Hedonisme merupakan gaya hidup yang fokus pada pencarian kesenangan dan kepuasan tanpa batas. Dalam arti lain, hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kebahagiaan harus dicari sebanyak mungkin dan menghindar dari perasaan yang bisa menyebabkan sakit, dengan cara apapun itu. Dengan itu, manusia hanya akan fokus mencapai kebahagiaan itu, karena itulah tujuan hidup mereka.
Seiring dengan laju perkembangan zaman, hedonisme seakan-akan sudah menjadi hal yang berdampingan dengan manusia modern. Salah satu ciri hedonisme adalah gemar belanja. Hal ini dipermudah dengan adanya aplikasi pasar online yang sangat marak dengan berbagai macam pelayanannya. Masing-masing aplikasi tersebut mempunyai strategi pemasaran yang bisa menggaet konsumen untuk terus membeli, seperti promo beli 1 gratis 1, flash sale, diskon dan berbagai macam strategi lainnya. Semakin lengkaplah akses kemudahan tersebut.
Gaya hidup hedonisme –dalam jangka panjang- bisa menyebabkan manusia lupa akan kehidupan akhirat. Mereka lupa untuk mempersiapkan bekal kehidupan akhiratnya kelak, karena sibuk memenuhi keinginan duniawi mereka. Alquran menyinggung gaya hidup tersebut dalam surah At-Takatsur ayat 1
اَلْهَىٰكُمُ التَّكَاثُرُ
Saling memperbanyak telah melengahkan kamu
Baca Juga: Tafsir Surat at-Takatsur: Kritik Al Quran Kepada Mereka yang Bermegah-Megahan
Al-Maraghi (w. 1364 H) menjelaskan kandungan ayat di atas dengan kesibukan manusia yang berlomba-lomba memperbanyak pengikut dan berbagai kenikmatan duniawi. Hal itu kemudian menyebabkan manusia abai dengan kewajibannya masing-masing. Banyak kewajiban yang terbengkalai, baik kewajiban kepada dirinya sendiri, kepada keluarga maupun kepada orang-orang sekitar. (Tafsir al-Maraghi, jilid 30, 229)
Mufasir Nusantara, M. Quraish Shihab mengurai kata اَلْهَىٰكُمْ pada ayat di atas. Kata اَلْهَىٰكُمْ berasal dari kata لَهَى-يَلْهَى yang mempunyai arti meyibukkan diri dengan sesuatu yang akhirnya berakibat pada pengabaian sesuatu yang lebih penting. (Tafsir al-Mishbah, jilid 15, 486)
Sedangkan al-Mawardi (w. 450 H) menjelaskan tentang makna yang terkandung dalam kata اَلْهَىٰكُمْ dengan 2 pendapat, yakni menyibukkan dan melupakan. Maksudnya, melalaikan dan menyibukkan dari taat dan beribadah kepada Tuhan. (al-Nukat wa al-‘Uyun, jilid 6, 330)
Adapun kata التَّكَاثُرُ merupakan bentukan kata dari كَثْرَةٌ yang berarti banyak. Kata al-Takatsur dalam ayat di atas menunjukkan adanya dua pihak atau lebih yang saling bersaing. Mereka bersaing untuk memperbanyak dan sama-sama mengaku memiliki lebih banyak dari pihak yang lain. (Tafsir al-Mishbah, jilid 15, 486)
Al-Mawardi dalam tafsirnya memaparkan 3 penafsiran tokoh terkait kata التَّكَاثُرُ dalam ayat di atas. Pertama berlomba-lomba memperbanyak harta dan anak sebagaimana dikemukakan oleh al-Hasan. Kedua berbangga-bangga dengan kerabat dan golongan, pendapat ini diutarakan oleh Qatadah. Sedangkan yang ketiga mengutip penafsiran al-Dhahhak, yakni bersibuk ria dengan mata pencaharian dan perdagangan. (al-Nukat wa al-‘Uyun, jilid 6, 330)
Baca Juga: Tafsir Surat At Takatsur Ayat 4-8
Ayat di atas memberikan peringatan kepada kita untuk berhati-hati dengan sikap suka menumpuk atau memperbanyak harta duniawi. Sebab hal itu, kita akan lupa bahwa kehidupan di dunia hanyalah sementara, sebagaimana yang tertera dalam Q.S Ghafir [40] ayat 39
يٰقَوْمِ اِنَّمَا هٰذِهِ الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ ۖوَّاِنَّ الْاٰخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ
Wahai kaumku! Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.
