Hermeneutika dan Kontribusinya dalam Menafsirkan Al-Qur’an

Hermeneutika dan Konstribusinya dalam Menafsirkan Al-Qur’an
Hermeneutika dan Konstribusinya dalam Menafsirkan Al-Qur’an

Dalam dunia Islam, hermeneutika masih dipandang tabu dan cukup kontroversial. Sebagian pemikir muslim menyederhanakan hermeneutika hanya sebagai aliran dekonstruktif, yakni teks adalah milik penafsir, bukan pengarang. Melalui tulisan ini, penulis hanya berharap kita bisa melihat hermeneutika dari sisi yang berbeda, yang sebelumnya dipandang sebagai upaya desakralisasi al-Quran, maka kini kita bisa melihat bagaimana hermeneutika dapat digunakan dalam menafsirkan teks-teks al-Quran.

Istilah hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, yaitu hermenuein yang diterjemahkan sebagai “menafsirkan”. Kata bendanya adalah hermeneia yang memiliki arti “tafsiran” (Edi Susanto, 2016). Hermeneutika dikaitkan dengan tokoh Hermes, sang penyampai wahyu dewa (Fahrudin Faiz, 2015: 4). Dalam Islam, Hermes rupanya dikenal sebagai nabi Idris, dan di kalangan masyarakat Mesir adalah Musa—disebut oleh mereka sebagai Toth—. Adapun dalam doktrin Yahudi disebut Unukh dan dalam kepercayaan Persia disebut Hushang (Edi Susanto, 2016: 3) (Nasr, 1967: 64) (Fahrudin Faiz, 2015: 4).

Jika ditanya, apa sebenaranya hermeneutika, mungkin beberapa literatur setuju untuk mengatakan bahwa, hermeneutika tidak dapat didefinisikan hanya melihat satu teori, atau hermeenutika tidak memiliki definisi yg absolut, sebab ia memiliki banyak cabang. Karena hermeneutika memiliki sejarah yang panjang serta keberagaman obyek kajiannya, maka definisi hermeneutika sendiri menjadi beragam (Quraish Shihab, 2019: 343).

Meminjam definisi yang diberikan Zygmunt Bauman, hermeneutika adalah upaya menjelaskan dan menelusuri makna dari teks yang samar, serta ambiguistik yang demikian itu membingungkan bagi pembaca (Faiz, 2015: 6). Salah satunya juga teramat terlihat dalam frasa kitab suci yang terkadang cenderung puitis dan menyimpan banyak makna (kiasan), yang mengharuskan kita mencari makna sebenarnya.

Dalam kajian Islam, hermeneutika mendapakan beragam respon. Ada yang menerima, ada pula yang menolak. Mereka yang menolak misalnya Muhammad Imarah. Imarah dalam kitab-kitabnya cukup gencar menolak hermeneutika sebagai metode penafsiran atau wajah baru (model analisis) penafsiran. Ia sampai mengatakan bahwa hermeneutika akan menuhankan manusia (ta’lih al-insan), sebab menurutnya hermeneutika adalah “menyerahkan seluruh makna teks—konteks ini adalah kitab suci—pada penafsir”. Serta menyatakan bahwa hermeneutika akan memanusiakan Tuhan (annsanat al-ilah) sebab pesan Tuhan diserahkan sepenuhnya pada ego manusia. Aliran yang dikritik oleh Imarah ini adalah aliran yang disebut oleh Sahiron sebagai aliran obyektivis (Sahiron, 2017: 4).

Baca juga: Perbandingan Hermeneutika dan Ilmu Tafsir menurut Nashruddin Baidan

Tiga aliran hermeneutika

Dalam sejarah perkembangannya, hermeneutika telah mendapati banyak respons dari kalangan pemikir. Respons tersebut kemudian menghasilkan buah pikir baru, yang pada akhirnya melahirkan aliran-aliran hermeneutika yang beragam. Oleh karena itu, munculnya satu aliran baru adalah hasil dari pengembangan maupun tanggapan kritis terhadap aliran yang ada sebelumnya. Di bawah ini merupakan cabang-cabang dari hermeneutika.

Aliran objektivis (romansis), merupakan suatu aliran dalam kajian hermeneutika yang lebih memfokuskan dan menekankan pada upaya pencarian makna apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh sang author (penulis/pengarang teks). Sederhananya, aliran ini berupaya untuk merekonstruksi apa yang dimaksud oleh pencipta teks.

Aliran subjektivis. Berbeda dengan aliran sebelumnya, aliran subjektivis ini berpandangan bahwa penafsirlah yang memiliki kuasa atas makna teks. Artinya, pada aliran ini, mereka tidak berupaya untuk menggali dan memahami maksud author, karena makna teks diserahkan pada sang penafsir.

