Pada artikel sebelumnya, Inilah Lima Fadilah Membaca Al-Qur’an Menurut Hadis-Hadis Sahih, telah dijelaskan ada banyak manfaat membaca Al-Qur’an, terutama ganjaran pahala yang besar di akhirat kelak. Kendati demikian, realitasnya indeks literasi Al-Qur’an di Indonesia tidak tinggi, bahkan cenderung rendah, terutama jika dibandingkan negara-negara muslim lainnya.
Sebagai contoh, dalam penelitian Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tentang Indeks Literasi Al-Qur’an Siswa Sekolah Menengah Atas [SMA] (2016), ditemukan fakta indeks literasi Al-Qur’an siswa SMA di tingkat nasional berada dalam kategori sedang (2,44).
Dilihat dari aspek membaca, nilai indeks berada dalam kategori sedang (2.59). Ini mengindikasikan kemampuan membaca Al-Qur’an siswa SMA baru sampai tahap pengenalan huruf Al-Qur’an beserta beberapa prinsip tajwid dasar. Data ini tentunya menjadi sebuah isyarat adanya problem serius berkenaan pendidikan Al-Qur’an di Indonesia.
Dalam penelitian lain, yakni riset PTIQ Jakarta, ditemukan fakta yang lebih problematik, di sana disimpulkan bahwa umat Islam Indonesia yang tidak bisa membaca Al-Qur’an ada sekitar 60-70 persen. Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Salahuddin Wahid atau yang akrab disapa Gus Sholah juga pernah menyebutkan Muslim Indonesia yang bisa membaca Al-Qur’an hanya 23 persen.
Jika semua hasil riset digabungkan, dapat dikalkulasikan bahwa secara umum sekitar 50 sampai 60 persen masyarakat muslim Indonesia belum bisa membaca Al-Qur’an. Artinya, ada sekitar 100 sampai 110 juta dari 229 juta penduduk muslim Indonesia yang belum bisa membaca Al-Qur’an. Data ini cukup besar jika dilihat dari total penduduk Indonesia sebanyak 273,5 juta jiwa.
Lantas apakah alasan dibalik rendahnya indeks literasi Al-Qur’an masyarakat Indonesia? Apakah manfaat membaca Al-Qur’an yang banyak disebutkan dalam hadis tidak memberi pengeruh signifikan terhadap motivasi mereka? Apakah manfaat membaca Al-Qur’an tidak mereka ketahu? Atau ada faktor-faktor sosial yang membuat mereka tidak bisa membaca Al-Qur’an?
Ketika berbicara mengenai faktor-faktor penyebab rendahnya indeks literasi Al-Qur’an, kita tidak bisa menyimpulkannya terlalu dini, sebab kemungkinan ada banyak faktor yang melatar belakanginya, termasuk pendidikan. Misalnya, dalam penelitian Puslitbang Lektur ditemukan fakta tingginya indeks ini dipengaruhi oleh background pendidikan dan sosial.
Orang-orang yang pernah mendapatkan pendidikan diniyah atau Taman Pendiidkan Al-Qur’an/Taman Kanak-kanak Al-Qur’an (TKQ), pada saat usia dini atau pada usia tingkat sekolah dasar melalui Madrasah Diniyah Awaliyah (DTA), menggapai indeks literasi Al-Qur’an lebih tinggi dibanding orang-orang yang tidak pernah mendapatkan itu semua.
Di sisi lain, faktor lingkungan sosial juga turut mengambil andil, di mana orang-orang yang berada dalam keluarga religius – terutama keluarga yang tingkat literasi Al-Qur’annya tinggi – memiliki nilai indeks literasi Al-Qur’an yang cukup baik. Sebaliknya, orang-orang yang tidak memiliki privilege tersebut, cenderung memiliki nilai indeks literasi Al-Qur’an yang rendah meskipun tidak berlaku mutlak.
