Sebagai pembuka, sebelum masuk pada intonasi dalam bacaan saktah, penulis tampilkan terlebih dahulu, sebuah gubahan syair yang menyebutkan tempat-tempatnya saktah pada kitab Mustholah at-Tajwid (29) karya KH. Abdullah Umar Fadhlullah .
سَكْتَةُ حَفْصٍ فِي الْكِتَابِ اَرْبَعُ # فِي عِوَاجًا أَوَّلَ كَهْفٍ يَقَعُ
مَرْقَدِنَا عَلَى يَسِيْنٍ عُلِمَتْ # مَنْ رَاقِ نِ الْقِيَامَةِ السَّكْتُ ثَبَتْ
بَلْ رَانَ فِي التَّطْفِيْفِ كُلَّ مَا تَرَى # مِنْ سَكْتَةٍ سِوَاهَا فَاتْرُكْ وَاهْجُرَا
Saktahnya riwayat Hafsh dalam Al-Kitab ada empat, terdapat pada kata عِوَاجًا dipermulaan surat Al-Kahfi. Kata مَرْقَدِنَا pada surat Yasin yang telah diketahui. Kata مَنْ رَاقٍ pada surat Al-Qiyamah telah ditetapkan. Kata بَلْ رَانَ dalam surat Ath-Thathfif. Setiap kamu melihat tanda saktah di selain empat di atas, maka tinggalkanlah!
Tulisan ini tidak akan membahas mengenai bacaan saktah dari tinjauan ilmu tajwid, tapi pada artikel ini penulis ingin melihat hubungan saktah dengan intonasi dan ekspresi. Dalam sebuah perkataan, baik lisan maupun tulisan tentu akan lebih menghayati isi pembahasannya, jika disertai intonasi dan ekspresi yang sesuai konteksnya. Karena dengan demikian seakan Al-Qur’an hidup dan mengajak kita berbicara.
Baca juga: Surah Al-Qalam Ayat 17-29: Kisah Pemilik Kebun dan Sebuah Penyesalan
Begitu halnya dengan bacaan saktah, seakan mengajak pembacanya untuk lebih menyelami makna Al-Qur’an yang sedang dibaca. Sebagaimana dalam Thalai’ Al-Bisyr Fi Taujihi Al-Qira’at Al-‘Asyr (11) dikatakan bahwa saktah lebih menjelaskan makna-maknanya daripada mewasholkan. Karena terkadang dengan diwasholkan akan diasumsikan makna selain makna yang dikehendaki dari ayat tersebut.
Macam-Macam Ekspresi dan Intonasi Saktah
Untuk lebih jelasnya mari kita telaah satu persatu pada beberapa ayat al-Quran. Pada saktah pertama QS. Al-Kahfi [18]: 1-2, yang berbunyi:
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلٰى عَبْدِهِ الْكِتٰبَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَّهٗ عِوَجًا ۜ ١ قَيِّمًا لِّيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيْدًا مِّنْ لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِيْنَ الَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَهُمْ اَجْرًا حَسَنًاۙ ٢
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok; sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik.
Pada kata عِوَاجًا berhenti tanpa bernafas dan dilanjutkan kata قَيِّمًا seakan mengajak pembaca untuk menegaskan bahwa Al-Qur’an itu sungguh tidak ada kebengkokan atau cacat di dalamnya, baik secara lafadz maupun maknanya.
Sebagaimana ketika kita menyatakan sesuatu, kemudian yang diajak bicara terlihat meragukan apa yang kita katakan, maka dibutuhkan penegas biar lawan bicara kita percaya. Oleh karena itu, munculnya قَيِّمًا sebagai penegas tentu ada jeda dengan yang ditegaskan sebelumnya. Jeda ini sangat sesuai dengan pola bacaan saktah.
