BerandaUlumul QuranHadis Sebagai Muqarrir Terhadap Alquran

Hadis Sebagai Muqarrir Terhadap Alquran

Ada beberapa istilah yang digunakan ulama untuk menyebut peran hadis terhadap Alquran yang satu ini, di antaranya taqrir atau muqarrir yang berarti pengukuh dan penguat apa yang sudah ada. Istilah tersebut di antaranya digunakan oleh Nawir Yuslem dalam bukunya yang bertajuk Ulumul Hadis.

Namun, kebanyakan ulama mengungkapkannya dengan bayanus sunnah lil kitab ‘ala ma fil kitab (Abdul Halim Mahmud, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami, 34),  atau qad turadu al-sunnah muwafiqatan lima fi al-Qur’an dan lain sebagainya. (Ahmad Mahram asy-Syekh Naji, Ad-Dhau’ al-Lami’ al-Mubin ‘an Manahij al-Muhaddisin, 59)

Baca Juga: Empat Peran Hadis dalam Menafsirkan Al Quran

Semua istilah itu memiliki pengertian yang sama bahwa hadis berfungsi sebagai penegas pada keterangan yang terdapat di dalam Alquran. Hadis yang datang dengan fungsi pertama ini sesungguhnya bukan untuk menetapkan hukum baru yang belum dibicarakan Alquran.

Tetapi ia datang sejalan dengan kandungan ayat Alquran tanpa sedikitpun penambahan dan pengurangan. Itu sebabnya sebagian ulama menyebut fungsi ini sebagai bayan taqrir, karena posisi hadis dalam hal ini tidak lain adalah sebagai penguat dan pengukuh ketetapan hukum yang sudah ditetapkan oleh Alquran.

Kelompok hadis jenis pertama ini cukup banyak tersebar dalam kitab-kitab kompilasi hadis, seperti sabda Nabi Saw. yang berbicara mengenai kewajiban salat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya yang termuat dalam sebuah hadis populer:

بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالحَجِّ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam dibangun di atas lima (pondasi): bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad Saw adalah utusan Allah, menegakkan salat, menunaikan zakat, berhaji dan puasa di bulan Ramadan.” H.R. Bukhari Muslim

Baca Juga: Landasan Sadd al-Dzariah dalam Alquran dan Hadis

Hadis sahih ini berfungsi menegaskan kembali (men taqrir) ayat-ayat berikut:

{وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ} [البقرة: 43]

“Laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukukQ.S. Albaqarah [2]: 43

{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ } [البقرة: 183]

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa” Q.S. Albaqarah [2]: 183

{وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا} [آل عمران: 97]

“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.Q.S. Ali‘imran [3]: 97

Meskipun Alquran tidak menyebutkan secara khusus bahwa semua itu adalah rukun-rukun Islam, tetapi yang menjadi konteks pembicaraan di sini adalah bahwa hadis di atas mengungkapkan kembali apa yang telah dimuat dan terdapat di dalam Alquran, tanpa menjelaskan apa yang termuat dalam ayat-ayat tersebut.

Contoh lain adalah mengenai kewajiban puasa yang dikaitkan dengan muculnya hilal Ramadan. Dalam hadis riwayat Imam muslim, Rasulullah Saw bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا

“Apabila kalian melihatnya (hilal Ramadan) maka berpuasalah. Dan tatakala kalian melihatnya (hilal Syawal) maka berbukalah (jangan puasa). H.R. Muslim.

Hadis di atas semakna dengan Q.S. Albaqarah [2]: 185;

{فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ} [البقرة: 185]

“Barang siapa di antara kalian yang melihat bulan (Ramadan) maka berpuasalah…” Q.S. Albaqarah [2]: 185

Ayat di atas, yang kemudian di taqrir kembali kandungannya oleh hadis, membicarakan mengenai kewajiban berpuasa yang dikaitkan dengan hilal Ramadan. Bahwa puasa Ramadan wajib dilakukan manakala seseorang telah melihat hilal. 

Baca Juga: Politisasi Ayat dan Hadis dalam Sejarah Islam

Contoh lain, dalam kitab al-Manhal al-Lathif, Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki mencontohkan hadis Nabi Saw. yang berbunyi (al-Manhal al-Lathif fi Usul al-Hadits al-Syarif, 13):

إِنَّ اللَّهَ لَيُمْلِي لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذَا أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ

Sesungguhnya Allah akan menangguhkan siksaan bagi orang yang berbuat aniaya, tatkala Allah menghukumnya maka Dia tidak akan melepaskannya. H.R. Al-Bukhari

Hadis ini selaras dengan firman Allah Swt. dalam Q.S. Hud [11]: 102 sebagai berikut:

{وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ} [هود: 102]

Dan begitulah siksa Tuhanmu apabila Dia menyiksa (penduduk) negeri-negeri yang berbuat zalim. Sungguh, siksa-Nya sangat pedih, sangat berat. Q.S. Hud [11]: 102.

Hadis dan ayat Alquran di atas sama-sama membicarakan siksaan Allah kepada orang-orang yang berbuat zalim. Dalam hal ini, hadis hanya sebatas memperkuat dan menekankan betapa besarnya ancaman Tuhan terhadap orang-orang yang berbuat zalim agar manusia selalu berusaha menjauhinya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peran hadis sebagai taqrir atau muqarrir berfungsi sebagai penguat atau penegas terhadap beberapa ayat Alquran, tanpa adanya tujuan untuk memunculkan hukum baru, melainkan untuk mengukuhkan ketetapan hukum yang telah ada dalam Alquran.

Muhammad Zainul Mujahid
Muhammad Zainul Mujahid
Mahasantri Mahad Aly Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU