BerandaUlumul QuranIbnu Mujahid (2), Konsep Qiraat Sab’ah dan Sanadnya

Ibnu Mujahid (2), Konsep Qiraat Sab’ah dan Sanadnya

Ibnu Mujahid dalam kitabnya, Kitab al-Sab’ah fi Qiraat Al-Quran menyatakan bahwa ia menolak beberapa qiraat yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Menurutnya qiraat sab’ah didasarkan pada tiga syarat penerimaan qiraat yang disepakati (ijma’) oleh para ulama, yaitu: (1) Sesuai dengan mushaf utsmani, (2) memiliki sanad yang shahih dan mutawatir, (3) sesuai dengan kaidah bahasa Arab.

Yang dimaksud dengan “sesuai mushaf utsmani” ialah sesuai dengan rasm (teori penulisan) yang ada dalam mushaf usmani, baik yang disimpan sebagai mushaf al-Imam maupun yang dikirim ke kota-kota seperti Makkah, Syam, Kuffah, Basrah, Yaman, Bahrain, dan Madinah. Ada beberapa perbedaan di antara mushaf usmani sebagaimana termaktub dalam Q.S. Al-Hadid [57]: 24,

فَاِنَّ اللّٰهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيْدُ

Imam Nafi’ dan Ibn ‘Amir membaca,

فَاِنَّ اللّٰهَ الْغَنِيُّ الْحَمِيْدُ

Tanpa lafadz huwa sebagaimana yang terdapat dalam mushaf Madinah dan Yaman. Sementara itu, Imam Ibn Katsir, Abu Amr, Ashim dan al-Kisa’i membaca dengan menggunakan lafadz huwa sebagaimana dalam mushaf Makkah, Basrah, dan Kuffah.

Sedangkan yang dimaksud “memiliki sanad shahih dan mutawatir” adalah para perawi atau orang yang meriwayatkan qiraat Al-Quran merupakan orang yang tsiqah dan dhabit lagi adil, sehingga tidak mungkin bermufakat untuk berdusta. Adapun yang dimaksud “sesuai kaidah bahasa Arab” adalah sesuai dengan gramatikal bahasa Arab.

Apabila salah satu dari ketiga syarat di atas tidak terpenuhi dalam suatu qiraat, maka qiraat tersebut tidak dapat diterima alias syadz. Dengan demikian qiraat tersebut haram digunakan baik dalam shalat maupun lainnya. Selain ketiga persyaratan tersebut, Ibnu Mujahid juga mempertimbangkan kredibilitas para imam qiraat dengan kriteria kefasihan bacaan, senioritas, jumlah pengikut, dan popularitas qiraat pada masanya.

Baca juga: Jejak Qiraat Imam Nafi’ dalam Manuskrip Al-Quran Keraton Kacirebonan

Pertimbangan inilah yang kemudian Ibnu Mujahid tidak melampirkan nama Imam Ya’qub al-Hadrami dalam deretan imam qiraat sab’ah dan memasukkan al-Kisa’i ke dalamnya. Hal ini seolah-olah mengesankan bahwa beliau menilai qiraat Ya’qub kurang populer ketimbang qiraat Abu Amr di Basrah dan qiraat Abu Amr dianggap merepresentasikan qiraat orang Basrag.

Berbeda dengan al-Kisa’i yang berada di Kuffah bersama dengan Hamzah dan ‘Ashim, Ibnu Mujahid lagi-lagi menilai bahwa qiraat al-Kisa’i dianggap penting guna mewakili qiraat orang-orang Kufah bersama dengan Imam Hamzah dan Ashim.

Sanad Qiraat Sab’ah

Terkait kemutawatiran sanad qiraat, Ibnu Mujahid sangat concern dan konsisten. Beliau memiliki sanad yang sahih dan mutawatir dari para imam qiraat sab’ah sebagaimana yang dijelaskan dalam kitabnya, al-Sab’ah;

