Tulisan ini akan dibahas mengenai tujuan penciptaan manusia dan juga jin serta implementasi kandungan surat al-Dzariyat ayat 56 pada kehidupan. Sehingga, dengan memahami makna yang terkandung dan memahaminya secara profesional dan proporsional, akan menjadikan manusia lebih bertakwa dan mulia di sisi Allah swt. Allah swt berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (Q.S al-Dzariyat [51]: 56)
Dalam tafsirnya, Al-Sa’di menyebutkan bahwa beribadah kepada Allah adalah tujuan penciptaan manusia dan jin. Allah Swt mengutus para Nabi dan Rasul tidak lain tujuannya adalah untuk mengajak manusia beribadah kepada-Nya. Menurutnya, ibadah yang dimaksud dalam hal ini mencakup juga ma’rifat yang disertai rasa cinta kepada-Nya serta bertaubat dan menerima atau rela terhadap ujian apapun yang menimpa terhadap seorang hamba. Seseorang dapat dikatakan sempurna ibadahnya apabila terus meningkatkan makrifat kepada-Nya (Al-Sa’di, 2000: 813)
Baca Juga: Tafsir Sufistik: Kenali Dua Golongan Yang Mempengaruhi Kendali Manusia
Tafsiran menarik lainnya yaitu dari Imam Fakhruddin al-Razi dalam “Mafatih al-Gaib”, terdapat suatu permasalahan mengenai ayat ini yakni mengenai kenapa jin itu terlebih dahulu disebutkan dari pada manusia. Apakah hikmah dibalik itu semua?
Menurut beliau ibadah dibagi menjadi dua yaitu ibadah yang dilakukan secara sembunyi dan ibadah yang dilakukan secara terang-terangan (riya’). Ibadah yang dilakukan secara sirri maka, ia lebih afdal dari pada ibadah yang dilakukan secara terang-terangan agar dipuji oleh banyak orang. Adapun ibadahnya jin ialah secara sirri, di dalamnya tidak terkontaminasi oleh riya’ sementara ibadahnya manusia adalah sebaliknya, mereka menyembah Allah justru agar dipuji oleh sejenisnya (Al-Razi, 2000: 199).
Sebagaimana yang telah saya sebutkan di atas bahwa banyak kasus kriminal yang terjadi seperti pembunuhan dan lain sebagainya melalui media sosial atau tidak. Tentu, perbuatan tersebut karena kurangnya kesadaran diri manusia bahwa ia adalah seorang hamba yang diciptakan oleh Allah swt untuk menyembah kepada-Nya, suka pada dunia meruapakan penyebab turunnya keimanan mereka.
Di media sosial manusia ramai-ramai memposting foto atau vidio yang tujuannya agar memiliki banyak followers sehingga, dari sini ia akan banyak dipuji oleh followers tersebut. Tanpa disadari mereka telah lalai seperti apa dampak yang akan terjadi dari tindakan tersebut pada dirinya. Imam al-Ghazali r.a dalam kitab Ihya’ Ulumiddin berkata:
اعلم أن أكبر الناس إنما هلكوا بخوف مذمة الناس وحب مدحهم فصار حركاتهم كلها موقوفة على ما يوافق رضا الناس رجاء للمدح وخوفا من الذم وذلك من المهلكات فيجب معالجته
“Ketahuilah! Mayoritas manusia telah binasa karena takutم celaan manusia, dan menyukai pujian mereka. Hingga semua kegiatan yang dia lakukan terbatas sesuai dengan apa yang dilakukan oleh manusia, karena dia selalu berharap pujian dan takut celaan dari manusia. Penyakit ini termasuk yang membinasakan olehkarena itu, wajib untuk diobati”
Perkataan Imam al-Ghazali tersebut sangat relevan baik pada masa kini atau masa yang akan datang di mana manusia berlomba-lomba memperlihatkan di media dirinya agar dipuji oleh manusia. Salah satu solusi untuk pengobatan ini adalah dengan memahami tujuan penciptaan manusia itu sendiri.
