Hukum Azimat dari Alquran untuk Doa Rabu Wekasan

hukum azimat dari Alquran
hukum azimat dari Alquran (sumber ilustrasi gambar: nu online)

Menjelang bulan Maulid, tepatnya di rabu terakhir bulan Safar (bulan sebelum Maulid), dalam tradisi masyarakat Islam Indonesia dikenal rabu wekasan, yakni waktu yang diduga diturunkan bala atau ujian.

Dalam rangka memohon keselamatan kepada Allah atas rabu wekasan ini, di samping melaksanakan ibadah seperti salat hajat dan berdoa, sebagian masyarakat ada yang membuat azimat dari Alquran (biasa di sebut jimat) dengan aturan tertentu dan ditulis di  sebuah benda seperti piring atau kertas lalu dicelupkan pada wadah air dengan harapan melindungi mereka dari segala musibah yang Allah turunkan pada hari tersebut.

Definisi Azimat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan barang atau tulisan yang dianggap memiliki kekuatan gaib dan kesaktian untuk melindungi pemiliknya. Azimat juga dapat digunakan untuk menangkal penyakit dan tolak bala.

Azimat biasa digantungkan pada bagian anggota tubuh tertentu, kendaraan, bangunan, atau diaplikasikan seperti kasus yang disampaikan di awal. Hal yang ingin dibahas dalam tulisan ini adalah hukum terkait membuat azimat dari lafal Alquran, apakah dibenarkan menurut Islam, atau malah dikafirkan dengan alasan mengharap pada selain Tuhan?

Baca Juga: Rasm Alquran dalam Penulisan Rajah

Pro dan kontra ulama tentang kebolehan azimat dari Alquran

Pendapat ulama berbeda mengenai hal tersebut, terdapat pro kontra terkait kebolehan membuat azimat dari Alquran. Pihak yang menentang mengatakan bahwa membuat azimat dari Alquran itu dilarang karena hal tersebut dapat mengurangi keagungan dari Alquran itu sendiri, pasalnya, sering kali azimat yang dibuat dibawa ke tempat-tempat yang kotor atau najis.

Ketika seseorang ingin mendapat perlindungan dari Allah melalui Alquran, maka menurut kelompok ini cukup dengan membacanya dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, membuat azimat sama halnya dengan mengharap pada selain Allah. Kalangan kontra mendasarkan argumennya dengan menyamakan azimat dengan tamimah (jimat) yang memang dilarang keras oleh Nabi, seperti dalam hadis yang didokumentasikan dalam al-Mustadrak Imam Al-Hakim:

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِيِّ، أَنَّهُ جَاءَ فِي رَكْبِ عَشَرَةٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعَ تِسْعَةً وَأَمْسَكَ عَنْ بَيْعَةِ رَجُلٍ مِنْهُمْ، فَقَالُوا: مَا شَأْنُ هَذَا الرَّجُلِ لَا تُبَايِعُهُ؟ فَقَالَ: «إِنَّ فِي عَضُدِهِ تَمِيمَةً» فَقَطَعَ الرَّجُلُ التَّمِيمَةَ، فَبَايَعَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: «مَنْ عَلَّقَ فَقَدْ أَشْرَكَ»

“Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir ra, ada sepuluh orang lelaki datang menghadap Rasulullah Saw. dengan mengendarai kendaraan. Lalu Rasulullah membaiat sembilan orang di antara mereka, sedang yang satu tidak dibaiat. Para sahabat kemudian bertanya: “Ya Rasulullah mengapa yang satu orang itu tidak dibaiat?” Jawab Rasulullah: “Sebab di lengannya terdapat jimat.” Kemudian lelaki itu melepas jimatnya, dan Rasulullah pun membaiatnya. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: “Barang siapa memakai jimat maka dia telah musyrik.” (HR. al-Hakim)

Sementara, terdapat ulama lain yang menyangkal tuduhan di atas dengan memperbolehkan membuat azimat asalkan tujuan awalnya ialah bertabarruk dengan hal tersebut. Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari (6/124):

Semua hadis yang melarang menggantung azimat dan semacamnya adalah karena tidak ada penyebutan nama Allah. Adapun ketika terdapat penyebutan nama Allah, maka tidak ada larangannya. Selama, hal tersebut bertujuan untuk media bertabarruk dan berta’awwudz dengan nama Allah.”