  1. Sanad qira’at kepada Imam Nafi’. Terdapat 23 jalur sanad qira’at Ibn Mujāhid yang muttashil (bersambung) kepada Imam Nāfī’.
  2. Sanad qira’at kepada Imam Ibn Katsir, terdapat lima jalur sanad qira’at Ibn Mujāhid yang muttashil kepada Imam Ibn Katsīr.
  3. Sanad qira’at kepada Imam ‘Ashim, terdapat 13 jalur sanad qira’at Ibn Mujāhid yang muttashil kepada Imam ‘Ashim.
  4. Sanad qira’at kepada Imam Hamzah, terdapat lima jalur sanad qira’at Ibn Mujāhid yang muttashil kepada Imam Hamzah.
  5. Sanad qira’at kepada Imam al-Kisā’ī, Ibn Mujāhid memiliki lima jalur sanad qira’at yang muttashil kepada Imam al-Kisā’ī.
  6. Sanad qira’at kepada Imam Abū ‘Amr, Ibn Mujāhid memilik 16 jalur sanad qira’at yang muttashil kepada Imam Abū ‘Amr.
  7. Sanad qira’at kepada Imam ‘Abdullāh Ibn ‘Āmir, Ibn Mujāhid memiliki empat jalur sanad qira’at yang muttashil kepada Imam ‘Abdullāh Ibn ‘Āmir.

Dari paparan mengenai sanad-sanad tersebut bahwa para perawi qiraat sab’ah ada yang melalui wasithah (orang yang menjadi penghubung sanad antara perawi dan imamnya), hanya saja mereka yang menjadi “jembatan” ini namanya kurang populer sebagaimana perawi qiraat.

Baca juga: Qiraat dan Tajwid, Apakah Kita Perlu Belajar Semuanya?

Ada pula perawi yang belajar kepada imamnya tanpa melalui wasithah tersebut, biasanya mereka hidup sezaman dengan imamnya. Akan tetapi, para perawi dari imam qiraat yang dikodifikasi oleh Ibnu Mujahid masih banyak ditemukan wasithah-nya. Nantinya pada masa Imam al-Syathibi-lah para perawi itu dapat diringkas menjadi dua perawi yang terkenal. Berikut gambaran para perawi yang memiliki wasithah dengan imamnya,

  1. Perawi Ibn Katsīr; al-Bazzī dan Qunbul. Al-Bazzī mendapatkan sanad Ibn Katsīr melalaui wasīthah dua orang, yaitu Syibil dan Ikrimah. Sedangkan Qunbul mendapatkan sanad qira’at Ibn Katsīr melalui wasīthah lima orang, yaitu Ahmad al-Qawwās, Abū al-Ajrit, Ismā’īl, Syibil, dan Ma’ruf.
  2. Perawi Imam Abū ‘Amr, yaitu al-Dūrī dan al-Sūsī. Masingmasing mendapatkan sanad qira’at Abū ‘Amr melalui seorang wasīthah, yaitu Yahyā al-Yazīdī. Perawi Imam Ibn ‘Āmir; Hisyām dan Dzakwān. Hisyam mendapatkan sanad qira’at Ibn ‘Āmir melalui dua orang wasīthah, yaitu ‘Arak al-Marwazī dan Yahyā al-Zamarī. Sedangkan Ibn Dzakwān mendapatkan sanad qira’at melalui dua orang wasīthah pula, yaitu Ayyūb alTamīmī dan Yayā al-Zamarī.
  3. Perawi Imam Hamzah; Kholaf dan Kholad. Masing-masing mendapatkan sanad qira’at Hamzah melalui seorang wasīthah, yaitu Salim.

Sedangkan para perawi yang mendapatkan sanad qira’at dari imamnya dengan cara ber-talaqqi (bertemu langsung) adalah (1) Perawi Imam Nāfi’, yaitu Qālūn dan Warsy (2) Perawi Imam ‘Ashim, yaitu Syu’bah dan Hafsh 3. Perawi Imam al-Kisa’i yaitu Abd al-Harits dan al-Duri.

Dengan demikian, Ibnu Mujahid dengan kesempurnaan ijtihadnya telah memfilter dan melabuhkan pilihannya kepada tujuh imam qiraat ini dan mengintrodusirnya kepada dunia Islam. Ijtihad ini terbukti telah diterima seluruh umat Islam termasuk di Indonesia. Menurutnya qiraaat itu sunnah dan tidah sah baginya membaca Al-Quran dengan sendirinya (seenaknya sendiri) dan harus belajar kepada guru yang memiliki sanad ketersambungan hingga Rasululllah saw.

Sebagai salah satu pemuka qurra’ beliau telah mendarmabaktikan keilmuannya di bidang qiraat bagi keutuhan dan kebutuhan umat Islam. Ijtihad yang dilakukannya dalam rangka menghindari umat Islam dari segala bentuk penyelewengan yang dilakukan ahl bid’ah, menempatkannya sebagai ulama yang berkontribusi besar bagi perkembangan qiraat Al-Quran di masanya dan masa sesudahnya. Walllahu A’lam.

Miatul Qudsia
Miatul Qudsia
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, pegiat literasi di CRIS (Center for Research and Islamic Studies) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...