Semarak hijrah kaum millenial dewasa ini sangat menggembirakan di satu sisi, namun sangat mengkhawatirkan di sisi lain. Munculnya sejumlah slogan, komunitas dan event berbasis hijrah menunjukkan kesadaran keberagamaan yang meningkat di kalangan masyarakat. Namun di sisi lain, semangat tersebut terkadang melenceng dari semangat awal atau filosofi hijrah Rasul itu sendiri. Kata hijrah dewasa ini telah mengalami penyempitan makna. Gerakan hijrah tidak selamannya mencerminkan nilai-nilai spiritual, tetapi telah menjadi sebuah gerakan sosial, ekonomi maupun politik. Nilai-nilai hijrah yang bersifat substansial kerap terabaikan dan tertutupi oleh euforia simbolik yang mengarah pada komodifikasi maupun konstruk identitas baru, terlebih di dunia digital (Afina Amna, 2019).
Melalui momentum tahun baru Hijriah, 1 Muharram 1444 H yang bertepatan pada tanggal 30 Juli 2022, tulisan ini merespon persoalan tersebut, dengan kembali membaca filosofi hijrah Rasul sebagai acuan bagi aktifis hijrah menuju hijrah transformatif. Hijrah Rasulullah ke Madinah tidak hanya mengajarkan arti penting sebuah pengorbanan, cinta dan keikhlasan Nabi dan para sahabat muhajirin. Tetapi, momentum hijrah tersebut menjadi awal transformasi sosial dari masyarakat jahiliyah ke masyarakat madani. Di saat yang sama, Rasulullah melalui spirit hijrah telah membentuk sebuah pandangan dunia (world view) yang qurani menuju peradaban islami.
Pandangan dunia yang dimaksud dari hijrah Rasul setidaknya bermuara pada tiga kata kunci, yaitu pentingnya membangun tiga kekuatan utama secara bersamaan; fisik (maddiyah), spiritual (ruhiyyah), rasionalitas (aqliyah). Tiga kekuatan tersebut menjadi perhatian Rasulullah sejak pertama kali hijrah di kota Madinah;
Baca Juga: Tiga Metode Pendidikan Para Rasul dalam Al Quran
Pertama, membangun fisik (maddiyah). Dalam hal ini, persoalan yang pertama kali dilakukan oleh Nabi adalah membangun masjid Quba. Masjid tersebut sebagai simbol arti penting sebuah infrastruktur dalam sebuah komunitas. Masjid Quba sebagai infrastruktur ibadah ketika itu menjadi wadah bagi umat Islam awal untuk melakukan sejumlah aktifitas, baik yang terkait pembinaan rohaniyah, pendidikan maupun urusan ekonomi dan politik.
Dalam perkembangannya, untuk mewujudkan kekuatan fisik umat Islam, Rasulullah menjalin kerjasama dengan dengan non Muslim dalam berbagai aspek, baik ekonomi, politik maupun sosial kemasyakatan. Dalam riwayat terekam bahwa Rasulullah pernah menggadaikan baju perangnya kepada seorang Yahudi (HR. Bukhari dan Muslim). Riwayat lain menyebutkan bahwa Rasulullah pernah memberikan tanah Khaibar kepada orang Yahudi untuk digarap dan bagi hasil (HR. Bukhari). Data tersebut mencerminkan karakter Rasulullah yang sangat kolaboratif dan toleran terhadap penduduk agama lain.
Kedua, membangun kekuatan spiritual (ruhiyyah). Selain fisik, Rasulullah sejak awal hijrahnya juga telah membangun kekuatan spiritual. Kekuatan fisik sangat penting, tapi hal itu akan menjadi rapuh, jika tidak dibarengi dengan kekuatan spiritual. Kekuatan spiritual yang dimaksud adalah keikhlasan, kesederhanaan, kebermaknaan hidup. Keikhlasan mencerminkan kejernihan hati dalam segala bentuk perbuatan dan perkataan. Tidak ada tujuan selain untuk ridha Allah. Kesederhanaan menggambarkan kehidupan yang bersahaja, ketawadhuan serta hidup sesuai dengan kebutuhan, bukan sesuai keinginan. Sementara kebermaknaan hidup adalah orentasi kehidupan pada pengabdian. Mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.
