Green Deen merupakan salah satu tawaran perspektif keberislaman yang memperlihatkan relasi antara keimanan dan keberpihakan pada lingkungan. Tawaran ini dipelopori oleh Ibrahim Abdul Matin dalam karyanya yang berjudul Green Deen: What Islam Teaches About Protecting the Planet.
Green Deen lahir berkat ragam pengalaman dan kegelisahan akademik yang dialami oleh Matin. Sebagai seorang akademisi muslim di satu sisi dan environmentalists di sisi lain, ia perlahan menemukan bahwa banyak sekali tradisi dan nilai-nilai keislaman yang mengajarkan manusia untuk berlaku baik kepada lingkungan.
Melalui Green Deen, Abdul Matin juga ingin membuktikan bahwa spiritualitas dan sains dapat berjalan bergandengan. Sains dapat menjadi alat untuk lebih mengenal ciptaan Tuhan—atau dalam al-Qur’an disebut ayat—yang dengannya manusia akan semakin mengenal Tuhannya dan masuk dalam golongan ulul albab yang didefinisikan dalam Q.S. Ali Imran 191:
الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.
Enam Prinsip Fundamental Green Deen
Ibrahim Abdul Matin merumuskan enam prinsip fundamental dalam Islam yang menjadi akar bagi perspektif green deen yang ia tawarkan. Keenam prinsip tersebut ialah 1) tauhid; 2) ayat; 3) khalifah; 4) amana; 5) adl; 6) mizan. Keseluruhan prinsip ini mengandung penafsirannya atas beberapa ayat al-Qur’an tertentu yang layak untuk dikaji dalam wacana Tafsir Ekologi.
Pertama, dalam menyoal tauhid, Matin mengungkapkan bahwa Green Deen berarti mengakui bahwa segala sesuatu datang dari Allah. Ia mengutip Q.S. al-Hadid: 3:
هُوَ الْاَوَّلُ وَالْاٰخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
Dialah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Lalu kemudian ia menerangkan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini merupakan hasil emanasi dari sumber yang sama. Matin menguraikan bahwa kecanggihan teknologi saat ini memberikan kemampuan pada manusia untuk melihat partikel penyusun atom (proton, neutron, elektron) yang terlihat bagaikan kilatan cahaya.
Begitupun jika memandang objek terjauh yang dapat dilihat yakni Quasar, maka objek itu juga akan terlihat seperti halnya partikel atom—bagai kilatan cahaya. Maka menurutnya, fenomena tersebut merupakan ekspresi keesaan Allah di mana pada tingkatan elemental, spiritual dan scientific, segala sesuatu mengandung hal yang sama yakni cahaya.
Penjelasan Abdul Matin ini mengingatkan penulis pada filsafat emanasi al-Farabi dan Ibn Sina dengan gaya Peripatetiknya (hikmah masya’iyah). Lalu juga Imam al-Ghazali dengan filsafat iluminasinya yang saat ini sedang ramai dikaji melalui karyanya Misykat al-Anwar. Kedua aliran tersebut berbeda namun tetap mengusung nur atau cahaya sebagai salah satu wacana utama yang dibicarakan perihal tauhid.
Kedua, ayat atau tanda yang dimaksud dalam prinsip kedua ialah baik ayat qauliyah maupun kauniyah (tanda-tanda kealaman). Menurut Matin baik ayat yang berupa firman Allah dalam al-Qur’an maupun ciptaan yang ada seluruh alam semesta ini memiliki fungsi yang sama yakni sebagai tanda akan adanya sang Pencipta, Allah Swt.
Maknanya pembacaan umat Islam terhadap al-Qur’an semestinya menjadi pengantar bagi sebuah perjalanan eksitensial. Perjalanan yang membawa manusia kepada penghayatan bahwa dalam setiap aspek penciptaan terdapat pesan ketuhanan di baliknya.