Quraish Shihab: Bacalah Al-Qur’an Walaupun Terbata-bata
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, ketidaktahuan akan manfaat membaca Al-Qur’an bukanlah penyebab rendahnya nilai indeks literasi Al-Qur’an, melainkan faktor-faktor lain seperti pendidikan dan pengaruh lingkungan. Di samping itu, juga ada faktor-faktor yang bersifat pribadi, yakni penyebab yang datang dari internal individu.
Salah problem kultural yang menyebabkan rendahnya tingkat literasi Al-Qur’an – menurut penulis – adalah rasa malas dan rasa malu untuk memulai belajar membaca Al-Qur’an. Sebagai contoh, ketika penulis mengajar Al-Qur’an di salah satu instansi di Kalimantan Selatan, muncul beberapa ungkapan seperti, “malu sudah SMA baru belajar”, “sudah tua males buat belajar dari awal” dan “malu membaca Al-Qur’an terbata-bata.”
Ungkapan semacam ini banyak kita temukan di masyarakat. Sebagian orang takut atau malu untuk belajar Al-Qur’an karena sudah tua atau malu membaca Al-Qur’an terbata-bata. Dalam konteks ini, sebenarnya mereka tidak bisa sepenuhnya disalahkan, karena bisa jadi respons negatif – dari masyarakat terhadap orang yang membaca Al-Qur’an terbata-bata – yang membuat mereka takut dan malu untuk belajar atau membaca Al-Qur’an.
Berkenaan hal tersebut, ada pesan hikmah bagi kita dari Quraish Shihab dalam sebuah ceramah agama yang dilakukan pada salah satu stasiun swasta. Ia berkata, “Saudara, jangan enggan membaca Al-Qur’an dengan dalih masih terbata-bata, karena semua yang mahir membaca pada mulanya membaca Al-Qur’an terbata-bata.”
Quraish Shihab lalu mewanti-wanti, “Saudara, jangan pula enggan membaca Al-Qur’an dengan dalih tidak paham artinya, karena membaca tanpa paham lebih baik daripada tidak membaca Al-Qur’an sama sekali. Siapa tahu, orang yang membaca Al-Qur’an tanpa paham maknanya akan digerakkan Allah swt hatinya sehingga mau mempelajari dan memahami maknanya.”
Selain mengingatkan masyarakat agar membaca Al-Qur’an walaupun terbata-bata dan tak paham artinya – pada kesempatan ini – Quraish Shihab juga menyinggung soal zikir. Ia mengingatkan bahwa sebaiknya zikir dilakukan oleh semua orang dalam keadaan apa pun, terlepas dari apakah ia bisa khusyuk atau menghadirkan hati dalam zikirnya.
Ia berkata, “jangan juga enggan berzikir dengan alasan hati Anda tidak hadir bersama Allah swt, karena kelengahan dari berzikir lebih buruk dari zikir tanpa merasakan kehadiran Allah. Siapa tahu, Allah menyambut Anda dengan zikir walaupun Anda tidak merasakan kehadiran-Nya. Siapa tahu, melalui zikir ini Anda meningkat menuju zikir yang dibarengi dengan rasa kehadiran-Nya.”
Nasihat Quraish Shihab di atas secara singkat mengingatkan kita untuk berani memulai belajar dan membaca Al-Qur’an walaupun terbata-bata, karena manfaat membaca Al-Qur’an teramat besar di sisi Allah swt. Hal yang sama harus dilakukan dalam ibadah lainnya seperti zikir, meskipun kita tidak bisa melaksanakannya secara sempurna, namun jangan sampai kita meninggalkannya.
Para ulama juga telah menyampaikan satu kaidah ushul fikih, yakni ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu (apa yang tidak bisa diraih semuanya, tidak boleh ditinggalkan semuanya). Dalam konteks membaca Al-Qur’an, walaupun seseorang tidak bisa membaca sebagus ahli Al-Qur’an atau hanya membaca Al-Qur’an terbata-bata, ia tidak boleh meninggalkan aktivitas membaca Al-Qur’an. Wallahu a’lam.