Nama Fahruddin Faiz umumnya lebih banyak dikenal sebagai sarjana yang ahli dalam bidang Filsafat, terutama setelah kegiatan ‘Ngaji Filsafat’ yang berhasil mengambil perhatian berbagai kalangan di Indonesia, sehingga kerap disebut sebagai ‘Filosof khas Jogja’. Ketenaran Fahruddin Faiz tersebut seakan menutupi fakta bahwa dirinya (juga) merupakan sarjana berkontribusi dalam kajian hermeneutika Al-Qur’an.
Padahal Fahruddin Faiz juga aktif dalam menawarkan diskusi hermeneutika Al-Qur’an atau ilmu memahami Al-Qur’an era modern-kontemporer. Beberapa tulisan Fahruddin Faiz terkait ini adalah Hermeneutika Qur’ani:Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi (2001); Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi-Kultural (2002); Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial (2005); dan lainnya.
Di antara karya tulis tersebut, buku hermeneutika Al-Qur’an (2005) yang akan penulis ulas dalam tulisan ini, terutama tentang tiga hal yang perlu dipahami sehingga menjadikan hermeneutika penting dilakukan oleh umat Islam di era kontemporer ini. Ini penting, minimal, untuk menepis dugaan dan kesalahpahaman sebagian umat Islam terhadap hermeneutika, yang membuat mereka anti terhadap kajian hermeneutika.
Baca Juga: Mengenal Sahiron Syamsuddin, Pelopor Kajian Hermeneutika Tafsir di Indonesia
Mengenal Jejak Intelektual Fahruddin Faiz
Fahruddin Faiz lahir pada 16 Agustus 1975 di Mojokerto. Jejak intelektual dan kesarjanaannya diasah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia menghabiskan jenjang pendidikannya sejak S1 hingga S3 dalam bidang filsafat di kampus UIN Jogja, bahkan Fahruddin Faiz mengabdi dan mengajar di almamaternya ini.
Ia aktif menyampaikan gagasannya di ruang publik, baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Menariknya, baik dalam tulisan maupun lisan, gaya bahasa dan penyampaian Fahruddin Faiz terkenal ‘ringan’ dan ‘awam’, mudah dipahami, tetapi dengan kandungan yang berkualitas tinggi. Sehingga tidak heran jika kajian filsafat dan kajian Al-Qur’an yang semula sulit dipahami menjadi mudah dipahami ditangan beliau.
Terlepas dari dirinya yang terkenal ahli di bidang filsafat Islam, buku hermeneutika Al-Qur’an dapat menjadi karya untuk melihat pemikiran Fahruddin Faiz dalam menawarkan ‘cara baca’ Al-Qur’an. Dalam bukunya tersebut, Ia mengatakan bahwa hermeneutika menjadi perhatiannya ketika ia menekuni filsafat. Dari sini kemudian membawanya menekuni lebih jauh tentang hermeneutika, terutama dalam memahami Al-Qur’an.
Baginya hermeneutika merupakan kajian yang sangat menarik, terutama ketika dikaitkan dengan kajian Al-Qur’an. Beliau menyadari bahwa telah lama terjadi perdebatan apakah hermeneutika dapat digunakan untuk memahami Al-Qur’an atau tidak. Bahkan, karena fakta itulah Fahruddin Faiz menulis buku hermeneutika Al-Qur’an. Ketika hermeneutika dipahami sebagai upaya memahami, di antaranya, teks atau kitab Suci, maka saat itulah hermeneutika memiliki kedudukan yang sama dengan ilmu tafsir Al-Qur’an.
Menurut Fahruddin Faiz bahwa hermeneutika pada dasarnya adalah satu metode penafsiran Al-Qur’an yang dimulai dari analisa bahasa, kemudian melakukan analisa konteks, lalu melakukan penarikan makna Al-Qur’an untuk diterapkan dalam konteks penafsirnya. Persoalannya adalah bagaimana teks Al-Qur’an ditafsiri dalam dinamika konteks sosial kekinian?
Dari sini Fahruddin Faiz menawarkan tiga hal penting, yakni (1) para penafsir itu adalah manusia, (2) penafsiran itu tidak dapat lepas dari bahasa, sejarah dan tradisi, dan (3) tidak ada teks yang menjadi wilayah bagi diirinya sendiri.