Kehidupan di dunia tak ubahnya seumpama bunga yang bermekaran, penuh dengan keindahan. Hal itu merupakan kekhawatiran Rasulullah Saw., sebagaimana termaktub dalam salah satu haditsnya.
وَعَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِي – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: جَلَسَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى الْمِنْبَرِ، وَجَلَسْنَا حَوْلَهُ، فَقَالَ: «إنَّ مِمَّا أَخَافُ عَلَيْكُمْ مِنْ بَعْدِي مَا يُفْتَحُ عَلَيْكُمْ مِنْ زَهْرَةِ الدُّنْيَا وَزِينَتِهَا». متفقٌ عَلَيْهِ
Dari Abi Sa’id al-Khudzri r.a., beliau berkata: Rasulullah Saw. duduk di atas mimbar dan kami duduk di sekelilingnya, beliau bersabda: Sesungguhnya di antara yang aku khawatirkan pada diri kalian setelah peninggalanku ialah dibukakannya bunga dunia dan pernak-perniknya untuk kalian. (Riyadh al-Shalihin, 162)
Sebab kehidupan dunia seperti bunga yang bermekaran, maka kita diwanti-wanti untuk tidak terlena dengan kehidupan tersebut. Sebagaimana bunga, di awal ia cantik, indah dengan aneka macam warna dan aroma, namun akhirnya akan layu dan kering. Begitulah kehidupan dunia.
Lantas bagaimana dengan kebiasaan sebagian orang saat ini yang suka belanja lantaran adanya banyak promo dan diskon dari berbagai macam e-commerce? Jawaban untuk hal ini masih diperinci, dilihat dari kebutuhannya. Jika berbelanja sesuai kebutuhan –bukan keinginan- maka boleh saja. Namun, apabila berbelanja hanya untuk menumpuk barang, mengejar diskon dan promo, menuruti keinginan yang menjelma kebutuhan, maka mungkin saja untuk dimasukkan pada hal yang jadi pembahasan ayat di atas. Hal itu dikarenakan adanya kebiasaan menumpuk harta dan gemar berbelanja sehingga kemudian abai dan lalai terhadap kewajibannya. Pun apa yang dibeli tidak sesuai dengan kebutuhan, hanya sebatas keinginan nafsu belaka.
Ada baiknya kita untuk merenungkan bekal apa yang sudah kita kumpulkan di dunia untuk kehidupan di akhirat kelak. Sebagaimana sudah maklum, bekal ketakwaan dan amal baik adalah hal yang sangat dibutuhkan ketika sudah pulang ke akhirat yang kekal. Harta dan segala apa yang kita miliki hanya akan menjadi barang warisan yang mungkin saja menjadi rebutan anak cucu –naudzu billahi min dzalik-.
Sesuatu yang sering dibeli dan ditumpuk, hanya akan menjadi barang yang diambil alih oleh orang yang masih hidup. Sedangkan takwa dan amal baik akan menjadi teman di akhirat. Punya harta lebih, sedekahkan saja, karena sebenarnya harta kita hanya sebatas pada sesuatu yang kita makan, yang kita pakai dan bukan apa yang kita tumpuk. Sebagaimana termaktub dalam hadis Rasulullah saw.
أَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرُ، عَنْ، مُوَرِّقٍ الْعِجْلِي، قَالَ: قَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ} [التكاثر: 2]، قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَيْسَ لَكَ مِنْ مَالِكِ إِلَّا مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ ، أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ»
Abu Khalid al-Ahmar dari Muwarriq al-‘Ijli, berkata: Rasulullah saw. membaca surah al-Takatsur ayat 1-2. Dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: tiada dari hartamu kecuali apa yang engkau makan, lalu engkau menghabiskan, atau apa yang engkau pakai lalu engkau menjadikannya usang dan apa yang engkau sedekahkan, lalu engkau melewatkannya. (Al-Kitab al-Mushannaf fi al-Ahadits wa al-Atsar, Jilid 7, 80).
Wallah a’lam