketersambungan silsilah hafalan dengan nabi Muhammad saw. Misalnya, pada suatu ketika Ibnu Mas’ud diminta untuk mengajari sekelompok sahabat mengenai surat al-Syu’ara. Ia memerintahkan mereka untuk belajar dengan Khabbab bin al-Arat yang menghafal secara langsung di depan nabi saw (Hilyah al-Awliya wa Thabaqat al-Ashfiya).
Perhatian terhadap sanad ini juga dilakukan oleh para penghafal Al-Qur’an pasca sahabat hingga saat ini. Bisa dikatakan bahwa sanad memegang peranan penting dalam proses transmisi Al-Qur’an dari masa ke masa, terutama pada konteks tahfiz Al-Qur’an. Sangat sulit ditemukan – untuk tidak menyatakan tidak ada sama sekali – lembaga tahfiz Al-Qur’an atau individu penghafal Al-Qur’an yang tidak mementingkan sanad.
Tahfiz Al-Qur’an Pasca Kodifikasi Al-Qur’an
Setelah nabi Muhammad saw wafat, para sahabat berinisiatif untuk melakukan kodifikasi Al-Qur’an. Hal ini diinisiasi oleh Abu Bakar atas saran Umar bin Khattab. Kemudian dilanjutkan oleh Utsman bin Affan dalam rangka membenarkan bacaan Al-Qur’an masyarakat. Sebab, kala itu kekuasaan Islam telah memasuki masyarakat non-Arab dan mereka membutuhkan rujukan Al-Qur’an secara tertulis (Rahiq al-Makhtum).
Pasca kodifikasi ini, metode tahfiz Al-Qur’an mulai berkembang. Jika sebelumnya – mayoritas – proses menghafal bertumpu pada talaqqi dan pendengaran dari nabi Muhammad saw atau sahabat, maka pada fase ini proses tersebut dibantu oleh mushaf Al-Qur’an. Bisa dikatakan bahwa Al-Qur’an tertulis menjadi rujukan atau sumber alternatif dalam mempelajari Al-Qur’an.
Meskipun demikian, kehadiran Al-Qur’an tertulis atau mushaf tidak serta merta menggantikan proses talaqqi atau mendengar dari guru. Ia hanya menjadi sarana pembantu proses pembelajaran Al-Qur’an agar lebih mudah. Para penghafal tetap mengandalkan bacaan guru (muhaffiz) sebagai rujukan utama. Mushaf kala itu berfungsi sebagai alat mnemonic sekaligus tolak ukur kesahihan suatu bacaan.
Pada fase ini muncul metode tahfiz Al-Qur’an dengan cara menulisnya terlebih dahulu. Tindakan ini sebenarnya juga telah dilakukan sebagian sahabat nabi saw, hanya saja tidak lumrah digunakan. Pasca kodifikasi Al-Qur’an, metode tahfiz dengan menuliskan ayat Al-Qur’an terlebih dahulu mulai merebak dan banyak dilakukan oleh lembaga tahfiz, terutama di daerah Maroko.
Tahfiz Al-Qur’an Era Percetakan dan Era Teknologi
Sejarah mencatat bahwa proses percetakan Al-Qur’an telah dimulai sejak tahun 1530 M oleh Paganino dan Paganini di Venice, Italia. Namun cetakan tersebut tidak diterima oleh Turki Utsmani. Menurut Jean Bodin dalam bukunya “Colloquium Heptaplomeres”, hal ini disebabkan oleh dua faktor: 1) secara teologis umat Islam tidak memperbolehkan kitab sucinya ditangani oleh orang kafir; dan 2) Mushaf cetakan Venice memiliki banyak kekurangan dan kesalahan.
Pasca percetakan Al-Qur’an di Venice, sebenarnya ada beberapa upaya percetakan Al-Qur’an yang dilakukan oleh barat, seperti Abraham Hinckelmann di Hamburg (1694 M), Ludovico Maracci (1698 M), Ludovisi Gustav Flugel (1834 M), Al-Qur’an terbitan St. Petersburg (1787 M), Al-Qur’an terbitan London (1833 M) dan lain-lain. Namun kesemua cetakan Al-Qur’an tersebut kurang disukai komunitas muslim.
Adapun mushaf Al-Qur’an yang banyak digemari umat Islam adalah cetakan India (1852 M), Turki (1872 M) dan Mesir (1864). Selain di negara-negara tersebut, di beberapa negara juga mulai ramai percetakan Al-Qur’an seperti di Iran (1828 M), Tibris (1833 M) dan percetakan lainnya termasuk di Indonesia yang diawasi oleh Kementerian Agama.
Seiring dengan hadirnya berbagai cetakan Al-Qur’an, maka aksesnya juga menjadi lebih mudah. Hal ini membuat Al-Qur’an dapat dinikmati oleh berbagai kalangan, baik pelajar maupun orang biasa. Selain itu, percetakan Al-Qur’an membawa perubahan signifikan dalam dunia tahfiz Al-Qur’an di mana peran mushaf menjadi lebih sentral dibandingkan sebelumnya.
Pada fase ini, mushaf yang tercetak menjadi patokan dan standar hafalan. Biasanya para penghafal Al-Qur’an menyetorkan hafalan kepada gurunya berdasarkan sebuah mushaf. Bacaan tersebut kemudian dikoreksi gurunya dan diberi catatan jika ada hal yang penting untuk diperhatikan. Dalam konteks ini, mushaf bersanding dengan guru sebagai rujukan utama, tidak lagi hanya sebatas alat bantu.
Kemudian, perkembangan teknologi audio dan video juga turut serta mengembangkan metode tahfiz Al-Qur’an di dunia muslim. Jika dulu pembelajaran Al-Qur’an dan proses tahfiz-nya hanya terbatas pada satu ruang tertentu, maka pada era ini keduanya dapat dilakukan oleh guru dan murid dalam ruang yang berbeda. Misalnya, tahfiz Al-Qur’an di masa pandemi Covid-19 dapat dilakukan melalui media online atau secara daring.
Terakhir, satu hal yang harus kita ingat berkenaan dengan dinamika tahfiz Al-Qur’an dari masa ke masa, yakni peran sentral seorang guru terhadap muridnya (para penghafal). Mereklah yang – secara sosiologis – menjaga otentisitas Al-Qur’an sekalipun mushaf atau peranti perekam Al-Qur’an berbeda-beda pada setiap masa. Oleh karena itu, kehadiran seorang guru bersanad bagi para penghafal Al-Qur’an mutlak adanya. Wallahu a’lam.