Ketiga dan keempat, khalifah atau steward of God dan amanah (trust) merupakan dua prinsip fundamental yang mengantarkan pada hakikat penciptaan manusia. Manusia diciptakan dari tanah/ bumi di mana di dalamnya telah ditanamkan fitrah (the essence of God), kemudian dianugerahi akal dan rasionalitas yang dengan kesemua materi itu manusia diamanahi sebagai wakil Tuhan di Bumi.
Hakikat penciptaan ini apabila dihayati akan mengantarkan pada pemahaman yang mendalam akan Q.S. al-Baqarah: 30. Di mana manusia berasal dari tanah/ Bumi lalu dijadikan sebagai khalifah di Bumi, maka sudah merupakan kewajiban manusia untuk menjaganya sebagai unsur terpenting atas keberadaanya serta mengelolanya dengan baik dan menjaga kesinambungannya dalam rangka menjalankan amanahnya sebagai khalifah.
Kelima dan keenam, adl (justice) dan mizan (balance) merupakan dua pilar terakhir yang sekaligus melengkapi cara pandangan Green Deen ini. Adil atau keadilan dan seimbang atau keseimbangan merupakan dua hal yang saling berkelindan. Matin menguraikan bahwa segala sesuatu yang merupakan kreasi Tuhan tentu tercipta dengan aspek keseimbangan yang sempurna.
Sebagaimana diuraikan dengan indah dalam Q.S. al-Rahman: 3-10:
خَلَقَ الْاِنْسَانَۙ عَلَّمَهُ الْبَيَانَ اَلشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍۙ وَّالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ وَالسَّمَاۤءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيْزَانَۙ اَلَّا تَطْغَوْا فِى الْمِيْزَانِ وَاَقِيْمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيْزَانَ وَالْاَرْضَ وَضَعَهَا لِلْاَنَامِ
Dia menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara. Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan, dan tetumbuhan dan pepohonan, keduanya tunduk (kepada-Nya). Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu. Dan bumi telah dibentangkan-Nya untuk makhluk(-Nya).
Menurut Matin ayat ini begitu jelas mempresentasikan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini (ayat kauniyah) telah diciptakan dengan mizan. Maka dalam ayat tersebut manusia memiliki tugas untuk menjaganya dengan adl. Artinya jika dimensi adl ini hilang dari manusia, maka berpotensi merusak keseimbangan alam. Matin pun mengutip Q.S. al-Rum: 41 demi menegaskan pemahaman ini.
Ia lalu menguraikan bahwa sistem ekonomi yang diusung manusia menjadi salah satu penyebabnya. Kapitalisme dan konsumerisme yang akut telah menjangkit begitu lama dan menyebabkan alam hanya dipandang sebagai “objek eksploitatif” demi meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Dalam kasus tersebut, Matin mencetuskan cara pandang yang adil terhadap alam/ bumi khususnya yakni melihatnya sebagai masjid—tempat beribadah (sebagaimana termaktub dalam Hadis). Artinya ia ingin jika manusia memandang bumi dengan melibatkan sisi spiritualitasnya yakni dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang sakral.
Implikasinya, bumi akan lebih dihormati dan tidak diperlakukan dengan sembarangan—sebagaimana umat Islam memperlakukan al-Qur’an sebagai kitab suci yang sakral. Menurutnya, merefleksikan makna mizan dan adl merupakan bentuk ibadah kepada Allah, dan ia pun mengutip Q.S. al-Rum: 30—seolah ingin menunjukkan bahwa Green Deen ialah representasi atas al-din al-qayyim:
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia atas (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Selain memberikan wacana segar bagi kancah akademik, cara pandang keagamaan yang inovatif dan solutif semacam ini harus didiseminasikan secara masif ke ruang-ruang sosial umum. Umat perlu tahu jika agama bukan hanya sekedar persoalan halal dan haram, melainkan ruh atau spirit dalam segala aspek kehidupan. Wallahu a’lam.