Baca Juga: Beragam Bentuk Rajah dan Pandangan Para Ulama, Simak Penjelasannya

Ibnu Hajar Al-Haitami pernah mendapat pertanyaan terkait kebolehan membuat azimat yang tidak diketahui maknanya. Lantas beliau menjawabnya dalam kitab Fatawi al-Imam an-Nawawi,  dinukil dari pendapat imam al-Ghazali:

Bagi seseorang tidak dihalalkan melaksanakan sebuah perkara, sampai ia mengetahui tentang hukum Allah yang terkandung pada perkara tersebut”.

Pendapat demikian juga difatwakan oleh Syekh Izzuddin Ibn Abdissalam, beliau berfatwa: “Sesungguhnya menulis huruf-huruf yang masih tidak diketahui maknanya, untuk mengobati orang yang sakit hukumnya tidak boleh”.

Dari jawaban tersebut dapat diketahui bahwa menulis azimat haruslah dilakukan oleh orang yang mengetahui makna serta maksud dari ayat yang ditulis. Karena, jika orang awam yang menulis dikhawatirkan terjadi penyelewengan atau penyimpangan dari makna ayat Alquran.

Namun, hukum tidak diperbolehkannya ini, sebatas karena ditakutkan apabila ada sebagian azimat yang di dalamnya terdapat kata-kata kufur. Sedangkan apabila di dalamnya tidak terdapat kata-kata kufur maka hukumnya diperbolehkan.

Hal ini ditunjukkan oleh Nabi Saw. yang pernah mengizinkan rukyah (الرق) yang dilakukan oleh para sahabat. Saat itu Nabi SAW. ditanya tentang rukyah (الرق), beliau bersabda, “jelaskanlah padaku suwukmu sekalian”, lantas para sahabat pun menjelaskan. Setelah dijelaskan, Lalu Nabi SAW. bersabda “tidak masalah” [Fatawa al-Imam an-Nawawi. H. 200].

Argumen ulama yang memperbolehkan beralasan karena azimat merupakan ilmu hikmah yang lahir berbarengan dengan Islam itu sendiri. Menurut beberapa literatur sejarah, Alquran selain menjadi sebuah pedoman bagi kehidupan, ada pula yang dituliskan sebagai azimat. Dengan spesifik Imam Malik seperti yang dinukil dalam at-Tibyan fi Adabi Hamlatil Qur’an menerangkan bahwa:

وأما كتابة الحروف من القرأن فقال مالك لا بأس به إذا كان فى قصبة أو جلد وخرز عليه وقال بعض أصحابنا اذا كتب فى الخرز قرأنا مع غيره فليس بحرام ولكن الأولى تركه لكونه يحمل على الحدث واذا كتب يصان بما قاله الامام مالك رحمه الله

Menulis huruf-huruf Alquran itu tidak dilarang (tidak diharamkan), manakala di letakkan dalam botol atau ditaruh dalam bungkus kulit. Sebagian ulama berkata “bahwa tidak dilarang menuliskan Alquran bersamaan dengan yang lain sebagai sebuah azimat, akan tetapi lebih baik dihindari karena akan terbawa ketika hadas. Kecuali jika memang dapat dijaga dan tidak disia-siakan sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik”. Jika menuliskan huruf-huruf Alquran sebagai sebuah azimat diperolehkan dengan syarat tetap dijaga kehormatannya, maka menggunakan azimat itu sendiri pastilah tidak dilarang.

Baca Juga: Pengamalan Ayat Kursi: Era Nabi Muhammad hingga Kontemporer

Dalil lain yang menegaskan kebolehan membuat azimat datang dari ahli hadis dan ahli fikih dari Madinah sekaligus pembesar Tabi’in, yakni Said bin Musayyib yang tertera dalam karangan An-Nawawi Majmu’ Syarah Muhadzzab:

Imam Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Said bin Musayyib, bahwa dulunya Said bin Musayyib menyuruh menggantungkan azimat yang berisikan Alquran, dan dia berkata bahwa membuat azimat yang berisikan Alquran tidaklah dilarang”.

Dapat ditarik kesimpulan dari dalil-dalil di atas bahwa menulis azimat yang dilakukan oleh mayoritas kalangan umat Islam Indonesia merupakan sebuah tradisi yang sudah ada sejak dulu. Artinya, seseorang boleh-boleh saja membuat azimat, dengan beberapa catatan:

  1. Isi dari azimat ditulis menggunakan ayat Alquran
  2. Bertujuan untuk sekedar bertabarruk memohon perlindungan kepada Allah
  3. Ditulis oleh orang yang memahami maksud dari ayat yang ditulis, agar terhindar dari salah menafsiri ayat.
  4. Azimat tersebut tidak dibawa ke tempat-tempat yang hina atau mengandung unsur hadas.

Wallahu a’lam.