BerandaTafsir TematikTafsir AhkamHukum Menarifkan dan Menerima Upah Mengajar

Hukum Menarifkan dan Menerima Upah Mengajar

Untuk mempertahankan eksistensi agama, Islam telah menetapkan sederet aturan, salah satunya dengan menyebarkan ilmu agama. Hukum menyiarkan ilmu agama adalah wajib, bahkan pada surah Al-Baqarah ayat 159 Allah Swt mengkecam para pendeta Yahudi karena enggan menjelaskan sifat Rasulullah saw. yang telah dijelaskan di dalam kitab Taurat. Akan tetapi di zaman sekarang tugas menyebarkan ilmu pengetahuan dijadikan sebagai salah satu alat mengais rezeki. Lantas bagaimana hukum menarifkan upah dari pekerjaan tersebut? Bolehkah seseorang  menerima upah dari profesinya sebagai guru?

Secara gamblang, surah Al-Baqarah ayat 159 menjelaskan tentang larangan menyembunyikan ilmu pengetahuan dan bagi yang melakukannya akan mendapat laknat dari Allah. Menurut Jawahir al-Hasan fi Tafsir al-Qur’an ayat tersebut ditujukan kepada kaum Yahudi yang enggan memberitahu sifat-sifat Nabi yang telah dijabarkan di dalam kitab Taurat. Hanya saja mayoritas dari ulama tafsir mengarahkan bahwa laknat yang ada pada ayat di atas tidak hanya untuk kaum Yahudi melainkan mencakup kepada semua orang yang telah menyembunyikan pengetahuannya, [Al-Jawahir al-Hasan fi Tafsir al-Qur’an, 1/87]. Keumuman khitab pada surah Al-Baqarah ayat 159 ini juga diamini oleh Az-Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir.

Selain tentang larangan menyembunyikan ilmu, ayat di atas juga menyiratkan ketidakbolehan mengambil upah dari hasil mengajar, karena ancaman yang Allah berikan di akhir ayat memberikan sebuah indikasi wajibnya menyebarkan ilmu pengatahuan dan tidak boleh berpusat pada satu titik saja dengan tanpa syarat apa pun, termasuk upah atau gaji.

Baca Juga: Surah Al Baqarah Ayat 159: Larangan Menyembunyikan Ilmu

Untuk lebih jelas, bisa dibaca surah Al-Baqarah ayat 174. Pada ayat ini Allah Swt. melarang manusia menyembunyikan keterangan yang telah diuraikan di kitab-Nya atau memperjual belikan dengan harga yang murah (qalil):

اِنَّ الَّذِيْنَ يَكْتُمُوْنَ مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنَ الْكِتٰبِ وَيَشْتَرُوْنَ بِهٖ ثَمَنًا قَلِيْلًاۙ اُولٰۤىِٕكَ مَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ اِلَّا النَّارَ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللّٰهُ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ وَلَا يُزَكِّيْهِمْ ۚوَلَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Kitab, dan menjualnya dengan harga murah, mereka hanya menelan api neraka ke dalam perutnya, dan Allah tidak akan menyapa mereka pada hari Kiamat, dan tidak akan menyucikan mereka. Mereka akan mendapat azab yang sangat pedih, [al-Tafsir al-Munir 2/54].

Mencari dalil hukum; bentuk kehati-hatian seorang guru

Kitab Ruhul Bayan mencoba mengompromikan beberapa dalil yang menurutnya kontradiktif berkenaan dengan mengambil upah dari profesi mengajar. Sejatinya, ayat tentang larangan menyembunyikan ilmu bertentangan dengan salah satu hadis Nabi Saw, yakni:

إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ

“Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upahnya adalah (membaca/mengajar) kitab Allah” (HR Bukhari).

Menurut kitab Ruhul Bayan larangan pada ayat tersebut tidaklah berlaku mutlak. Artinya, ayat tentang  larangan menyembunyikannya ilmu berlaku dalam kondisi tertentu. Laknat Allah Swt turun ketika dalam menyebarkan ilmu agama hanya bisa dilakukan oleh satu-satunya orang di Kawasan tertentu. Dengan begitu, menyebarkan ilmu menjadi fardu ain baginya. Dalam kondisi inilah seseorang tidak boleh memungut biaya dari pekerjaan yang merupakan kewajibannya.

Logikanya seperti tugas memandikan jenazah yang hanya dimengerti dan bisa dilakukan oleh satu orang maka tugas ini menjadi fardu ain baginya dan ia tidak boleh meminta upah atas pekerjaan tersebut. Beda hal bila ada orang lain yang mengerti tatacara memandikan jenazah maka dalam kondisi ini boleh saja bagi orang pertama mematok tarif khusus dari profesinya, [Ruhul Bayan, 1/144].

Baca Juga: Tafsir Ahkam : Apakah Boleh Mempelajari dan Mengajarkan Ilmu Sihir?

Syekh Ali As-Shobuny, master Al Azhar mencoba memetakkan pendapat ulama berkenaan dengan hukum mengambil upah bagi para guru. Menurutnya, ulama khilaf mengenai hukumnya, setidaknya ada dua pendapat. Pertama dari ulama klasik berpendapat tidak boleh mengambil upah dari hasil mengajar, karena surah Al-Baqarah ayat 159 memerintahkan kita untuk menyebarkan ilmu pengetahuan sebanyak mungkin dan dilarang menyembunyikannya.

Melalui kewajiban ini, tidak pantas bagi seseorang mengabil upah dari sesuatu yang sudah menjadi tugasnya. Sebagaimana halnya salat, puasa, dan ibadah lainnya, tidak diperkenankan menarif harga dan berharap upah  dari menunaikan ibadah-ibadah tersebut.

Kedua, ulama kontemporer berpendapat boleh saja menarif dan mengambil upah bagi para guru. Kebolehan ini sebagai motivasi agar para guru lebih semangat dan meningkatkan kinerjanya lebih baik lagi. Selain itu, ulama kontemporer memerhatikan iklim keilmuan yang ada sekarang. Menurut mereka semakin kedepan himmah keilmuan terutama ilmu agama semakin menurun dan makin mengkawatirkan. Dengan begitu, mencegah gaji guru dan menghukumi dengan tidak bolehnya mengambil upa bagi para pengajar akan menyebabkan mafsadah yang lebih besar, yakni kosongnya ilmu pengetahuan. Jadi, tidak ada salahnya bila tarif yang dilakukan oleh para pengajar dilegalkan dan dibiarkan, [Rawaiul Bayan, 1/124]. Wallahu a’lam.

Fathul Qorib
Fathul Qorib
Mahasantri Ma'had Aly Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Q.S An-Nisa’ Ayat 83: Fenomena Post-truth di Zaman Nabi Saw

0
Post-truth atau yang biasa diartikan “pasca kebenaran” adalah suatu fenomena di mana suatu informasi yang beredar tidak lagi berlandaskan asas-asas validitas dan kemurnian fakta...