BerandaKisah Al QuranEpidemiologi Al-Quran (3): Wabah Cacar Dalam Kisah Raja Abrahah dan Pasukannya

Epidemiologi Al-Quran (3): Wabah Cacar Dalam Kisah Raja Abrahah dan Pasukannya

Dalam dua serial artikel sebelumnya telah dijelaskan tentang fenomena wabah yang menyerang dua umat terdahulu, yaitu pasukan Thalut dan kaum Tsamud. Pada kesempatan kali ini, penulis akan memaparkan wabah cacar dalam kisah Raja Abrahah dan pasukannya yang hendak menghancurkan ka’bah. Artikel ini merupakan kelanjutan sekaligus menjadi penutup dari serial artikel epidemiologi Al-Quran sebelumnya.

Baca Juga: Epidemiologi Al-Quran (1): Wabah dalam Kisah Raja Thalut dan Pasukanya

Latar Belakang Penghancuran Ka’bah

Abrahah ibn al-Shabah al-Asyram merupakan seorang penguasa Yaman yang membangun sebuah bangunan gereja yang besar di San’a. Dalam banyak literatur, gereja tersebut memiliki nama al-Qullais. Merasa jumawa dengan bangunan gereja tersebut, Abrahah kemudian menulis surat kepada penguasa Ethiopia (Habasyah) saat itu yaitu Raja al-Najasyi (Negus), sebagaimana disebutkan al-Baghawi dalam kitab tafsir Ma’alim al-Tanzil berikut:

إِنِّيْ قَدْ بَنَيْتُ لَكَ كَنِيْسَةً بِصَنْعَاءَلَمْ يُبْنَ لِمَلِكٍ مِثْلُهَا، وَلَسْتُ مُنْتَهِيًا حَتَّى أَصْرِفَ إِلَيْهَا حَجَّ العَرَبِ

“Sesungguhnya aku telah membangunkan sebuah gereja di San’a untukmu, dimana gereja tersebut belum pernah dibangun oleh raja manapun. Dan aku tidak akan merasa puas, sampai aku berhasil mengalihkan (tempat) prosesi haji orang Arab ke gereja tersebut” (Al-Baghawi, 1412 H: 8/535)

Baca Juga: Epidemiologi Al-Qur’an (2): Virus Sampar Dalam Kisah Nabi Shalih dan Kaum Tsamud

Kabar tentang rencana Abrahah untuk memindahkan prosesi haji ke geraja tersebut mulai terdengar oleh masyarakat Arab. Para penduduk Arab dari kaum Adnaniyah dan Qahthaniyah marah. Begitu juga suku Quraisy, mereka sangat marah terhadap rencana yang disampaikan Abrahah tersebut. Kemarahan tersebut membuat salah seorang dari suku Kinanah mendatangi bangunan al-Qullais dan meludahi gereja tersebut di malam hari.

Kejadian tersebut kemudian diketahui oleh anak buah Abrahah dan melaporkanya kepada Abrahah. Mendengar laporan tersebut, Abrahah menjadi sangat geram dan berjanji akan segera menuju Hijaz untuk menghancurkan ka’bah. Tak berselang lama kemudian, Abrahah dengan menunggangi gajah berukuran besar yang bernama mahmud berangkat menuju Hijaz bersama para pasukanya.

Terkait jumlah gajah yang digunakan, Quraish Shihab menyampaikan ada beberapa pendapat terkait hal tersebut. Terdapat pendapat yang mengatakan bahwa jumlah gajah yang digunakan hanya satu, namun ada juga pendapat yang mengatakan sebanyak 8 dan 12 gajah. Dalam pendapat lain, Az-Zuhaili menyebut jumlah gajah yang digunakan mencapai 1.000 ekor gajah.

Dalam proses perjalanan menuju Makkah, Abrahah sempat melakukan perundingan dengan penduduk Arab di sebuah daerah yang bernama al-Maghmis (sekitar 3,65 km dari Makkah ke arah Tha’if). Mereka menyarankan agar Abrahah menghentikan rencana penghancuran ka’bah. Namun, perundingan tersebut gagal, sehingga Abrahah terus melanjutkan perjalananya untuk menyerbu Makkah. (Quraish Shihab, 2005: 15/523)

Pada saat Abrahah telah mendekati ka’bah dan hendak menghancurkanya, maka Allah kemudian mengutus rombongan burung Ababil dari arah laut. Setiap burung tersebut membawa tiga batu, satu batu diletakkan di paruh, dan dua batu sisanya dicengkram di dua kaki burung Ababil, sebagaimana dikisahkan dalam QS. Al-Fil [105]: 3-5:

وَّاَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا اَبَابِيْلَۙ -٣ تَرْمِيْهِمْ بِحِجَارَةٍ مِّنْ سِجِّيْلٍۙ -٤ فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُوْلٍ ࣖ – ٥

Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar. Sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat)

Menurut Al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, setiap batu yang dibawa burung Ababil tersebut telah tertulis nama-nama pasukan yang akan dihancurkan. Namun, ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa setiap batu tersebut tertulis kalimat berikut:

مَنْ أَطَاعَ اللهَ نَجَا، وَمَنْ عَصَاهُ غَوَى

“Barangsiapa yang taat kepada Allah akan selamat, dan barangsiapa yang mendurhakai-Nya maka ia akan binasa” (al-Qurthubi, 2006: 22/485)

Baca Juga: Kisah Pasukan Bergajah dan Burung Ababil dalam Surah Al-Fîl

Wabah cacar dan campak dalam tafsir surah Al-Fil

Terkait dengan bentuk burung Ababil, para ulama berbeda pendapat. Ada yang menyerupakanya dengan burung yang memiliki cakar (al-Khaththatif). Kemudian terkait warnanya, ada yang menyebut burung tersebut berwarna hijau atau hitam. Namun yang menarik adalah apa yang disampaikan Muhammad Abduh dalam karyanya Tafsir al-Qur’an al-Karim.

