BerandaTafsir TematikHaul Gus Dur: Penafsiran Kontekstual Terhadap Surat Al-Nisa Ayat 34

Haul Gus Dur: Penafsiran Kontekstual Terhadap Surat Al-Nisa Ayat 34

Hari ini adalah tepat hari wafatnya KH. Abdurrahman Wahid sebelas tahun yang lalu. Untuk ikut memperingati Haul Gus Dur, tafsiralquran.id mempersembahkan satu artikel yang mengulas penafsiran beliau soal Surat al-Nisa Ayat 34 seputar keabsahan kepemimpinan perempuan.

Surat Al-Nisa Ayat 34 ini kadang dijadikan argumen bagi kelompok yang mendukung pelarangan kepemimpinan perempuan. Berikut adalah bunyi ayatnya:

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا – ٣٤

Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar

Lafal “qawwamuna ‘ala al-nisa’” dalam ayat tersebut dijadikan dasar untuk laki-laki menjadi pemimpin ketimbang perempuan. Menanggapi hal tersebut, Gus Dur menjelaskan dalam karyanya Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, bahwa ayat tersebut seharusnya dimaknai sebagai bentuk tanggung jawab fisik lelaki atas keselamatan wanita, bukan malah memaknainya sebagai lelaki lebih pantas menjadi pemimpin negara.

Sejalan dengan pemikiran Gus Dur tersebut, Nasaruddin Umar dalam karyanya Ketika Fikih Membela Perempuan, berpandangan bahwa lafal “qawwamuna ‘ala al-nisa’” lebih tepat dimaknai sebagai laki-laki berfungsi menjadi pelindung perempuan, baik perlindunan dalam aspek fisik maupun moral.

Baca Juga: Bolehkah Perempuan Menjadi Pemimpin Publik? Qiraah Maqashidiyah atas Kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis

Selain itu, andaikan memang Allah menghendaki laki-laki lebih layak menjadi pemimpin ketimbang perempuan, maka seharusnya redaksi yang digunakan pada kalimat setelahnya adalah “bi tafdlilihim ‘alaihinn” (atas kemuliaan laki-laki dari perempuan). Namun, Allah justru menggunakan redaksi “bima fadlalallah ba’dlahum ‘ala ba’dl” (oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain [laki-laki ataupun perempuan]).

Dalam buku Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan karya Syaiful Arif, Gus Dur berpandangan bahwa ayat tersebut tidak bisa dijadikan dasar untuk melarang perempuan menjadi seorang pemimpin. Hal ini dikarenakan adanya perubahan pemahaman terhadap konsep pemimpin itu sendiri. Pada masa Nabi, konsep kepemimpinan yang digunakan adalah kepemimpinan tunggal. Sedangkan saat ini, telah terjadi transformasi konsep kepemimpinan dari kepemimpinan tunggal menjadi kepemimpinan kolektif.

Tidak berhenti disitu, kelompok yang melarang kepemimpinan perempuan tersebut juga berdalil pada Hadis riwayat Imam Bukhari no. 4425 berikut:

لنْ يُفْلحَ قومٌ وَلَّوْا أمرَهُمُ امرأةً

Tidak akan beruntung suatu kaum yang mempercayakan urusan mereka kepada seorang wanita (mengangkatnya menjadi pemimpin mereka).

Sewaktu menjadi ketua PBNU, Gus Dur pernah ditanya oleh seorang ulama asal Pakistan perihal hadis tersebut. Mengingat pada saat itu kepemimpinan Pakistan dinahkodai oleh seorang perempuan yaitu Benazir Bhutto. Menjawab pertanyaan tersebut, Gus Dur menjawab:

“Bahwa dalam hal ini diperlukan penafsiran baru sesuai dengan perubahan yang terjadi. Bukankah Nabi Muhammad Saw menunjuk kepada kepemimpinan Abad VII hingga IX masehi di Jazirah Arab? Kepemimpinan suku atau kaum waktu itu memang berbentuk perseorangan (individual leadership), sedangkan sekarang kepemimpinan negara justru dilembagakan”

Dalam memahami hadis tersebut, Gus Dur juga menguraikan secara panjang lebar terkait konteks sosial-historis yang melatarbelakangi kemunculan hadis tersebut. Gus Dur mengungkapkan bahwa pada saat itu derajat perempuan sangat direndahkan, dan sama sekali tidak dipercaya untuk mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih lagi dalam masalah kenegaraan.

Dengan kondisi sosial yang demikian, maka wajar jika Nabi melontarkan hadis tersebut ketika mendengar Buwaran binti Syirawaih akan dijadikan ratu di Persia. Andaikan saat itu masyarakat Arab telah menghormati keberadaan perempuan dalam ruang publik, maka sangat mungkin Nabi akan menyatakan kebolehan kepemimpinan perempuan.

Sebagai tambahan, Syaikh ‘Ali Jum’ah dalam karyanya “Fatawa al-Nisa’: Fatawa wa Ahkam li al-Mar’ah al-Muslimah” juga berpandangan bahwa hadis tersebut memiliki asbabul wurud (konteks historis) tertentu. Karena berkaitan dengan konteks tertentu, maka hadis tersebut tidak bisa dimaknai bahwa semua kaum yang menyerahkan kepemimpinanya kepada perempuan pasti akan tidak beruntung.

Konteks historis tersebut menjadi pengikat teks, sehingga kisah tentang pengangkatan Buwaran binti Syirawaih tersebut tidak bisa diberlakukan umum untuk semua perempuan. Hal ini didasarkan pada sebuah kaidah ushul fikih:

أَنَّ وَقَائِعَ الْأَعْيَانِ لَا عُمُوْمَ لَهَا

Sesungguhnya suatu kejadian yang memiliki konteks historis khusus, tidak bisa diberlakukan umum

Kemudian, Syaikh ‘Ali Jum’ah juga menambahkan bahwa terdapat perbedaan antara jabatan khalifah dalam Islam dengan jabatan pemimpin negara pada masa modern saat ini. Jabatan khalifah dalam fikih Islam merupakan jabatan kepemimpinan yang juga sekaligus jabatan keagamaan.

Baca Juga: Tafsir Surah An Nisa Ayat 34: Peran Suami Istri dari Pemutlakan hingga Fleksibilitas Kewajiban

Sehingga seorang khalifah juga dibebani untuk menjalankan fungsi-fungsi keagamaan seperti imam shalat, khatib jum’at, dan lain sebagainya. Sedangkan jabatan yang demikian tidak ditemukan lagi setelah jatuhnya Imperium Turki Utsmani pada tahun 1924.

Lain halnya dengan jabatan pemimpin negara atau presiden, kedudukan tersebut merupakan jabatan sipil (madaniy) dan bukan jabatan keagamaan (diniy). Jabatan presiden tidak dibebani fungsi keagamaan, sebagaimana jabatan khalifah dalam literatur Islam klasik. Oleh karena itu, perempuan berhak untuk menduduki jabatan tersebut. Hal ini dikarenakan kemutlakan hukum akan berubah seiring berubahnya pemahaman akan konsep kepemimpinan tersebut.

Dengan demikian, pandangan Gus Dur terkait perbedaan antara laki-laki dan perempuan sebatas bersifat biologis, tidak bersifat institusional atau kelembagaan sebagaimana yang disangkakan oleh banyak orang dalam literatur Islam klasik. Wallahu A’lam.

Moch Rafly Try Ramadhani
Moch Rafly Try Ramadhani
Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...