Peringatan 22 Desember sering kali terjebak dalam keriuhan simbolis: setangkai bunga, ucapan terima kasih atas hidangan di meja makan, atau sekadar permohonan maaf atas khilaf seorang anak. Namun, jika kita membedah naskah sejarah, Hari Ibu di Indonesia sejatinya adalah sebuah proklamasi eksistensi.
Ia lahir dari derap langkah para pejuang perempuan dalam Kongres Perempuan Indonesia I tahun 1928 di Yogyakarta. Mereka berkumpul bukan untuk merayakan domestisitas, melainkan untuk menggugat ketidakadilan dan menuntut hak pendidikan serta martabat yang setara di ruang publik.
Dalam kacamata iman, semangat ini menemukan pembenaran teologisnya yang paling puitis dan tegas dalam Al-Qur’an, khususnya saat kita menelaah relasi keadilan gender dalam surah An-Nisa ayat 32.
Menghapus Iri Hati Teologis: Pesan Surah An-Nisa Ayat 32
Sejarah kolonial dan patriarki lama sering kali memposisikan perempuan sebagai warga kelas dua. Namun, Al-Qur’an datang dengan sebuah deklarasi kemandirian amal yang luar biasa:
Allah Swt. berfirman:
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa: 32)
Imam Thabari dalam tafsirnya menjelaskan ayat ini turun untuk menegaskan bahwa setiap individu, tanpa memandang jenis kelamin, memiliki kedaulatan penuh atas usaha (kasab) dan pahala mereka. Kata nasibun (bagian) dalam ayat ini bukan sekadar bicara tentang warisan, melainkan tentang pengakuan Tuhan terhadap eksistensi amal perempuan.
Baca juga: Hukum Memperingati Hari Ibu menurut Al-Quran
Inilah esensi dari Kongres Perempuan 1928. Para pendahulu kita, seperti Nyai Ahmad Dahlan dan tokoh perempuan lainnya, menyadari bahwa perempuan memiliki “bagian usaha” yang besar bagi kemerdekaan bangsa. Mereka menolak untuk “iri” pada ruang gerak laki-laki, melainkan mereka menciptakan ruang gerak mereka sendiri. Al-Qur’an memvalidasi bahwa ruang kontribusi perempuan tidak terbatas pada dinding rumah, tetapi membentang luas sepanjang itu adalah bentuk kebajikan.
Memaknai Keadilan: Bukan Keserupaan, Tapi Keseimbangan
Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menekankan bahwa keadilan yang dimaksud Al-Qur’an bukanlah “keserupaan” yang memaksa perempuan menjadi laki-laki, melainkan keseimbangan peran yang memanusiakan keduanya. Kongres 1928 memperjuangkan hak pendidikan bukan agar perempuan meninggalkan fitrahnya, tetapi agar perempuan memiliki “senjata” intelektual untuk mendidik peradaban.
Perjuangan hak-hak sipil dalam kongres tersebut, mulai dari perbaikan hukum perkawinan hingga perlindungan buruh perempuan, adalah bentuk nyata dari implementasi ayat di atas. Perempuan menuntut bagiannya dalam sejarah karena Allah sendiri telah memberikan bagian itu di hadapan mizan-Nya. Mempersempit makna Hari Ibu hanya pada urusan dapur adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat ayat ini dan sejarah bangsa kita sendiri.
Hari Ibu dan Spiritualitas Pergerakan Perempuan
Para pejuang perempuan di Yogyakarta tahun 1928 memahami bahwa kemuliaan tidak datang dari belas kasihan, melainkan dari kualitas ilmu dan ketaatan. Dalam pandangan Ibnu Katsir, setiap usaha yang dilakukan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, akan dikembalikan hasilnya secara adil.
Hari Ibu di Indonesia adalah pengingat bahwa “Ibu” adalah gelar bagi kedaulatan. Seorang ibu adalah pendidik pertama (madrasatul ula), dan seorang pendidik mustahil bisa mengajar tanpa memiliki ilmu. Maka, keadilan gender dalam Islam adalah memberikan ruang seluas-luasnya bagi perempuan untuk meng-upgrade dirinya, sehingga ia mampu mengemban amanah Tuhan sebagai khalifah di bumi.
Baca juga: Belajar dari Kisah Hannah dan Maryam: Dua Sosok Ibu Tunggal Inspiratif
Merayakan Hari Ibu dengan semangat surah An-Nisa ayat 32 berarti mengakui bahwa setiap perempuan memiliki potensi yang harus dihargai, usaha yang harus diakui, dan suara yang harus didengar. Jangan biarkan peringatan 22 Desember kehilangan ruh pergerakannya.
Mari kita jadikan momentum ini untuk kembali melihat perempuan sebagai mitra sejajar dalam membangun bangsa, sebagaimana Al-Qur’an memandangnya sebagai mitra sejajar dalam meraih ridha Allah. Hari Ibu adalah tentang kedaulatan diri, tentang hak untuk berkontribusi, dan tentang janji Tuhan bahwa tak ada satupun usaha perempuan yang akan disia-siakan oleh langit.


![Jahiliyah Modern: Membaca Ulang Al-Mā’idah [5]:50 sebagai Kritik Hedonisme, Materialisme dan Kemerosotan Moral](https://tafsiralquran.id/wp-content/uploads/2025/12/2807131-218x150.jpg)











![Jahiliyah Modern: Membaca Ulang Al-Mā’idah [5]:50 sebagai Kritik Hedonisme, Materialisme dan Kemerosotan Moral](https://tafsiralquran.id/wp-content/uploads/2025/12/2807131-100x70.jpg)