Para Penafsir Itu Adalah Manusia
Yang melakukan penafsiran Al-Qur’an adalah manusia. Karena itu, sekalipun yang ditafsirkan adalah kitab Suci yang tak terbatas, tetapi yang melakukan penafsiran adalah manusia yang memiliki kekurangan, kelebihan, dan kesementaraannya yang terikat oleh ruang dan waktu. Sehingga, tidak ada kebenaran ataupun kesalahan yang mutlak bagi penafsir Al-Qur’an. Dan karena itu juga, sebuah penafsiran Al-Qur’an boleh dikritisi.
Fahruddin Faiz mengatakan bahwa para penafsir adalah manusia yang dalam dirinya terdapat ruang lingkup kemanusiaan masing-masing. Hal ini terjadi setiap generasi umat Islam dari dahulu hingga kini, bahkan yang akan datang. Sejak masa Nabi Muhammad SAW, manusia membawa ruang lingkupnya masing-masing dalam memahami dan menghasilkan produk penafsiran. Sehingga, tidak haren jika terjadi perbedaan dan keragaman dalam penafsiran Al-Qur’an.
Penafsiran Itu Tidak Dapat Lepas dari Bahasa, Sejarah dan Tradisi
Menurut Fahruddin Faiz, penafsiran merupakan satu partisipasi dalam sebuah proses historis-linguistik dan tradisi yang dialami pada ruang dan waktu tertentu. Demikian halnya dalam menafsirkan Al-Qur’an yang berada dalam proses ini. Karena itu, menurut Fahruddin Faiz, seorang penafsir tidak mungkin dapat melepaskan diri dari bahasa, sejarah, dan tradisi di mana ia hidup.
Sehingga, orang yang menyuarakan untuk “kembali kepada Al-Qur’an” tanpa melibatkan tradisi, menurut Fahruddin Faiz, tidak selaras dengan fakta yang menunjukkan bahwa sebuah penafsiran tidak bisa dilepaskan dari historisitas, baik historisitas teks (Al-Qur’an) maupun penafsirnya.
Tidak Ada Teks yang Menjadi Wilayah bagi Dirinya Sendiri
Sebagai teks yang disampaikan dalam ruang dan waktu tertentu, Al-Qur’an tidak dapat dilepaskan dari nuansa sosio-historis dan linguistiknya, baik itu dalam isi, bentuk, tujuan, dan bahasa yang digunakannya. Sehingga, dalam pewahyuannya dikenal istilah ayat-ayat Makkiyah dan ayat-ayat Madaniyah.
Dalam hal ini, bahasa, isi, dan bagi masyarakat Arab saat Al-Qur’an diwahyukan boleh jadi bukan sesuatu yang “unik” atau “Asing”. Tetapi, Al-Qur’an, dengan segala apa yang di dalamnya, merupakan wahyu yang mesti dipahami dengan melibatkan konteks historis masyarakat Arab di mana ia diwahyukan.
Baca Juga: Pengkaji Al-Quran Kontemporer: Khaled Abou El-Fadl, Pencetus Teori Hermeneutika Otoritatif
Demikian pemaparan tiga hal yang menjadikan hermenutika penting dilakukan dalam memahami Al-Qur’an. Pandangan Fahruddin Faiz di atas menunjukkan bahwa hermeneutika tidaklah ‘seberbahaya’ yang dibayangkan sebagian orang. Hermeneutika secara prinsip tidaklah jauh berbeda dengan ilmu tafsir, yang sama-sama bertujuan mengungkap kandungan Al-Qur’an.
Melalui tiga hal tersebut, Fahruddin Faiz mengajarkan tentang sebuah tafsiran adalah kerja yang kebenarannya tidaklah abadi, mutlak dan absolut. Sebaliknya, penafsiran manusia terdapat kelebihan dan kekurangan mengikuti manusianya. Sebuah penafsiran terikat pada konteks bahasa sosio-historis penafsirnya yang tidak dapat dilepaskan. Bahkan, Al-Qur’an sendiri tidak dapat dilepaskan dari konteks bahasa sosio-historis ketika ia diwahyukan. [] Wallahu A’lam.