BerandaTafsir TematikHaid dalam Perspektif Medis, Sosial dan Agama

Haid dalam Perspektif Medis, Sosial dan Agama

Haid dalam perspektif kedokteran dikenal dengan menstruasi, yaitu keluarnya darah dari vagina sebagai bagian dari siklus biologis bulanan. Siklus ini merupakan bagian dari proses normal organ reproduksi perempuan untuk mempersiapkan kehamilan.

Dalam literatur fikih klasik haid didefnisikan seperti berikut,

فَالْحَيْضُ هُو اَلدَّمُ الْخَارِجُ فِيْ سِنِّ الْحَيْضِ، وَهُوَ تِسْعُ سِنِيْنَ فَأَكْثَرُ مِنْ فَرْجِ الْمَرْأَةِ عَلَى سَبِيْلِ الصِّحَّةِ، أَيْ لَا لِعِلَّةٍ، بَلْ لِلْجِبِلَّةِ مِنْ غَيْرِ سَبَبِ الْوِلَادَةِ

“Haid adalah darah yang keluar ketika sudah masa haid, yakni (umur) sembilan tahun atau lebih dari kemaluan seorang perempuan dalam kondisi sehat, yang bukan karena darah penyakit melainkan karena kodrati [tidak disebabkan karena melahirkan]”. (Fathul Qarib:10).

Baik dari sudut pandang Islam maupun sudut pandang kedokteran modern, haid merupakan proses alamiah yang tidak mengandung unsur aib. Namun, sebelum Islam hadir dan mengatur persoalan haid dengan lebih manusiawi, berbagai budaya dan sebagian tradisi keagamaan tertentu pernah menganggap menstruasi sebagai sesuatu yang mengotori, tabu, atau bahkan berbahaya.

Baca Juga: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 222: Benarkah Makna Haid itu Kotoran?

Mitos dan Tabu tentang Haid dalam Berbagai Tradisi dan Agama.

Dalam tradisi India kuno, menstruasi dianggap sebagai sesuatu yang tidak bersih, yang berada di bawah pengaruh Ahriman (roh jahat), dan di berbagai desa terdapat rumah khusus untuk mengisolasi perempuan yang sedang haid. Apa pun yang disentuh oleh perempuan haid dianggap tercemar. Bahkan jika mereka menggendong anak, tubuh anak tadi harus dicuci dahulu sebelum dibawa keluar rumah.

Dalam tradisi agama Yahudi, ketika perempuan dalam keadaaan haid mereka dilarang masuk ke rumah ibadah. Bahkan mereka harus mengasingkan diri dari hunian penduduk dulu, baru mereka dinyatakn suci manakala sudah menjalani peroses penyucian diri (thaharah/wikweh) dengan cara mandi wajib dengan air khusus disertai uupacara ritual tertentu.

Dalam beberapa komunitas Yahudi dan Nasrani juga terdapat kepercayaan bahwa perempuan haid tidak boleh menyentuh makanan tertentu, karena dikhawatirkan dapat mencemarinya, terutama yang mengandung alkohol.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Membaca Al-Quran Ketika Haid, Bolehkah?

Islam: Meluruskan Persepsi tentang Haid

Berbeda dengan berbagai tabu yang berkembang sebelum Islam, Alquran menjelaskan persoalan haid dengan sangat jernih. Dalam surah al-Baqarah ayat 222 disebutkan tentang haid meski dengan bentuk mashdarnya (al-mahidh).

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

“Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah suatu kotoran.” Maka, jauhilah para istri (dari melakukan hubungan intim) pada waktu haid dan jangan kamu dekati mereka (untuk melakukan hubungan intim) hingga mereka suci (habis masa haid). Apabila mereka benar-benar suci (setelah mandi wajib), campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Terjemah Qur’an Kemenag)

Imam Ahmad, dari Anas meriwayatkan mengenai turunnya ayat ini, disebutkan pada masa itu, orang Yahudi Madinah memiliki kebiasaan ekstrem terhadap perempuannya yang sedang haid. Masakan mereka tidak dimakan, tidak disentuh, bahkan mereka diasingkan dari keluarganya. Lantas salah seorang sahabat menanyakan hal tersebut kepada Nabi, kemudian beliau berdiam sementara, lalu turunlah ayat ini sebagai jawaban.

Lalu Nabi bersabda: “lakukanlah segala sesuatu (kepada istri yang sedang haid) kecuali bersetubuh.”

Mengenai hal ini, jelas sekali Nabi mengajarkan pada kita semua, bahwa perempuan haid bukan pihak yang harus ditakuti, dijauhi, dan ditempatkan di tempat yang terpisah dengan keluarganya, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu sebelum kedatangan Islam.

Nabi di sini hanya melarang seorang suami ketika istrinya dalam keadaan haid untuk tidak menyetubuhinya. Dan tentunya hal ini bukan tanpa alasan. Dilansir dari alodokter.com. bahwa berhubungan dengan istri yang sedang haid mempunyai enam efek samping, mulai dari penyakit menular seksual (seperti HIV, Hepatitis, dan Herpes), infeksi jamur vagina, vagina kering, Infeksi saluran kemih dan lainnya.

Dalam riwayat Sayyidah Aisyah:

 كُنْتُ أَشْرَبُ وَأَنَا حَائِضٌ وَأُنَاوِلُهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعُ فَاهُ عَلَى مَوْضِعِ فِيَّ فَيَشْرَبُ وَأَتَعَرَّقُ الْعَرْقَ وَأَنَا حَائِضٌ وَأُنَاوِلُهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعُ فَاهُ عَلَى مَوْضِعِ فِيَّ

“Aku (Aisyah) minum ketika aku sedang haid, kemudian aku memberikannya kepada Nabi Muhammad saw, lalu ia meletakkan mulutnya pada tempat mulutku. Aku juga pernah menggigit daging ketika aku sedang haid, kemudian (sisa dagingnya) aku berikan kepada nabi, maka ia meletakkan mulutnya di tempat mulutku.” (HR Aisyah).

Kesimpulan.

Haid atau menstruasi pada banyak budaya kuno dianggap tabu, kotor, bahkan membahayakan. Namun Islam hadir dengan pendekatan yang jauh lebih rasional, manusiawi, dan ilmiah. Haid adalah kondisi alami yang membawa ketidaknyamanan, bukan aib atau kutukan. Islam menghapus tradisi pengasingan perempuan, menormalkan interaksi sosial, dan hanya melarang hubungan seksual selama haid demi kesehatan kedua pasangan.

Ibnus Solah
Ibnus Solah
Mahasantri Ma’had Aly Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU