Dalam kisah-kisah kenabian yang diceritakan Al-Qur’an, sosok Nabi Isa AS menempati posisi istimewa dengan berbagai keunikan, termasuk interaksinya dengan para pengikut setianya yang dikenal dengan sebutan “al-Hawariyun” (الحواريون). Kelompok ini memiliki kedudukan khusus sebagai pendukung risalah Nabi Isa di tengah penolakan dan permusuhan dari sebagian besar Bani Israil. Al-Qur’an mencatat kesetiaan mereka dan dinamika hubungan dengan Nabi Isa yang sarat dengan makna dan hikmah.
Asal-usul dan Identitas Hawariyun
Kata “Hawariyun” disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, termasuk dalam QS. Ali ‘Imran [3]: 52, QS. Al-Ma’idah [5]: 111-115, dan QS. Ash-Shaff [61]: 14. Ibnu Katsir (2/38–39) menjelaskan bahwa terdapat beberapa pendapat tentang asal usul nama tersebut. Sebagian mengatakan bahwa mereka adalah para tukang cuci pakaian, ada pula yang mengatakan mereka dinamakan demikian karena putihnya pakaian mereka, dan sebagian lain mengatakan mereka adalah para nelayan.
Namun, Ibnu Katsir menegaskan bahwa pendapat yang sahih adalah bahwa “Hawari” bermakna penolong (nâsir), sebagaimana disebutkan dalam hadis sahih bahwa Rasulullah Saw. ketika meminta sukarelawan pada Perang Ahzab, Zubair bin Awwam tampil ke depan. Maka Nabi Saw. bersabda: “Setiap Nabi memiliki hawari (penolong), dan hawariku adalah Zubair.”
Ibnu Ashur dalam tafsirnya (3/256) merinci bahwa Hawariyun berjumlah dua belas orang, yaitu: Simon Petrus (Simeon), saudaranya Andreas, Yohanes bin Zebedeus, saudaranya Yakobus (keempat orang ini adalah nelayan), Matius si pemungut pajak, Thomas, Filipus, Bartolomeus, Yakobus bin Halfai, Labawus, Simon al-Qanawi, dan Yudas Iskariot.[^2]
Keimanan Hawariyun dan Kesaksian Mereka
Kesetiaan para Hawariyun kepada Nabi Isa tercermin dalam respons mereka ketika Nabi Isa meminta dukungan untuk menegakkan agama Allah. Dalam QS. Ash-Shaff [61]: 14, Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا أَنْصَارَ اللَّهِ كَمَا قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ لِلْحَوَارِيِّينَ مَنْ أَنْصَارِي إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ
“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana Isa ibnu Maryam telah berkata kepada para Hawariyun: ‘Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?’ Para Hawariyun menjawab: ‘Kamilah penolong-penolong (agama) Allah.” (QS. Ash-Shaff [61]: 14).
Ibnu Katsir (8/139–140) menafsirkan bahwa Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk menjadi penolong Allah dalam semua keadaan mereka, dengan perkataan dan perbuatan, jiwa dan harta mereka, dan untuk memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya sebagaimana para Hawariyun memenuhi seruan Isa As. Allah lalu menjadikan para Hawariyun sebagai da’i untuk menyeru manusia di negeri-negeri Syam di kalangan Bani Israil dan Yunani.
Baca juga: Siapakah Al-Hawariyyun yang Disebut dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya
Ibnu Ashur (3/256) menambahkan bahwa jawaban para Hawariyun menunjukkan mereka memahami bahwa memberi pertolongan kepada Isa sebenarnya adalah memberi pertolongan kepada agama Allah. Ungkapan “Kami adalah penolong-penolong Allah” tidak bermaksud membatasi pertolongan hanya pada mereka, tetapi menunjukkan kesegeraan mereka untuk memenuhi seruan tersebut.
Dalam QS. Al-Ma’idah [5]: 111, Al-Qur’an menjelaskan pengakuan keimanan para Hawariyun:
وَإِذْ أَوْحَيْتُ إِلَى الْحَوَارِيِّينَ أَنْ آمِنُوا بِي وَبِرَسُولِي قَالُوا آمَنَّا وَاشْهَدْ بِأَنَّنَا مُسْلِمُونَ
“Dan (ingatlah) ketika Aku ilhamkan kepada para Hawariyun: ‘Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada Rasul-Ku’. Mereka menjawab: ‘Kami telah beriman dan saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang muslim.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 111).
Ibnu Ashur (7/103) menafsirkan bahwa “wahyu” kepada para Hawariyun bermakna ilham yang Allah berikan kepada mereka ketika mendengar seruan Isa untuk segera membenarkannya. Ini bukan wahyu kenabian, melainkan inspirasi atau dorongan yang Allah berikan kepada mereka untuk beriman, sementara banyak Bani Israil lainnya justru mengingkari.
Kisah Hidangan dari Langit
Salah satu interaksi paling terkenal antara Nabi Isa dan para Hawariyun adalah permintaan mereka akan hidangan dari langit, sebagaimana terabadikan dalam QS. Al-Ma’idah [5]: 112-115. Kisah ini begitu penting hingga memberikan nama untuk surat Al-Ma’idah (Hidangan).
Ibnu Katsir (3/202) menyebutkan bahwa kisah ini tidak terdapat dalam Injil dan umat Nasrani hanya mengetahuinya dari umat Islam. Ibnu Katsir menafsirkan bahwa permintaan para Hawariyun didasari kebutuhan dan kemiskinan mereka, sehingga mereka meminta hidangan yang dapat mereka makan setiap hari.