Sebagai penegas kata قَيِّمًا sangat tepat jika intonasinya tinggi. Apalagi melihat kelanjutan ayatnya yang menjelaskan bahwa Al-Qur’an berfungsi لِّيُنْذِرَ (untuk memperingatkan) dan يُبَشِّرَ (memberikan kabar gembira). Saat kita memberi peringatan tentu intonasi yang sesuai itu tinggi dengan ekspresi yang meyakinkan dan tegas. Begitu pula saat kita memberikan kabar gembira, saking gembiranya tidak jarang intonasinya juga tinggi.
Baca juga: Kritik Al-Quran Terhadap Fenomena Pembunuhan Anak Di Masa Jahiliyah
Penegasan sebagaimana pernyataan di atas setidaknya bisa kita temukan penguatnya dalam Al-Munir (8/219), Syekh Wahbah Az-Zuhaili menyatakan وَفَائِدَةُ الْجَمْعِ بَيْنَ نَفْيِ الْعِوَجِ وَإِثْبَاتِ الْإِسْتِقَامَةِ هُوَ التَّأْكِيْدُ (Faidah berkumpulnya antara peniadaan kebengkokan dan penetapan kelurusan Al-Qur’an merupakan sebuah ta’kid atau penegasan).
Demikian halnya dengan saktah pada QS. Yasin [36]: 52 sebagai berikut:
قَالُوْا يٰوَيْلَنَا مَنْۢ بَعَثَنَا مِنْ مَّرْقَدِنَا ۜهٰذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمٰنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُوْنَ ٥٢
Mereka berkata, “Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih dan benarlah rasul-rasul(-Nya).
Saktah pada ayat ini memperjelas bahwa qail-nya (orang yang berkata) itu berbeda. Orang-orang kafir yang dulunya mengingkari adanya hari kebangkitan dari kubur akhirnya tersadar juga. Lantas mereka berkata يَٰوَيۡلَنَا مَنۢ بَعَثَنَا مِن مَّرۡقَدِنَا Sedangkan Firman-Nya هَٰذَا مَا وَعَدَ ٱلرَّحۡمَٰنُ ini menghikayatkan perkataan malaikat. Intonasi yang tinggi akan lebih menggambarkan ekspresi kegemasan malaikat kepada orang-orang yang tidak percaya hari kebangkitan sebagaimana Allah janjikan.
Syekh Nawawi Al-Bantani mengamini penafsiran dua qail yang berbeda tersebut. Selain itu, beliau juga menyebutkan pendapat yang lain, berhenti pada kata هَٰذَا yang menjadi badal dari مِن مَّرۡقَدِنَا. Artinya kata هَٰذَا dan seterusnya masih kelanjutan dari perkataan orang-orang kafir.
Kemudian pada Marah Labid (2/292) beliau menyebutkan,حَيْثُ يَتَذَكَّرُوْنَ مَا سَمِعُوْهُ مِنَ الرُّسُلِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ فَيُجِيْبُوْنَ بِهِ أَنْفُسُهُمْ (ketika mereka (orang-orang kafir) teringat dengan apa yang telah mereka dengar dari para rasul ‘alaihimussalam (dulu ketika di dunia), maka mereka sendiri menjawab pertanyaan dengannya (kelanjutan ayat tersebut)).
Selain itu Beliau juga berkata أَوْ يَجِبُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا atau sebagian dari mereka menjawab yang lainnya. Menurut penafsiran yang kedua ini qail-nya berbeda, tapi masih sesama orang kafir. Sebagaimana penjelasan di atas, dengan saktah bedanya qail akan semakin jelas. Walaupun Syekh Nawawi Al-Bantani sendiri tidak menjelaskan pendapat yang mengatakan berhenti pada kata هَٰذَا ini disertai saktah sebelumnya ataukah tidak.
Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Mengqadha Puasa Sunnah
Dua penafsiran terakhir ini lebih tampak kesesuaiannya dengan cara baca model saktah. Karena keterkejutan yang bercampur ketakutan dan kebingungan itu seringkali membuat seseorang terdiam sesaat. Bahkan tidak jarang nafasnya pun ikut terhenti walau hanya sesaat, seperti orang yang bengong terkaget-kaget, terperangah, dan ketakutan.
