BerandaUlumul QuranHikmah Membaca Istigfar Menurut Imam al-Ghazaly

Hikmah Membaca Istigfar Menurut Imam al-Ghazaly

Kosa kata merupakan bagian dari suatu bahasa, akan tetapi menariknya mengenal kosakata dapat diartikan ia sedang mencoba mengenali makhluk hidup. Begitulah ungkapan Prof. Quraish Shihab dalam sebuah pengantar buku Kosakata Keagamaan. Menurutnya, kosakata bagaikan makhluk hidup, maknanya selalu berkembang.

Begitu juga dengan kosakata bahasa arab dalam alquran yang kaya dengan makna atau substansinya. Salah satunya ialah kalimat Istighfar atau Astagfirullah al-‘Azim. Biasanya, Istighfar hanya diungkapkan ketika melakukan suatu kekhilafan ataupun kesalahan. Padahal, jika diusik lagi maknanya, ia sangat istimewa dan jarang orang rasakan nikmat ketika membacanya. Bagaimana kalimat Istighfar itu lahir? Apa makna dari ungkapan Astagfirullah al-Azim?

Makna  Istighfar dan al-Ghaffar

Kalimat Istigfar dari segi bahasa terambil dari akar kata Ghafara yang artinya menutup. Disisi lain, ada juga yang mengatakan ia berasal dari kata al-Ghafaru yaitu sejenis tumbuhan yang digunakan untuk mengobati luka. Kemudian, huruf Alif, Sin, dan Ta pada awal kalimat Istighfar dimaknai dengan “aku bermohon”. Quraish Shihab mengungkapkan bahwa pendapat pertama mengandung arti memohon kepada Allah agar kiranya menutupi segala dosa yang telah ia perbuat. Sedangkan pendapat yang kedua, pemohon merasa menyesal atas semua dosanya dan berharap Allah mengampuni segala penyesalannya. Sehingga penyesalan ini berakibat kesembuhan jiwanya dan terhapus segala dosa-dosanya.

Mari kita simak. Ketika kita berdoa dan melafalkan Allahumma Ighfir Lii, sebenarnya bukan hanya diartikan “Yaa Allah ampunilah aku”.  Seperti halnya doa yang sering diucapkan setelah shalat:

اللهمّ اغفرلي ولوالديّ وارحمهما كما ربّياني صغيرًا

“Yaa Allah ampunilah aku dan kedua orangtuaku sayangilah mereka seperti halnya mereka merawatku sejak kecil.”

Prof. Quraish Shihab dalam bukunya Kosakata Keagamaan, beliau memiliki pandangan lain dalam memaknai kata Allohumma Ighfir Lii. Bahwa kalimat tersebut diartikannya dengan “Yaa Allah perbaikilah keadaanku”. Beliau juga mengutip  pendapat Imam al-Ghazali dalam mengartikan al-Ghaffar (Yang Maha Pengampun).

Al-Ghaffar mengandung arti bahwa Dia (Allah) adalah yang menampakkan keindahan dan menutupi keburukan. Jadi, menurut Imam al-Ghazali, dengan sering membaca Istighfar, sejumlah keburukan akan ditutupiNya dengan jalan tidak menampakkannya di dunia serta mengesampingkan siksanya di akhirat.

Tiga Hikmah dalam Membaca Istighfar Menurut Imam al-Ghazaly

Prof. Quraish Shihab mengutip perkataan Imam al-Ghazali dalam bukunya Kosakata Keagamaan, jika sering membaca Istighfar, Allah SWT akan menutupi hambanya dalam tiga hal, diantaranya:

Pertama, Allah akan menutupi sisi jasmani manusia yang tidak sedap dipandang mata. Dirinya akan ditutupi Allah dengan keindahan lahiriah.

Kedua, Allah akan menutupi bisikan hati serta kehendak-kehendak manusia yang akan berperilaku buruk. Menurut Prof. Quraish, jika seseorang telah terbetik dalam hatinya melakukan kejahatan, dengki, penipuan, dan sebagainya maka sungguh manusia akan mengalami kesulitan dalam hidupnya. Quraish Shihab juga melanjutkan bahwa Allah Swt tidak hanya menutupi apa yang dirahasiakan manusia terhadap orang lain, melainkan menutupi sekian banyak pengalaman tentang masa lalunya.

Ketiga, Dosa dan semua pelanggaran yang pernah ia lakukan dan membuat malu di khalayak umum akan ditutupi oleh Allah. Quraish Shihab memberikan sebuah nasihat bahwa bisa jadi ada sesuatu yang buruk pada pakaian atau hiasan, namun Allah menutupinya sehingga tak terlihat orang lain dan mungkin bisa membuatnya malu.

Demikian paparan makna dari bacaan Istighfar yang tak heran kalimat ini dianjurkan untuk membacanya sebanyak mungkin. para Ulama memiliki perbedaan pendapat tentang redaksi Istighfar ini. Namun, ulama menyatakan bahwa redaksi yang paling sempurna sampai digelari dengan Sayyidul Istigfar ialah redaksi yang diajarkan oleh Rasulullah SAW yaitu:

 اللّهمّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ.

Ya Allah Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan selain Engkau yang telah menciptakanku, sedang aku adalah hamba-Mu dan aku diatas ikatan janji –Mu. Dan Aku berjanji kepada-Mu dengan semampuku. Aku berlindung kepadamu dari segala kejahatan yang telah aku perbuat. Aku mengakui-Mu atas nikmat-Mu terhadap diriku dan aku mengakui dosaku pada-Mu, maka ampunilah aku, sesungguhnya tiada yang boleh mengampuni segala dosa kecuali Engkau.”

Wallohu A’lam.

Rifa Tsamrotus Saadah
Rifa Tsamrotus Saadah
Aktif kajian islamic studies, alumni Uin Syarif Hidayatullah Jakarta dan pernah mengenyam kajian seputar Hadis di Darussunah International Institute For Hadith Sciences.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...