Istilah hermeneutika kini menjadi naik daun bersamaan dengan ide dan pemikiran tokoh-tokoh kontemporer yang kian mencuat istilah hermeneutika ke tengah kehidupan masyarakat. Pendekatan Hermeneutika dianggap merupakan sebuah tawaran baru dalam dunia penafsiran Alquran. Tidak hanya pengaplikasiannya dalam menafsirkan Bible kala Yunani, kini keterlibatan hermeneutika meluas pada penafsiran kitab suci Al-Quran.
Pada umumnya, hermeneutika merupakan disiplin ilmu filsafat yang menitikberatkan pada permasalahan interpretasi terhadap makna teks. Seiring dengan berkembangnya daya keilmuan yang semakin spesifik, para ilmuan kontemporer membuat pendekatan model baru yang mengarakan hermeneutika kepada teks suci Al-Quran. Dalam artian, menjadikan sebuah metode penafsiran baru yang berusaha menyelami dalamnya makna Al-Quran dengan meninjau beberapa aspek yang melingkupi makna teks sentral tersebut, baik aspek pengarang, aspek pembaca dan aspek dari teks itu sendiri.
Pertanyannya, mengapa harus berfokus terhadap interpretasi teks?. Hans George Gadamer dalam karyanya yang berjudul Truth and Method menyatakan bahwa ‘That is why understanding is not merely a reproductive, but always a productive attitude as well’. Karena teks akan senantiasa memberikan nafas dengan kekayaan maknanya, dan pemaknaan teks akan selalu segar dan hidup seiring dengan peradaban manusia.
Berbicara mengenai hermeneutika Al-Quran, terdapat banyak tokoh yang turut menerapkan hermeneutika dalam upayanya menangkap makna Al-Quran. Muhammad Syahrur misalnya, melalui karya revolusionernya bertajuk al-Kitab wa al-Quran: Qira’ah Mu’assirah tampil sebagai pendekatan Al-Quran yang cukup intensif, ia berupaya mendialogkan Al-Quran sesuai dengan konteks zaman yang dinamis. Meski tidak sedikit, yang mengganggap pemikirannya kontroversial. Namun, terlepas dari itu, Syahrur tidak luput menyerap pemikiran ilmuan luguistik klasik, seperti al-Farra, Abdul Qahir al-Jurjani, Ibnu Faris, Ja’far Dakk al-bab serta tokoh-tokoh lainnya.
Dalam praktiknya, Syahrur memang cenderung desensif dalam menanggapi problem turats (Produk tradisi keilmuan klasik), dengan alasan, pembacaan teks Al-Quran harus sesuai dengan konteks sosial yang terjadi saat ini, pun harus terlepas dari kungkungan sakralitas, stagnasi, dogmatik oleh perspektif terdahulu yang dianggap menghambat semangat zaman dalam kreatifitas berfikir. Baginya, dengan demikian Al-Quran selalu terbuka untuk di interpretasikan.
Tiga Model Teori Hermeneutika
Sebagai sebuah pendekatan metode penafsiran, sedikitnya terdapat tiga model yang melingkupi teori hermeneutika ini, di antaranya adalah;
Pertama, hermeneutika objektif. Pendekatan model ini berusaha memahami makna teks sebagaimana yang hendak pengarang sampaikan melalui teks-teks yang disampaikannya, karna dalam hal ini, hanya pengarang yang memiliki kuasa atas teks yang dimaksudkan. Sebab yang dimaksud teks menurut Schleiermacer, adalah ungkapan jiwa pengarangnya. Model pertama ini, dikembangkan oleh beberapa tokoh klasik, diantaranya adalah Friedrick Schleiermacher, Emelio Betti dan Wilhelm Dilthey.
Kedua, hermeneutika subjektif. Pendekatan model kedua ini, berupaya memahami makna yang tercantum pada teks itu sendiri, bukan berdasar konteks masa lalu atau berdasarkan ide pengarang, melainkan isi dari teks secara mandiri. Pada model ini, teks bersifat lepas dari tradisinya sebelumnya asbal al-nuzul dan senantiasa memahami penafsiran konteks yang dibutuhkan saat ini. Dalam perkembangannya, model kedua ini dikembangkan oleh tokoh modern bernama Hans Georg Gadamer.
Ketiga, hermeneutika pembebasan. maksud dari hermeneutika ini adalah pemahaman terhadap teks yang bersifat subjektif, agar pada pemahamannya mampu memberikan penafsiran yang fungsional. Menurut pandangan tokoh model ketiga ini, hermeneutika tidak hanya berperan sebagai ilmu interpretasi atau sebuah metode pemahaman semata, melainkan lebih dari itu adalah aksi. Khususnya dalam ruang lingkup sosial, bagaimana Al-Quran memuat semangat pembebasan bagi manusia. Model ini turut dikembangkan oleh tokoh muslim kontemporer seperti Hasan Hanafi dan Farid Esack.
Meninjau beberapa model diatas, ringkasnya terdapat tiga model hermeneutika yang berbeda. Model pertama, berupaya memahami makna asal dengan cara kembali kemasa lalu; kedua, berupaya memahami makna konteks saat ini dengan menyampingkan masa lalu; ketiga, memahami makna asal dalam konteks kekinian tanpa menepikan masa lalu.
Secara lebih luas, tokoh mufassir kontemporer telah melahirkan ragam corak penafsiran dengan mengaplikasikan pendekatan hermeneutika. Menurut tokoh kontemporer, Al-Quran bukanlah teks mati, sehingga memerlukan pemahaman makna teks yang selaras dengan konteks. Mengingat pada dasarnya teks dan makna tidak dapat berubah namun memerlukan interpretasi untuk menyesuaikannya.