BerandaTafsir Al QuranDua Cermin Kunûz al-Rahmân fi Durûs al-Qur’ân Karya Gus Awis

Dua Cermin Kunûz al-Rahmân fi Durûs al-Qur’ân Karya Gus Awis

Kabar bahagia datang bagi para pecinta dan pemerhati studi tafsir al-Qur’an Nusantara. Pasalnya, K.H. Muhammad Afifuddin Dimyathi (Gus Awis) yang baru saja menerbitkan Tafsir Hidâyat al-Qur’ân pada dua tahun lalu, kini kembali menyuguhkan literatur tafsir yang beliau beri judul Kunûz al-Rahmân fî Durûs al-Qur’ân. Kabarnya, saat ini kitab tersebut sedang dalam proses penerbitan di Mesir. Insya Allâh, awal tahun depan siap didiseminasikan.

Bila dalam al-Syâmil-nya, Gus Awis fokus mendedah aspek-aspek balâghah; lalu dalam Hidâyat al-Qur’ân-nya, secara konsisten menerapkan metode penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an; maka dalam Kunûz-nya itu, langkahnya bergerak lebih jauh. Beliau berusaha menyingkap petunjuk-petunjuk universal yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Petunjuk-petunjuk tersebut pada gilirannya dapat diterapkan dalam konteks kehidupan sehari-hari.

Sebagaimana al-Syâmil dan Hidâyat al-Qur’ân, upaya yang dilakukan oleh Gus Awis dalam Kunûz-nya tidak berangkat dari ruang hampa, tanpa adanya ketersambungan “sanad” dengan masa lalu. Dengan kata lain, tradisi penyingkapan petunjuk universal yang terkandung dalam al-Qur’an telah berlangsung lama. Para mufasir terdahulu telah bahu-membahu melakukannya. Apa yang dilakukan oleh Gus Awis dalam Kunûz-nya adalah meneruskan dan memaksimalkan tradisi mulia itu. Bukti-bukti konkret mengenai ketersambungan Kunûz dengan masa lalunya inilah yang akan diulas lebih lanjut dalam artikel sederhana ini.

Baca Juga: Gus Awis: Tidak Cukup Menafsirkan Al-Quran Hanya Bermodalkan Bahasa Arab

Tujuh Kata Kunci Genealogi Kunûz al-Rahmân

Pada kata pengantarnya, Gus Awis menuliskan bahwa Durûs al-Qur’ân yang dimaksud dalam karyanya ialah ringkasan kandungan yang termuat dalam dilâlât, fawâ’id, irsyâdât, isyârât, mafhûmât, ahkâm, dan maqâshid ayat-ayat al-Qur’an, yang memberi petunjuk pada kebaikan-kebahagiaan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Penggunaan tujuh istilah ini bukan tanpa alasan. Beliau mencerminkan praktik-praktik penafsiran al-Qur’an yang telah dilakukan oleh para mufasir terdahulu.

Tegasnya, tujuh istilah tersebut merupakan kata kunci yang menggambarkan jerih payah para mufasir terdahulu dalam menyingkap petunjuk universal al-Qur’an. Mereka kerap menggunakan tujuh istilah itu saat menuliskan pelajaran-pelajaran penting yang dapat dipetik dari ayat-ayat al-Qur’an. Berikut contoh konkretnya.

Pertama, dilâlât (petunjuk-petunjuk) ayat. Ketika menafsirkan surah Âli ‘Imrân [3]: 21, al-Qurthubî menuliskan, “Ayat ini menunjukkan (dallat hâdzihi al-âyah) bahwa amar makruf nahi munkar merupakan kewajiban bagi umat-umat terdahulu.” Di sini al-Qurthubî menggunakan redaksi dallat (bentuk kata kerja dilâlât) untuk mengungkapkan kandungan umum ayat tersebut, yakni bahwa amar makruf nahi munkar bukanlah kewajiban yang hanya ditetapkan bagi umat Islam. Ia adalah kewajiban yang telah berlangsung sejak lama, dari masa ke masa.

Kedua, fawâ’id (faedah-faedah) ayat. Contoh konkretnya dapat ditemukan dalam Nazhm al-Durar, saat Ibrâhîm al-Biqâ‘î menafsirkan surah al-Hasyr [59]: 10. Ayat ini mengabadikan dan memuji doa orang-orang mukmin yang datang setelah golongan Muhajirin dan Anshar, “Duhai Tuhan Pemelihara kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang mendahului kami dengan keimanan, dan janganlah Engkau menjadikan rasa benci/dengki (ghill) dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Tuhan Pemelihara kami, sesungguhnya Engkau adalah Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Ibrâhîm al-Biqâ‘î menemukan pesan tersirat yang terkandung dalam redaksi doa ini. Beliau menyatakan, “Ayat ini mengandung faedah (qad afâdat hâdzih al-âyah) bahwa seseorang yang di dalam hatinya terdapat rasa dengki (ghill) terhadap salah satu Sahabat (Nabi) radhiyallâhu ‘anhum, tidaklah termasuk orang (beriman) yang dikehendaki oleh Allah dalam ayat ini.”

Baca Juga: Pesan Gus Awis: “Galilah Khazanah Tafsir dengan Manhaj Ulama Kita!”