Spirit tersebut yang terinternalisasi pada diri sahabat secara alamiah maupun melalui pendidikan. Karakter tersebut terbentuk secara alamiah pada diri para sahabat karena tauladan secara langsung dari Rasul. Mereka menyaksikan kehidupan Rasul yang penuh dengan kebersahajaan. Hidupnya semata untuk menyebarkan pesan ilahi, yang penuh kasih. Selain itu, pendidikan Rasulullah lebih mementingkan aspek subtansial daridapa formalistik semata. Di antaranya, Rasulullah memvonis seorang sahabat yang mati dalam medan perang sebagai penghuni neraka karena niat yang tidak tulus dalam hatinya. Metode pendidikan ini yang kemudian dikenal dengan educational prophetic (pendidikan profetik).
Ketiga, membangun kekuatan rasionalitas (aqliyyah). Kekuatan ini juga tidak kalah penting dari dua hal sebelumnya. Rasionalitas menggambarkan pentingnya daya pikir dan kritis dalam kehidupan sosial maupun beragama. Kekuatan rasionalitas menjadi perhatian Rasulullah sejak awal, baik melalui motivasi qurani maupun hadis. Ayat pertama turun adalah petintah untuk membaca dan menalar. Membaca bukan hanya yang tertulis, sebagai kitab Allah (Alquran), tapi mencakup pembacaan dalam bentuk penalaran semua fenomena alam. Selain itu, pentingnya rasionalitas juga ditegaskan dalam hadis, ‘tidak ada agama bagi yang tidak memiliki akal’. Artinya taklif gugur bagi mereka yang tidak berakal, baik yang belum tamyiz maupun yang gila.
Rasionalitas dalam beragama semakin penting ketika kita mampu memahami spirit dari tiap ajaran agama Islam. Dalam tiap perintah maupun larangan, sejatinya terdapat unsur kemaslahatan dan kemudaratan di dalamnya. Misalnya, perintah salat, bukan hanya sekedar mengingat Allah, tapi salat yang benar adalah menjadi perisai dari segala bentuk kemungkaran. Begitupun dengan zakat, tidak hanya bermakna kesalehan individu, tapi zakat sebagai spirit pementasan kemiskinan dan ketimpangan sosial. Inilah di antara bentuk rasionalitas dalam beragama. Dampaknya adalah agama tidak hanya sebatas ajaran normatif-formalistik semata, tapi agama hadir secara fungsional baik dalam membetuk kesalehan individu maupun sosial.
Baca Juga: Tantangan Alquran kepada Penentang Risalah Nabi Muhammad
Demikian tiga filosofi hijrah Rasul yang bisa menjadi pegangan dewasa ini. Tiga fondasi tersebut juga tersirat dalam QS. Al-An’am: 141:
۞وَهُوَ ٱلَّذِيٓ أَنشَأَ جَنَّٰتٖ مَّعۡرُوشَٰتٖ وَغَيۡرَ مَعۡرُوشَٰتٖ وَٱلنَّخۡلَ وَٱلزَّرۡعَ مُخۡتَلِفًا أُكُلُهُۥ وَٱلزَّيۡتُونَ وَٱلرُّمَّانَ مُتَشَٰبِهٗا وَغَيۡرَ مُتَشَٰبِهٖۚ كُلُواْ مِن ثَمَرِهِۦٓ إِذَآ أَثۡمَرَ وَءَاتُواْ حَقَّهُۥ يَوۡمَ حَصَادِهِۦۖ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُسۡرِفِينَ
141. Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.
Kaitannya dengan filosofi hijrah, Syeikh Ali Jum’ah, dalam al-Biah wa al-Hifadz alaiha min Manzur Islami, menyatakan bahwa QS. Al-An’am di atas mencakup tiga prinsip dasar dalam membangun masyarakat madani. Perintah untuk merenungi ciptaan Allah yang penuh hikmah dan bernaneka ragam itu adalah aspek rasionalitas. Perintah untuk makan buah adalah aspek materi/fisik, sementara perintah mengeluarkan hak dan larangan berlebihan adalah nilai-nilai spiritualitas. Ketiganya saling terkait, dan tak terpisahkan. Itulah tiga hakekat filosofi hijrah Rasul yang telah berhasil membangun peradaban Islam yang sangat dahsyat dalam sejarah.
Dalam konteks hijrah dewasa ini, filosofi tersebut menjadi acuan untuk mewujudkan hijrah transformatif dan holistik. Hijrah yang tidak hanya sebatas fisik-formalisitk semata, tapi yang tak kalah penting adalah menjaga aspek subtansial, baik yang berkaitan dengan aspek spiritualitas maupun aspek rasionalitas. Hijrah tanpa spiritualitas hanya akan melahirkan keterasingan (alienasi) di tengah keramaian. Sementara, hijrah tanpa rasionalitas cenderung melahirkan ekslusivitas berbasis identitas keagamaan! Wallah a’lam.