Ketika para Hawariyun bertanya: “Hai Isa putra Maryam, sanggupkah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?”, Nabi Isa menjawab dengan peringatan: “Bertakwalah kepada Allah jika kamu benar-benar orang yang beriman,” mengingatkan mereka untuk tidak meminta hal-hal yang dapat menjadi ujian bagi mereka.
Baca juga: Ikrar Setia Kaum Hawariyyun: Refleksi Peringatan Hari Sumpah Pemuda
Para Hawariyun kemudian menjelaskan motivasi mereka: “Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya hati kami tenteram dan supaya kami yakin bahwa engkau telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu.” Mereka mengakui kebutuhan mereka akan makanan, keinginan untuk memperoleh ketenangan hati, dan penguatan keyakinan mereka terhadap kebenaran risalah Nabi Isa.
Nabi Isa kemudian berdoa: “Ya Allah, Tuhan kami, turunkanlah kepada kami hidangan dari langit yang akan menjadi hari raya bagi kami, yaitu bagi orang-orang yang pertama dan yang terakhir di antara kami dan menjadi tanda dari Engkau; berilah kami rezeki, dan Engkaulah sebaik-baik Pemberi rezeki.”
Ibnu Katsir (3/202) menukil beberapa penafsiran tentang ungkapan “menjadi hari raya bagi kami.” As-Suddi menafsirkan bahwa mereka akan menjadikan hari turunnya hidangan sebagai hari raya yang diagungkan oleh mereka dan generasi setelah mereka. Sufyan ats-Tsauri memaknainya sebagai hari untuk melaksanakan salat. Qatadah berpendapat itu untuk keturunan mereka, sementara Salman al-Farisi memahaminya sebagai pelajaran bagi mereka dan generasi setelah mereka.
Baca juga: Pandangan Para Mufasir Tentang Peristiwa Pengangkatan Nabi Isa
Allah mengabulkan doa tersebut dengan peringatan keras: “Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu, barangsiapa yang kafir di antaramu setelah (turun hidangan itu), maka sesungguhnya Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan kepada seorangpun di antara umat manusia.”
Ibnu Katsir (3/202) menukil riwayat dari Abdullah bin Amr bahwa tiga kelompok yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah: orang-orang munafik, orang-orang yang kafir setelah turunnya hidangan, dan keluarga Fir’aun.
Penyelamatan Nabi Isa dan Nasib Hawariyun
Dalam QS. Ali ‘Imran [3]: 54-55, Al-Qur’an menceritakan tentang upaya Bani Israil untuk membunuh Nabi Isa dan bagaimana Allah menyelamatkannya. Ibnu Katsir (2/38–39) menjelaskan bahwa pemuka-pemuka Bani Israil berkomplot untuk mencelakakan Nabi Isa dengan cara membuat fitnah kepada penguasa saat itu yang kafir, menuduh Isa menyesatkan manusia dan menghalangi ketaatan kepada raja. Mereka juga menfitnah dengan tuduhan bahwa Isa adalah anak hasil perzinaan.
Ketika mereka mengepung rumah tempat Isa berada, Allah menyelamatkannya dengan mengangkatnya melalui lubang atap rumah ke langit, dan menjatuhkan keserupaan Isa kepada salah seorang yang berada di rumah itu. Orang-orang yang mengepung kemudian menangkap orang tersebut, menghinanya, menyalibnya, dan meletakkan mahkota duri di kepalanya, mengira dia adalah Isa.
Ibnu Katsir (8/139–140) juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ketika Allah hendak mengangkat Isa ke langit, Isa keluar menemui para sahabatnya yang berjumlah dua belas orang di sebuah rumah. Kepalanya masih meneteskan air setelah mandi. Ia berkata kepada mereka: “Sesungguhnya di antara kalian ada yang akan mengingkariku dua belas kali setelah beriman kepadaku.” Lalu Isa bertanya: “Siapa di antara kalian yang bersedia dijadikan serupa denganku, dibunuh menggantikanku, dan bersamaku di tingkatku (di surga)?” Seorang pemuda yang paling muda di antara mereka berdiri dan berkata: “Aku.” Setelah pemuda itu menyatakan kesediaannya tiga kali, Isa berkata: “Engkaulah orangnya.” Lalu keserupaan Isa diletakkan pada pemuda tersebut, dan Isa diangkat ke langit.
Hikmah dan Pelajaran dari Kisah Hawariyun
Kisah Hawariyun dan interaksi mereka dengan Nabi Isa As mengandung berbagai hikmah dan pelajaran penting:
- Keimanan sejati memerlukan keberanian dan komitmen untuk menjadi pembela kebenaran, sebagaimana para Hawariyun yang berani mengidentifikasi diri sebagai “Ansarullah” meskipun menghadapi risiko penolakan masyarakat.
- Dalam perjalanan keimanan, ujian dan keraguan merupakan hal yang manusiawi dan bisa menjadi jalan untuk memperkuat keyakinan, seperti yang dialami para Hawariyun ketika meminta “hidangan dari langit.”
- Pertolongan Allah datang dengan cara yang tidak selalu kita duga, sebagaimana Dia menyelamatkan Nabi Isa dari rencana pembunuhan dengan mengangkatnya ke langit.
- Pengorbanan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjuangan membela kebenaran, sebagaimana seorang pengikut Nabi Isa bersedia mengorbankan nyawa dengan mengambil rupa Nabi Isa As.
- Kesetiaan kepada ajaran kenabian adalah wujud kesetiaan kepada Allah, bukan sekadar kesetiaan personal kepada sosok nabi.
Kisah para Hawariyun ini tetap relevan sebagai teladan bagi kita tentang bagaimana mendukung dan menyebarkan kebenaran dengan ketulusan dan pengorbanan. Wallahu a’lam bi-shawab.