Ketiga, irsyâdât (tuntunan-tuntunan). Di antara mufasir yang menggunakan diksi ini ketika mengungkap petunjuk universal al-Qur’an adalah Muhammad al-Thâhir Ibn ‘Âsyûr. Bukti konkretnya dapat ditemukan dalam penafsirannya atas surah al-Ahzâb [33]: 61. Di sana beliau menyatakan, “Ayat ini memberikan tuntunan (wa hâdzih al-âyah tursyidu) akan pentingnya mendahulukan upaya memperbaiki perilaku para pelaku kerusakan dari umat ini daripada mengatasi orang-orang selain mereka. Sebab, memperbaiki perilaku para pelaku kerusakan (ishlâh al-fâsid) dapat memberikan kontribusi bagi umat berupa individu saleh atau kelompok saleh yang pada gilirannya umat pun bisa mengambil manfaat dari mereka.”

Keempat, isyârât (isyarat-isyarat). Abû Hayyân al-Andalusî menggunakan redaksi ini saat mengungkapkan kandungan umum surah Ghâfir [40]: 15. Beliau menegaskan, “Ayat ini mengisyaratkan (wa hâdzih al-âyah tusyîru) bahwasannya kenabian bukanlah sesuatu yang dapat diperoleh dengan jalur usaha.” Dengan kata lain, betapa pun bajik dan salehnya seseorang, ia tidak akan bisa mencapai derajat kenabian lantaran kebajikan dan kesalehannya, karena kenabian bersifat ilahi-tawqîfî (murni anugerah Allah).

Kelima, mafhûmât (pemahaman-pemahaman). Salah satu mufasir yang menggunakan redaksi ini adalah Ibn ‘Ajîbah. Ketika menafsirkan surah al-An‘âm [6]: 91, beliau menuliskan, “Dari ayat ini dapat dipahami (wa yufhamu min hâdzih al-âyah) bahwa seseorang yang mengakui turunnya kitab-kitab Allah dan mengimani semua rasul, benar-benar telah memuliakan dan mengagungkan Allah dengan sebenar-benarnya pemuliaan dan pengagungan.”

Keenam, ahkâm (hukum-hukum). Pada kata pengantarnya untuk Kunûz al-Rahmân, Gus Awis memang tidak menunjukkan bukti konkret kerja penafsiran yang dilakukan oleh para mufasir terdahulu yang menggunakan kata kunci keenam ini. Tentu hal ini dapat dimaklumi, mengingat mayoritas—kalau enggan berkata semua—mufasir terdahulu mempraktikkannya, yakni menyingkap kandungan hukum dalam ayat-ayat al-Qur’an. Contoh-contohnya dapat ditemukan dengan mudah dalam karya-karya tafsir yang mereka tulis, lebih-lebih saat mereka berhadapan dengan ayat-ayat hukum. Apalagi tidak sedikit dari mereka yang sejak awal memberi perhatian lebih pada aspek hukum, semisal al-Qurthubî, al-Suyûthî dengan al-Iklîl-nya, al-Jashshâsh, Ilkiyâ al-Harrâsî, Ibn al-‘Arabî, dan lain-lain. Dengan demikian, wajar bila Gus Awis tidak merasa perlu memperlihatkan contoh konkret untuk kata kunci keenam ini.

Ketujuh, maqâshid (tujuan-tujuan). Redaksi ini antara lain digunakan oleh Ibn Juzzî ketika menafsirkan surah al-‘Ankabût [29]: 60. Terjemahan ayat tersebut kurang lebih begini, “Betapa banyak hewan bergerak yang tidak dapat mengusahakan rezekinya sendiri. Allahlah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Ibn Juzzî menyatakan, “Tujuan ayat ini (wa al-qashd bi al-âyah) adalah menguatkan-mengokohkan hati orang-orang mukmin, karena mereka merasa takut akan kemiskinan dan kelaparan saat (keadaan menuntut mereka untuk) berhijrah ke berbagai negeri.”

Baca Juga: Gus Awis: Ulama Muda, Pakar Sastra dan Tafsir Al-Qur’an yang Produktif dari Indonesia

Simpulan

Kunûz al-Rahmân karya Gus Awis tidaklah muncul dari ruang hampa. Kehadirannya mempertontonkan dua cermin sekaligus: jejak-jejak penafsiran hasil jerih payah para mufasir terdahulu di satu sisi dan kesungguhan-kreativitas Gus Awis untuk menapaki-meneruskan jejak-jejak itu di sisi lain. Kelak ketika Kunûz al-Rahmân telah dipublikasikan dan diedarkan di pasaraya tafsir Indonesia, semoga kita, para santri dan peminat studi tafsir al-Qur’an, dapat mengambil manfaat sebanyak-banyaknya dan turut serta dalam mendiseminasikannya, demi terwujudnya pribadi sempurna dan peradaban sejahtera, sebagaimana tercermin dari anak judulnya (Kunûz al-Rahmân fî Durûs al-Qur’ân: Hidâyât Qur’âniyyah wa Tawjîhât Rabbâniyyah li Binâ’ al-Insân wa Ishlâh al-‘Imrân). Wallâhu a‘lam bi mâ fî al-sirr wa al-‘alan.

Khobirul Amru
Khobirul Amru
Dosen Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Sunan Ampel, Surabaya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir isyari surah ar-rum ayat 41

Tafsir Isyari Surah ar-Rum Ayat 41

0
Tafsir isyari surah ar-Rum ayat 41 sekilas tampak sangat berbeda dengan kebanyakan tafsir yang populer atas ayat tersebut. Sebagaimana diketahui oleh khalayak umum, surah...