Ini menjadi gambaran ekspresi mereka (orang-orang kafir) yang tidak percaya adanya hari kebangkitan dan ternyata tidak seperti yang mereka sangka. Sehingga mereka bergumam sendiri atau bertanya kepada temannya yang sama-sama tidak percaya. Apalagi disertai dengan intonasi sedih penuh penyesalan. Karena pada akhirnya mereka tersadar dan mengakui adanya kebangkikan dari kematian, namun pengakuannya tersebut sudah tidak berguna lagi.
Begitu pula dengan saktah pada QS. Al-Qiyamah [75]: 27. Untuk lebih jelasnya kita tampilkan dari mulai ayat sebelumnya sebagai berikut:
كَلَّآ اِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَۙ ٢٦ وَقِيْلَ مَنْ ۜرَاقٍۙ ٢٧
Tidak! Apabila (nyawa) telah sampai ke kerongkongan, dan dikatakan (kepadanya), “Siapa yang dapat menyembuhkan?”
Saktah di sini sangat menggambarkan ekspresi orang-orang yang merasa berada di sekitarnya. Dengan saktah pada kata مَنْ (siapa) dan dilanjutkan dengan kata رَاقٍ (yang dapat menyembuhkan?), terjeda tanpa bernafas menggambarkan sebuah ekspresi kepanikan dan ketegangan, terlebih biasanya sambil menangis terisak-isak. Layaknya dalam keadaan menegangkan ketika melihat saudara atau orang lain yang sakarat.
Syekh Ali Ash-Shobuni dalam Shofwah At-Tafasir (3/487) menggambarkan suasana saat itu dengan berkata: وَقَالَ أَهْلُهُ وَأَقْرِبَاؤُهُ: مَنْ يَرْقِيْهِ وَيَشْفِيْهِ مِمَّا هُوَ فِيْهِ ؟ keluarga dan sanak saudaranya berkata: “Siapa yang dapat menyembuhkan dan mengobatinya dari penyakit yang ada padanya?. Ekspresi itu akan semakin terlihat dengan menggunakan intonasi yang sendu penuh harap.
Selanjutnya saktah terakhir terdapat pada QS. Al-Muthaffifin [83]: 14 sebagai berikut ini:
كَلَّا بَلْ ۜرَانَ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ ١٤
Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.
Pada ayat ini membantah ungkapan dari orang-orang kafir bahwa Al-Qur’an adalah dongeng orang-orang terdahulu (اَسَاطِيْرُ الْاَوَّلِيْنَ). Kemudian saktah pada kata بَلْ yang mana setelahnya dijelaskan penyebab kedurhakaan mereka pada hari kebangkitan dan kebenaran Al-Qur’an. Dalam konteks membantah dan menjelaskan penyebab kedurhakaan tersebut sangat sesuai jika disertai intonasi tinggi. Tingginya intonasi ini sudah mewakili ekspresi pembelaan terhadap tuduhan nyleneh dari orang-orang kafir tersebut.
Baca juga: Fatimah Mernissi dan Inspirasi Bergelut di Bidang Tafsir Feminis, Ada Kisah Memilukan
Sebetulnya intonasi dalam dunia seni tilawah Al-Qur’an sudah dikenal. Setidaknya ada tujuh jenis maqam, yaitu bayati, shoba, hijaz, nahawand, rast, sikah, dan jiharkah. Maqamat tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, seperti tegas, semangat menggelora, riang gembira, mendayu-dayu, sendu, sedih, dan sebagainya.
Kalaupun tidak menggunakan tujuh tingkatan nada seperti di atas, asalkan sesuai konteks ayat yang dibaca, tetap akan mendapatkan gambaran ekspresinya. Dengan demikian, adanya bacaan saktah dan ditambah intonasi yang sesuai dengan konteks ayatnya, akan lebih menyempurnakan tergambarnya ekspresi dari ayat tersebut. Sehingga membuat pembaca Al-Qur’an akan lebih merasakan asyiknya memahami dan menghayati keindahan surat abadi dari-Nya untuk dirinya. Wallahu Ta’ala A’lam[]