Menurut Abduh, thair yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah sejenis nyamuk atau lalat yang membawa kuman-kuman penyakit. Kemudian, kata hijarah min sijjil dimaknai sebagai batu dari tanah kering yang beracun. Dengan pandangan yang demikian, maka Abduh mengklaim bahwa hancurnya raja Abrahah beserta pasukanya disebabkan oleh sebuah epidemi atau wabah cacar dan campak yang muncul pada saat batu tersebut dijatuhkan kepada para pasukan.

Pendapat tersebut diungkapkan oleh Abduh berdasarkan argumentasi dukungan berupa riwayat yang disampaikan oleh Ikrimah, sebagaimana berikut:

وَفِيْ اليَوْمِ الثَّانِيْ فَشَا فِيْ جُنْدِ الحَبَشِيْ دَاءُ الجُدَرِيِّ وَالحَصْبَةِ، قَالَ عِكْرِمَةَ وَهُوَ أَوَّلُ جُدَرِيِّ ظَهَرَ بِبِلَادِ العَرَبِ

“Pada hari kedua, tersebar di dalam pasukan habasyi dua penyakit yaitu penyakit cacar dan campak. Ikrimah berkata bahwa pada saat itu pertama kali munculnya penyakit cacar di daerah Arab” (Abduh, 1341 H: 157)

Pendapat Abduh tentang wabah cacar dalam kisah raja Abrahah sebagai penyebab hancurnya pasukan Abrahah tersebut juga disampaikan oleh Ibnu Katsir, Ibnu ‘Asyur, dan Wahbah al-Zuhaili dalam karya tafsir mereka masing-masing. Menurut al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir, tatkala batu yang dibawa burung tersebut mengenai pasukan, maka tubuh pasukan tersebut akan mengalami penyakit cacar atau campak, dan tak lama kemudian meninggal. (al-Zuhaili, 2009: 15/807)

Namun demikian, pandangan Abduh tersebut juga menuai berbagai kritikan dari para ulama kontemporer, seperti Mutawalli al-Sya’rawi. Menurut al-Sya’rawi dalam karyanya Tafsir Juz ‘Amma, ia menyebut bahwa bangsa Arab pada masa pra-Islam belum mengetahui mikroba. Hal ini dikarenakan kajian tentang ilmu mikrobiologi baru muncul dan berkembang pada era abad ke-16 atau ke-17 Masehi.

Selain itu, andaikata memang pasukan Abrahah terkena semacam penyakit dari mikroba, maka penyakit yang disebabkan mikroba tersebut membutuhkan durasi waktu yang tidak singkat dalam membuat penderitanya meninggal. (Asy-Sya’rawi, 2008: 577)

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menyebutkan bahwa al-Sya’rawi juga menggunakan argumentasi kebahasaan dalam menentang kerancuan pendapat Abduh. Menurutnya, kata fa dalam kalimat fa ja’alahum ka’ashf ma’kul menunjukkan bahwa peristiwa kemusnahan pasukan Abrahah tersebut terjadi dalam waktu yang sangat singkat.

Oleh karena itu, peristiwa tersebut tidak bisa dipandang sebagai akibat dari wabah cacar, campak atau penyakit yang diakibatkan oleh mikroba. Hal ini dikarenakan prosesnya yang terjadi secara sangat singkat. Tidak hanya itu, Quraish Shihab juga memandang bahwa riwayat yang dijadikan dalil oleh Abduh tersebut masih diperselisihkan keshahihanya. (Quraish Shihab, 2005: 15/529)

Baca Juga: Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 41: Menyoal Manusia dan Krisis Ekologis

Berdasar pada dialog para mufasir tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Abduh dan yang sependapat dengannya cenderung memandang wabah cacar dalam kisah raja Abrahah sebagai sebab hancurnya Raja Abrahah beserta pasukanya sebagai sebuah fenomena yang rasional, ada hubungan sebab akibat di situ yang melibatkan kelalaian manusia sendiri. Tentu hal ini membutuhkan pembacaan dan penelitian lebih lanjut.

Sedangkan As-Sya’rawi dan yang cenderung sama dengannya lebih memandang peristiwa tersebut sebagai fenomena yang suprarasional, sehingga tidak bisa dipahami hanya berbasis pada rasio semata.

Dari paparan artikel serial epidemiologi Al-Quran yang pertama, kedua, hingga yang ketiga ini, dapat disimpulkan bahwa semua kejadian wabah tersebut bermula dari sikap ketidakpatuhan umat terdahulu terhadap perintah Allah dan rasul-Nya, tidak hanya tentang ibadah mahdloh, tetapi juga kelalaian manusia terhadap lingkungannya.

Oleh karena itu, dalam situasi wabah covid-19 saat ini, ikhtiar lahir berupa penerapan protokol kesehatan, peduli terhadap lingkungan dan ikhtiar batin berupa do’a dan mematuhi perintah Allah, serta menjauhi larangan-Nya terus kita lakukan. Wallahu A’lam

Moch Rafly Try Ramadhani
Moch Rafly Try Ramadhani
Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...