Penafsiran Al-Qur’an terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Dimulai dari penafsiran yang berdasar pada riwayat ( menafsirkan ayat Al-Qur’an yang satu dengan ayat Al-Qur’an lainny), hadis Rasulullah Saw, aqwal sahabat dan sebagainya. Hingga pada tafsir bi al-ra’yi (penafsiran Al-Qur’an dengan ijtihad masing-masing mufassir). Menariknya, tulisan ini akan mengurai salah satu pendapat mufassir terkemuka tahun 70-an adalah Muhammad Husain al-Dzahabi yang berasal dari Mesir. Ciri khas yang dimiliki beliau adalah mendakwahkan Islam dengan santun dan ramah tanpa kekerasan. Beliau memiliki banyak karya di bidang tafsir maupun ilmu al-Qur’an. Karyanya yang fenomenal dan menjadi rujukan di bidang tafsir adalah kitab Tafsir wa al-Mufassirun. Meskipun begitu, ternyata pendapat beliau tentang periodesasi tafsir Al-Qur’an ini berbeda dengan tokoh orientalis yakni Ignaz Goldziher.
Baca juga: Tafsir Ahkam: Cara Bersuci Orang yang Kehilangan Kedua Tangan
Adapun periodesasi penafsiran Al-Qur’an menurut Husain al-Dzahabi:
- Periode I. Tafsir pada masa Rasulullah Saw dan para sahabat. Rasulullah Saw menjelaskan maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an, kemudian para sahabat mendengarkan. Jika terdapat masalah, maka hal tersebut dikembalikan kepada Rasulullah Saw langsung untuk kemudian dijawab oleh beliau.
- Periode II. Tafsir pada masa tabi’in. Penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, hadis Rasulullah Saw, aqwal sahabat dan kemudian dikembangkan dengan ijtihad sendiri.
- Periode III. Tafsir pada masa kodifikasi atau pembukuan. Dimulai pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal pemerintahan Bani Abbasiyyah.
- Periode IV. Tafsir pada masa modern. Ciri utama dari periode modern adalah perhatian yang besar terhadap permasalahan manusia dan langsung pada penyelesaiannya.
Kelebihan dari periodesasi penafsiran Al-Qur’an versi al-Dzahabi adalah adanya urutan periodesasi secara terstruktur dari masa Rasulullah Saw hingga di masa modern. Di kitab tafsir wa al-mufassirun, beliau juga menjelaskan bagaimana karakteristik dan ciri khas penafsiran di masing-masing periode.
Tidak hanya dari kalangan muslim, banyak dari kalangan Barat yang mempelajari berbagai bidang keilmuan Islam termasuk bidang tafsir Al-Qur’an. Bahkan beberapa di antara mereka rela menjadi mu’alaf demi mendapatkan informasi terkait keilmuan Islam secara mendalam dan juga mendapatkan titik kelemahan Islam. Kelompok tersebut biasa dikenal dengan sebutan kaum orientalis.
Ignaz Goldziher merupakan salah satu tokoh orientalis terkemuka yang berasal dari Hongaria. Sumbangan pemikirannya memengaruhi sejarah keilmuan Islam termasuk di bidang penafsiran Al-Qur’an. Kecerdasan intelektual juga tekad yang kuat untuk mempelajari Islam, mengantarkannya dapat menguasai beberapa bidang keilmuan Islam.
Baca juga: Tiga Prinsip Menjaga Persaudaraan dalam Surah Al-Hasyr Ayat 9
Adapun periodesasi penfasiran Al-Qur’an menurut pandangan Ignaz Goldziher yang terdapat dalam buku Mazhab Tafsir :
- Periode I. Tafsir bi al-ma’tsur atau bi al-riwayah. Menafsirkan suatu ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lainnya, dengan aqwal sahabat dan sebagainya.
- Periode II. Tafsir pada masa menuju madzhab ahli ra’yi (teologi, tasawuf, politik keagamaan). Menafsirkan Al-Qur’an dengan perspektif teologi, tasawuf, politik atau keagamaan (berdasarkan ijtihad mufassir).
- Periode III. Tafsir pada masa perkembangan kebudayaan atau keilmuan Islam yang ditandai dengan adanya pemikiran-pemikiran baru. Contohnya Muhammad Abduh memiliki statement baru mengenai ayat poligami dengan menafsirkannya. Secara tersirat, Al-Qur’an justru menganjurkan untuk monogami. Pemikiran tersebut dapat mematahkan pemikiran lama terhadap ayat poligami berupa “anjuran” untuk berpoligami.
Periodesasi penafsiran Goldziher di atas memiliki kelebihan yakni fokus pada periode madzhab dengan berbagai metode penafsirannya. Adapun kelemahannya adalah tidak melihat periodesasi Rasulullah Saw dan para sahabat karena pada masa itu masih menggunakan lisan dalam penyampaiannya. Goldziher mengganggap bahwa tradisi lisan yang dipraktekkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat tidak dapat dibenarkan karena tidak ada bukti nyata atau tertulis seperti manuskrip.
Tradisi Barat pada dasarnya adalah tradisi tulis-menulis atau tradisi manuskrip. Fakta sejarah dibenarkan oleh Barat dengan adanya bukti tertulis seperti tradisi manuskrip dan sebagainya sesuai ketentuan. Maka, tidak dibenarkan jika sejarah tersebut hanya terbatas dalam bentuk lisan. Sebaliknya dengan tradisi Timur, ia lebih menekankan kepada tradisi lisan atau sya’ir-sya’ir. Maka sejarah dalam bentuk lisan dapat dibenarkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada.
Baca juga: Orang Bersyukur Semakin Langka, Ini Keutamaan Syukur Menurut Al-Qur’an
Dari penjabaran singkat kedua tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa setiap periodesasi penafsiran Al-Qur’an yang dikelompokkan oleh para ulama maupun tokoh tertentu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dengan berbagai konsekuensi yang ada. Maka, sangat dianjurkan untuk tidak hanya fokus kepada satu versi saja, melainkan beberapa versi sehingga dapat membandingkannya dan mengambil hikmahnya masing-masing. Wallahhu a’lam[].