Penulisan Al-Qur’an di Nusantara diperkirakan telah ada sekurang-kurangnya sekitar akhir abad ke-13 M. Ketika kerajaan Samudra Pasai menjadi kerajaan pertama di Nusantara yang berada di pesisir ujung Pulau Sumatra memeluk Islam secara sah melalui pengislaman sang raja. (“Seni Mushaf di Asia Tenggara”, (Terj. Ali Akbar), Lektur, Vol. 2, No.2, 2004, hlm 123). Sejak awal masa penyalinan mushaf Al-Qur’an di Nusantara, tentu didorong oleh komitmen spirit dakwah yang tinggi, khususnya dalam mengajarkan Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan pada masa itu belum adanya teknologi untuk penggandaan naskah dalam skala besar, semua naskah hanya bisa ditulis dengan tangan.
Sayangnya, tradisi penyalinan mushaf Al-Qur’an di Indonesia pada penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20 dapat dikatakan sebagai masa transisi dalam teknik produksi mushaf Al-Qur’an. Karena pada masa itu, penyalinan mushaf Al-Qur’an tulis tangan masih berlanjut, akan tetapi pada saat yang sama mulai marak penggunaan teknologi cetak. Salah satu mushaf Al-Qur’an yang pada saat itu sudah menggunakan teknologi cetak yaitu mushaf Palembang milik keluarga Abdul Azim Amin yang menggunakan teknologi cetak litografi (cetak batu) yang dibelinya dari Singapura dan selesai dicetak pada 20 Agustus 1848 M. (Al-Qur’an Cetak di Indonesia Tinjauan Kronologis Pertengahan Abad ke-19 hingga Awal Abad ke-20. Suhuf, Vol. 5, No. 2, 2012: 233)
Baca juga: Tiga Tipe Istri yang Dijelaskan dalam Surah At-Tahrim Ayat 10-12
Jika dibandingkan dengan tulisan tangan, kehadiran teknologi cetak batu ternyata lebih memudahkan dalam proses penggandaan mushaf Al-Qur’an secara masif serta bisa mempersingkat efisiesi waktu. Namun jumlah produksinya masih tetap terbatas.
Faktor Inkonsistensi Rasm di Nusantara
Mengutip apa yang sudah dipaparkan oleh Adrika Fithrotul Aini dalam Penggunaan Kaidah Rasm Surat Yasin dalam Naskah Mushaf al-Qur’an Koleksi Pondok Pesantren Tebuireng (Jurnal STUDIA QURANIKA, Vol. 5, No. 1, Juli 2020, hlm 34) tentang beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya ketidakkonsisten penggunaan kaidah rasm dalam manuskrip mushaf Al-Qur’an, diantaranya :
- Adanya perbedaan konteks sosial, yang mana pada saat mushaf Al-Quran ditulis, belum ada pedoman yang baku dalam penulisan mushaf Al-Qur’an. Hal ini dapat kita lihat dari rekam sejarah mushaf standar Indonesia baru ada pada abad 20-an. Sedangkan tradisi menulis mushaf Al-Quran terlahir jauh sebelum abad ke 20.
- Pada saat itu, tradisi menghafal yang sudah mengakar dalam budaya masyarakat Nusantara. Sehingga penggunaan kaidah nahwu sharaf tidak terlalu mendapat perhatian lebih pada saat penuangan tulisan ayat-ayat Al-Qur’an. Hal inilah yang menjadi sebab eksistensi ilmu rasm belum begitu akrab ditengah masyarakat pada saat itu.
- Faktor dari penyalinnya itu sendiri. Hal ini dikarenakan, tipikal rasm yang digunakan tidak dapat terlepas dari siapa yang menyalinnya pada saat itu. Mengutip Lenni Lestari dalam Mushaf Al-Qur’an Nusantara: Perpaduan Islam dan Budaya Lokal, Jurnal At-Tibyan, I No.1 Januari–Juni 2016, hlm.176, bahwa penyalinan juga dilakukan oleh para ulama atau pelajar yang tengah memperdalam ilmu agama di Mekkah, tepatnya Pada abad ke-16 sampai ke-19 M. Mekkah selain berfungsi sebagai tempat menunaikan haji, juga merupakan pusat studi Islam. Yang demikian ini, sangat mungkin terjadi proses transmisi keilmuan, khususnya tentang kajian rasm utsmani yang sudah mulai tersebar luas dan sangat berpengaruh terhadap pemahaman penyalin yang menulis ulang ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan pada hafalannya. Sehingga disinyalir bahwa terjadi adanya percampuran rasm dalam bentuk tulisan tidak dapat dinafikan.
Demikianlah sedikit ulasan mengenai faktor terjadinya inkonsistensi rasm yang sering ditemukan dalam manuskrip mushaf Al-Qur’an di Nusantara. Munculnya inkonsistensi dalam penggunaan kaidah rasm itu sendiri bukanlah terjadi secara disengaja dan dibuat-buat, melainkan kondisi sosial disekitarnya lah yang sangat berpengaruh terhadap penyalin yang menulis ulang ayat Al-Qur’an tersebut. Wallahu a’lamu bisshowab…