BerandaTokoh TafsirHermeneutika Friedrich Schleiermacher dan Relevansinya dengan Tafsir Al-Qur’an

Hermeneutika Friedrich Schleiermacher dan Relevansinya dengan Tafsir Al-Qur’an

Banyak pemikiran hermeneutika yang digagas para sarjana Barat yang diadopsi sarjana muslim masa kini dalam mengembangkan kajian keislaman. Meski tidak jarang hal ini mendapatkan pertentangan dari sebagian kalangan. Salah satunya pemikiran hermenutika Friedrich Schleiermacher yang dinilai memiliki relevansi dengan kajian tafsir Al-Qur’an.

Profil singkat Friedrich Schleiermacher

Friedrich Schleiermacher merupakan keturunan Kristen Protestan. Ia dilahirkan di Jerman pada 21 November 1768 dan meninggal pada 6 Februari 1834. (Zakirman, 2020: 53). Pendidikannya dimulai di institusi Morovian Brethren, kemudian pindah ke University of Halle pada tahun 1787. Friedrich lulus ujian bidang teologi Kristen pada tahun 1790, kemudian bertugas sebagai pengajar hingga tahun 1793. Beberapa tahun kemudian, Schleiermacher sibuk mempelajari dan mengkritisi teori pemikiran tokoh-tokoh besar, seperti Immanuel Khan dan Spinoza. Dari kritikan tersebut, ia kemudian melahirkan karya-karyanya seperti On what Gives Values to Life dan On freedom.

Ketika belajar di Berlin, ia bertemu dengan pemikir yang beraliran romantisis (obyektivis), seperti August Wilhelm. Bersama pemikir tersebut, dia terlibat dalam gerakan romantisis dan dapat menerbitkan jurnal Athanaeum pada tahun 1798 sampai 1800. Aliran obyektif inilah yang kemudian mempengaruhi pemikiran-pemikiran hermeneutiknya. (Syamsudin, 2017: 60).

Pemikiran Friedrich Schleiermacher

Pemikiran hermeneutika Schleiermacher banyak dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan Friedrich Von Schlegel, selain itu juga dipengaruhi ahli filologi Friedrich Ast dan Friedrich August Wolf. (Poespoprodjo, 2014: 18). Pemikiran maupun teori yang digagas oleh Friedrich ialah teori hermeneutika. Friedrich Schleiermacher memposisikan hermeneutika secara lebih luas tidak terbatas pada teks-teks suci tertentu. ia memposisikan hermeneutika sebagai problem of human understanding. problem pemahaman manusia. Tujuannya ialah menempatkan hermeneutika dalam konteks theories of knowledge atau teori-teori ilmu pengetahuan.

Friedrich Schleiermacher mendefinisikan hermeneutika dengan ‘seni memahami’ yang terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu pemahaman mekanik dalam hal kehidupan keseharian, pemahaman yang didasarkan atas pengalaman, dan pemahaman arsitik terhadap ungkapan dan tulisan yang sulit dipahami.

Teori untuk menghindari kesalahpahaman bagi penafsir

Hermeneutika yang dibangun olehnya ialah hermeneutika gramatikal dan psikologis. Hermeneutika gramatikal mempelajari tentang bahasa dan sejarah (aliran obyektif). Sedangkan hermeneutika psikologis mempelajari bahasa sebagai ungkapan hidup seseorang (aliran subyektif). Oleh karena itu, munculah teori Friedrich bahwa untuk menghindari kesalahpahaman, seorang penafsir harus melakukan kajian dan analisis, di antaranya:

  • Objectively historical analysis (analisis historis yang bernuansa obyektif)
  • Objectively divinatory analysis (analisis divinatory yang bernuansa obyektif)
  • Subjectively historicl analysis (analisis historis subyektif)
  • Subjectively divinatory analysis (analisis divinatory subyektif)

Baca juga: Inilah Tiga Model Pendekatan Hermeneutika dalam Menafsirkan Al-Quran

Relevansi pemikiran Friedrich Schleiermacher dalam kajian Al-Qur’an

Pemikiran Friedrich Schleiermacher termasuk dalam aliran obyektivis. Aliran obyektivis merupakan aliran yang lebih menekankan terhadap pencarian makna asalnya suatu teks. Dalam hal ini, maka penafsiran adalah upaya membangun kembali apa yang dimaksudkan oleh pencipta teks aslinya (Syamsudin, 2017:72)

Hermeneutika gramatikal dengan teorinya Friedrich Schleiermacher sangat relevan jika dikaitkan dengan Al-Qur’an. Beberapa relevansinya, di antaranya dapat dilihat sebagai berikut:

Pertama, seorang mufasir harus mengerti bahasa yang digunakan oleh author atau audiens historisnya. Ini artinya, mufasir Al-Qur’an harus memahami dengan baik bahasa Arab yang mana merupakan bahasa Al-Qur’an.

Pemahaman yang dikuasai harus mencakup makna kosakatanya, maupun struktur bahasanya ketika ayat Al-Qur’an diturunkan. Karena struktur bahasa yang ada dalam Al-Qur’an menyimpan banyak kandungan makna, tidak terbatas hanya pada tekstualnya. Sebagai contoh, prinsip pertama Schleiermacher dalam kajian Al-Qur’an ialah adanya diakroni (makna yang mengalami perubahan) dan sinkroni (aspek bahasa yang selalu tetap). Ketika membaca ayat berikut misalnya.