Dengan memahami kandungan surat al-Dzariyat ayat 56 ini secara profesional dan proporsional, maka seorang hamba akan terjaga keimanannya sehingga selalu mengingat Allah swt dan menjauhi larangan-Nya. Allah tidak melarang manusia untuk tidak bekerja atau meninggalkan dunia bahkan pekerjaan apapun dapat bernilai ibadah asalkan niatnya baik. Dalam kitab Ta‘lim al-Muta‘allim disebutkan:
كم من عمل يتصور بصورة عمل الدنيا ثم يصير بحسن النية من اعمال الاخرة وكم من عمل يتصور بصورة عمل الاخرة ثم يصير من اعمال الدنيا بسوء النية
“Betapa banyak amal yang berbentuk amal dunia tetapi menjadi malam akhirat karena baiknya niat dan betapa banyak amal yang berbentuk amal akhirat tetapi menjadi amal dunia belaka karena jeleknya ni’at”
Pernyataan ini telah banyak tergambar dalam kehidupan kita sehari-hari. Misalnya membaca Al-Qur’an dengan suara merdu di depan orang banyak yang tujuannya adalah agar dipuji atau setiap ibadah yang ni’atnya telah terkontaminasi oleh penyakit riya’. Maka, ibadah yang asalnya berbentuk amal akhirat menjadi amal dunia yang tidak ada nilainya. Namun sebaliknya yaitu apabila amal dunia diniati dengan baik seperti makan dan minum agar dapat semangat beribadah maka, amal tersebut akan menjadi amal akhirat, bernilai ibadah di sisi Allah.
Allah tidak melarang hambanya untuk menikmati dunia. Namun, hal yang paling berbahaya di sini adalah ketika kecintaan manusia kepada dunia telah melampaui batas, yang dapat melupakannya kepada Sang Maha Pencipta. Sebagaimana dalam surat al-Qasas ayat 57 yang secara garis besar agar manusia tidak merasa senang terlebih dahulu karena ada akhirat yang telah menunggu mereka.
Dalam pembahasan surat al-Qashas ayat 57 ini Syaikh Muhammad Mahmud dalam Tafsir al-Wadih memberikan empat perkara yang harus dipegang erat oleh seorang hamba agar tidak terjerumus ke dalam fitnah dunia.
Pertama, janganlah senang karena telah mendapatkan dunia karena hal tersebut menimbulkan sifat kesombongan dan kufur nikmat, fitnah serta perbuatan-perbuatan dusta lainnya. Dunia itu luas namun fana, ia seperti halnya pinjaman yang kelak akan kembali. Sehingga, sengsaralah bagi orang yang tenggelam karena dunianya.
Kedua, dunia adalah jalan menuju akhirat, juga sebagai ladang bagi manusia maka, barang siapa menanam kebaikan maka, ia akan menuai atau menyabitnya dan barang siapa yang menyia-nyiakan umurnya dengan perbuatan yang tidak diridai oleh Allah maka, ia akan menyesal.
Ketiga, Syiakh Muhammad Mahmud menyatakan bahwa agar manusia bekerja di dunia seakan-akan dia hidup selamanya namun juga ingat bahwa seakan-akan dia mati hari esok. Oleh sebab itu, carilah perbuatan yang dapat mendatangkan rida Allah yakni dengan cara menginfakkan sebagian harta serta kewajiban-kewajiban lainnya.
Baca Juga: Multidimensional Manusia dalam Al-Quran Versi Murtadha Muthahhari
Keempat, janganlah berbuat kerusakan di muka bumi baik itu dengan kazaliman, penindasan, kesombongan atau membahayakan orang lain. Semua itu perbuatan jelek yang tidak disukai oleh Allah. Alah tidak menyukai orang-orang yang berbuat rusak apapun itu bentuknya. Boleh menikmati dunia namun tidak berlebihan dan juga tidak pelit untuk berbagi.
Dari penafsiran ini dapat kita simpulkan bahwa kita diberi wewenang oleh Allah untuk menikmati dunia namun tanpa melampaui batas. Misalnya bermain medsos, jangan jadikan media sosial sebagai saran untuk melakukan tindakan maksiat yang kemudian menjadikan kita jauh dari Allah swt. Oleh sebab itu introspeksi diri sangat diperlukan dalam menunjang kualitas ibadah kita.
Dengan memahami hakikat penciptaan manusia baik secara internal dan juga eksternal, secara tinjauan dahir dan batin maka, hal tersebut akan membawa manusia kepada ketakwaan dan kemuliaan. Justru suatu tindakan dahir dapat dijadikan sarana untuk amal akhirat sebagaimana yang saya sebutkan di atas.