Isu kerusakan lingkungan dewasa ini menjadi persoalan pelik yang penting untuk dikaji guna menjaga keseimbangan ekosistem. Disadari atau tidak, rusaknya lingkungan akibat aktivitas manusia menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya bencana alam.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mencatat bahwa sepanjang tahun 2013 hingga 2019 telah terjadi pengalihfungsian 12,3 juta hektar lahan menjadi kebun sawit. Mirisnya, laporan Auriga Nusantara menunjukkan bahwa dari 339 ribu hektar lahan sawit, 145 hektar di antaranya dibiarkan terbengkalai karena rusaknya alam. Fakta ini cukup mengindikasikan adanya tindakan eksplorasi liar umat manusia.
Dalam Alquran, kegelisahan akan rusaknya alam oleh ulah manusia sendiri berangkat dari kisah penciptaan Adam. Ketika itu Malaikat resah terhadap sikap manusia yang akan berbuat kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi (lihat: Q.S. Albaqarah [2]: 30). Dalam konteks lain, potensi sifat destruktif manusia terhadap alam secara redaksional juga terekam dalam Q.S. Albaqarah [2]: 60, Q.S. Arrum [30]: 41, Q.S. Ala’raf [7]: 56.
Hanya saja, memang kajian konservasi alam belum banyak muncul karena tren penafsiran para mufasir klasik cenderung masih fokus pada ranah transenden ketuhanan (teosentris). Sedangkan penafsiran berbasis lingkungan (ekologi) dimunculkan atas dasar kemaslahatan umat manusia (antroposentris). Pergeseran paradigma penafsiran ini diungkapkan oleh Abdul Mustaqim dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ulumul Qur’an.
Dalam dinamika perkembangan usul fikih, dikenal konsep maqashid al-syariah. Bahwa dalam setiap pensyariatan hukum oleh Allah, selalu ada maksud/alasan/ilat yang melatarbelakanginya. Jika ilat tersebut hilang, maka hukum tidak lagi berlaku. Oleh karenanya, muncul kaidah al-hukmu yaduru ma’a illatihi wujudan wa adaman (hukum bergantung pada ada dan tidak adanya alasan).
Konsep maqashid ini pada perkembangannya menjadi asas dari penafsiran ayat. Adapun tujuan yang hendak dicapai dari maqashid al-syariah adalah terwujudnya kemaslahatan umat dalam menjalankan syariat.
Selama ini mayoritas ulama maqashid al-syariah berpegangan pada Al-Ghazali -juga As-Syatibi- yang membagi lima aspek primer (al-dlaruriyat al-khamsah), yakni; menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima aspek ini disinyalir menjadi patokan utama yang sudah paten.
Namun, sebagian ulama kontemporer justru menambahkan beberapa aspek lagi, di antaranya menjaga kehormatan (hifdh al-‘irdh), menjaga lingkungan (hifdh al-bi’ah) dan/atau menjaga negara (hifdh al-daulah). Gagasan hifdh al-bi’ah sendiri diungkapkan oleh Ali Yafie dalam ‘Merintis Fiqh Lingkungan Hidup’. Pasalnya, isu lingkungan makin meresahkan dan manusia tidak bisa menjaga kelima aspek tersebut jika keberlangsungan hidupnya terancam oleh alam yang rusak akibat ulahnya sendiri.
Baca juga: Tafsir Ayat-ayat Tumbuhan Kemenag RI: dari Ragam Tanaman hingga Etika Lingkungan
Berdasar pada Q.S. Albaqarah[2]: 35, Abdul Mustaqim memahami bahwa perintah Allah pada Nabi Adam untuk tidak mendekati syajarah (pohon terlarang) mengandung perintah tersirat untuk melindungi dan merawat alam. Mendekati saja tak boleh, apalagi merusaknya.
Mengenai makna syajarah dalam redaksi ayat, memang masih terjadi perbedaan pendapat di kalangan mufasir, terutama para pengkaji kisah Alquran. Sebagian memfungsikan kisah sebagai data sejarah, sebagian lain memfungsikannya sebagai kisah simbolik yang ibrahnya akan selalu relevan jika dianalogikan dengan persoalan kekinian. Dalam hal ini, pohon sebagai simbol alam dan Adam sebagai simbol seluruh umat manusia. Pendapat kedua ini dikuatkan oleh ayat lain yang secara jelas melarang berbuat kerusakan di muka bumi (Q.S. Ala’raf: 56 dan 85).
Sebagai gagasan yang ternilai baru, tentu tak lepas dari munculnya persoalan lanjutan yang perlu dijawab. Menempatkan hifdh al-bi’ah di antara aspek primer maqashid lain memunculkan pertanyaan soal urutan prioritas. Mana yang harus didahulukan jika ditemui pertentangan antara aspek satu dengan aspek lainnya. Misalnya, mana yang harus didahulukan antara menjaga agama atau menjaga jiwa.
Menurut Abdul Mustaqim, penganut paradigma antroposentris tentu lebih memilih mendahulukan menjaga jiwa. Demikian juga antara menjaga lingkungan dengan menjaga negara pada persoalan pembukaan lahan hijau besar-besaran guna kemajuan infrastruktur negara, mana yang harus didahulukan?
Terlepas dari persoalan urutan prioritas, peduli lingkungan menjadi hal urgen yang layak diperbincangkan. Selain karena termasuk isu kontemporer yang terkini, munculnya corak penafsiran berbasis lingkungan juga turut memberikan sumbangsih dalam memperkaya khazanah perkembangan corak penafsiran.
Baca juga: Reformasi Lingkungan Perspektif Yusuf al-Qaradhawi: Membentuk Manusia Ber-mindset Eko-Teologis