وَجَاءَتْ سَيَّارَةٌ فَأَرْسَلُوا وَارِدَهُمْ فَأَدْلَىٰ دَلْوَهُ ۖ قَالَ يَا بُشْرَىٰ هَٰذَا غُلَامٌ ۚ وَأَسَرُّوهُ بِضَاعَةً ۚ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِمَا يَعْمَلُونَ

“Kemudian datanglah kelompok orang-orang musafir, lalu mereka menyuruh seorang pengambil air, Maka Dia menurunkan timbanya,…..” (QS. Yusuf [12]: 19).

Pada saat ini, yakni era kontemporer, lafadz sayyarah dimaknai dengan mobil. Padahal lafadz sayyarah pada saat Nabi Muhammad menerima wahyu tersebut maknanya ialah orang yang berjalan kaki atau musafir. Oleh sebab pergeseran makna itu, maka seorang penafsir harus betul-betul memahami arti dari suatu lafadz yang dikehendaki oleh penciptanya. Disamping itu, kedekatan waktu dan kesamaan bahasa adalah jaminan dari otentisitas.

Kedua, seorang mufasir harus melakukan analisis sintagmatis. Jika dikaitkan dengan penafsiran Al-Qur’an, maka dapat dipahami ketika mufasir akan menafsirkan satu kalimat dalam ayat Al-Qur’an, ia juga harus melihat kalimat-kalimat yang berada di sekelilingnya, baik yang ada sebelumnya maupun setelahnya. Jadi, mufasir juga harus memperhatikan konteks kalimat dan ayat atau yang biasa disebut dengan siyaqul kalam.

Penerapan ini bisa disebut juga dengan polisemi. Polisemi menurut ahli lingusitik ialah satu kata yang memiliki lebih dari satu makna (Arifin, 2018: 441). Prinsip kedua Schleiermacher ini jika dalam Al-Qur’an relevan dengan lafadz musytarak. Sebagai contoh, perhatikan dua ayat berikut.

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

“Peliharalah semua salat(mu), dan (peliharalah) salat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (QS. Al-Baqarah [2]: 238).

وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا ۗ وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَن يَنصُرُهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa (QS. Al-Hajj [22]: 40).

Lafadz الصلوات dalam QS. Al-Baqarah ayat 238 bermakna salat sebagai ritual ibadah seorang Muslim. Ini berbeda dengan makna صلوات dalam QS. Al-Hajj ayat 40 yang bermakna rumah ibadah orang Yahudi (Zakirman, 2020: 65).

Baca juga: Tafsir Al-Qur’an Bersifat Multivokal, Ini Tiga Alasannya

Ketiga, seorang mufasir harus memperhatikan hubungan antara bagian-bagian dan keseluruhan. Dalam Al-Qur’an, teknik inipun juga sangat banyak dilakukan oleh mufasir Al-Qur’an sendiri. Suatu kalimat dapat dipahami melalui keseluruhan ayat, serta sebaliknya suatu ayat juga dapat dipahami jika dilihat dari bagian setiap lafadz yang menyusunnya (Bary, 2020: 67). Hemat penulis, prinsip ketiga Schleiermacher dapat dicontohkan pada ulumul quran yakni munasabah ayat bil ayat, munasabah surah bil surah,

Sedangkan hermeneutika psikologis Friedrich sebenarnya tidak bisa serta merta direlevasikan dengan Al-Qur’an. Sebab, seorang penafsir tidak mungkin meneliti atau mengkaji bagaimana kondisi psikologis pengarang teks, yang mana pengarang Al-Qur’an ialah Allah Swt. Namun, ketidakbisaan mengadopsi tersebut, masih bisa direlevansikan dengan psikologis dalam artian latar belakang atau konteks historis turunya  suatu ayat.

Konteks historis inilah yang biasa disebut dalam ulumul quran sebagai asbabun nuzul (Syamsudin, 2017). Asbabun nuzul yakni peristiwa yang terjadi pada masa turunnya ayat, di mana kandungan ayat tersebut berkaitan dengan peristiwa itu. (Shihab, 2013: 235).

Penutup

Dari pemaparan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa prinsip hermeneutika Schleiermacher tidak bertentangan dengan kajian Al-Qur’an. Di lain sisi, prinsip Schleiermacher juga tidak mereduksi makna teks Al-Qur’an serta tidak dapat menghilangkan nilai suci kesakralan Al-Qur’an. Menurutnya juga, Sebuah teks harus disesuaikan dengan maksud dan pemahaman author. Dengan demikian, konsep heremeneutika Schleiermacher, baik gramatikal maupun psikologis memiliki relevansi dalam perkembangan kajian tafsir Al-Qur’an.

Baca juga: Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas dan Posisinya dalam Studi Al-Quran

Chulsum Layyinatul Chasanah
Chulsum Layyinatul Chasanah
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga dan Santri di PP As-Salafiyyah Mlangi, Yogyakarta.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Q.S An-Nisa’ Ayat 83: Fenomena Post-truth di Zaman Nabi Saw

0
Post-truth atau yang biasa diartikan “pasca kebenaran” adalah suatu fenomena di mana suatu informasi yang beredar tidak lagi berlandaskan asas-asas validitas dan kemurnian fakta...