Penganut aliran ini memberikan –setidaknya– tiga argumen sebagai justifikasi mereka; pertama, pada teks-teks lampau, kuno, tentunya akan sulit bagi penafsir untuk mengakses langsung ke pengarang teks, maka upaya untuk mendapatkan makna teks yang orisinil sekiranya adalah perkara yang tidak mungkin. Kedua, makna teks selalu berubah dari waktu ke waktu dan dari pembaca ke pembaca yang lain. Ketiga, makna teks bisa ditangkap hanya dengan menganalisis kebahasaan dan simbol saja.

Acques Derrida tidak setuju mengenai makna sentral (makna tunggal sebuah teks), karena menurutnya teks memiliki banyak makna. Teks bersifat terbuka (open) untuk selalu bisa ditafsirkan. Stanley Fish juga berpendapat bahwa teks memuat potensi-potensi makna, yang artinya seorang penafsir boleh memilih makna mana yang ingin dia ambil.

Aliran objektivis-cum-subjektivis, aliran ini berada di tengah-tengah antara dua aliran sebelumnya yang saling membelakangi. Aliran ini berupaya untuk menguak, menelusuri makna orisinil yang hendak author sampaikan, serta mengembangkan makna-makna teks yang ditafsirkan. Tokoh di dalamnya seperti J.E. Gracia dan Hans-Georg Gadamer menyatakan, dalam menafsirkan sebuah teks, di sana ada keobjektivitasan serta kesubjektivitasan sekaligus.

Baca juga: 3 Hal yang Menjadikan Hermeneutika Al-Qur’an Penting Digunakan menurut Fahruddin Faiz

Kontribusi hermeneutika dalam penafsiran al-Qur’an

Setelah kita berkenalan dengan Muhammad Imarah–yang menolak hermeneutika–mari kita berkenalan dengan Farid Esack yang dalam kajiannya menyimpulkan bahwa sebenarnya hermeneutika telah menjadi landasan umat Islam sejak lama. Misalnya dalam bagaimana kita mengkaji dan memahami asbabun nuzul dan nasikh-mansukh (Fahruddin Faiz, 2015: 14).

Operasional hermeneutika juga digunakan oleh para pembaharu seperti Ahmad Khan, Amir Ali, dan G. Ahmad Parves yang berupaya melakukan “demitologi”–yakni dengan mempersepsikan dongeng dan cerita sebagai simbolis saja, dengan tujuan untuk menafsirkannya–melalui hermeneutika (Faiz, 2015: 15).

Apa itu “demitologi”? Demitologi merupakan sebuah upaya pada perkembangan awal filsafat untuk memalingkan pikiran manusia dari mitos dan dongeng menuju logos (akal pikir/ilmu pengetahuan), namun, bukan berarti apa yang diupayakan Amir Ali, Ghulam Ahmad Prves, Ahmad Khan, dkk adalah mengabaikan kisah-kisah dalam Quran, melainkan menggunakan kisah itu sebagai simbol atau memberi gambaran.

Dengan kata lain, konsep ini menjadikan kisah-kisah yang tak masuk akal sebagai simbolik yang kemudian dimaknai dan ditafsirkan secara eksistensial agar diterima logika. Dinyataka tidak masuk akal, sebab terjadinya seakan sangat luar biasa dan di luar nalar manusia. Misal, nabi Isa dan nabi Ibrahim yang mampu membangkitan makhluk dari kematian, luluh lantaknya Pompei dan dataran kaum Luth ditimpa oleh daratannya sendiri, serta kisah-kisah lainnya.

Saya mencoba tekankan bahwa hermeneutika tidak dapat didefinisikan hanya dari satu definisi saja, sebab dengan melihat beragamnya objek, maka melahirkan berbagai definisi. Memang pada cabang subjektivis, hermeneutika seakan menghilangkan i’jaz (sisi mukjizat) dan desakralisasi Quran, namun ada aliran seperti romansis yang mencoba untuk menguak makna sebenarnya dari nash dengan tidak semata-mata memaknainya dengan presepsinya sendiri (seperti penganut aliran dekosntruksi atau subjektivis).

Sahiron dalam bukunya mengkritik Imarah sebagai seorang yang terkesan memiki sikap menyimplifikasikan hermeneutika, karena ia hanya mengkritik hermeneutika dari satu definisi, bukan dari banyak cabang yang sebenarnya juga eksis.

Dalam komentarnya, Quraish Shihab menyatakan hermeneutika boleh dipakai selama tidak menghilangkan hakikat al-Quran dan demi mengetahui dan mengungkap (al-kasfu) pesan Allah. Sebagaimana yang dikemukakan Farid Esack, bahwa esensi hermeneutika sudah didalami dan dikaji oleh umat Islam, yakni dalam mengkaji asbabun nuzul maupun naskh-manskh. Wallahu a’lam.

Baca juga: Kebolehan Hermeneutika untuk Memahami Al-Qur’an Menurut M. Quraish Shihab