Isu tentang interaksi fisik orang dewasa terhadap anak-anak, bahkan dalam konteks yang dianggap sebagai “kasih sayang”, belakangan menjadi sorotan tajam di ruang publik. Kejadian viral yang melibatkan influencer atau pendakwah muda berfoto dengan anak-anak yang disertai sentuhan tidak pantas, memicu perdebatan publik.
Perdebatan ini bukan hanya soal etika sosial, tetapi juga menyinggung ranah hukum perlindungan anak. Sebenarnya, jauh sebelum isu ini viral, Islam telah meletakkan fondasi yang sangat kuat mengenai hak privasi dan batas sentuhan bagi anak-anak.
Anak-anak bukanlah miniatur orang dewasa. Mereka adalah amanah yang memiliki kemuliaan (karāmah) dan hak privasi yang harus dijaga, baik secara fisik maupun psikis. Al-Qur’an, dalam keagungan ajarannya, tidak hanya berbicara tentang ibadah, tetapi juga memberikan pedoman rinci terkait etika keluarga dan interaksi sosial. Salah satu ayat yang menjadi dasar penting bagi pendidikan etika dan privasi anak dalam Islam adalah QS. An-Nur: 58.
Surah An-Nur: Konsep Privasi yang Sering Terlupakan
Dalam surah An-Nur ayat 58, Allah memberikan perintah yang mendalam tentang pentingnya menjaga batasan waktu dan ruang dalam rumah tangga. Perintah ini ditujukan kepada orang dewasa dan anak-anak yang belum baligh. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنكُمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ۚ مِّن قَبْلِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُم مِّنَ الظَّهِيرَةِ وَمِن بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ ۚ ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ لَّكُمْ ۚ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ ۚ طَوَّافُونَ عَلَيْكُم بَعْضُكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Terjemahan: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam sehari): sebelum sembahyang Subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)-mu di tengah hari, dan sesudah sembahyang Isya’. (Itulah) tiga aurat (waktu) bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (waktu) itu. Mereka keluar masuk melayani kamu, sebagian kamu atas sebagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat itu kepadamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [QS. An-Nur/24: 58].
Ayat ini mewajibkan anak-anak yang belum baligh untuk meminta izin (isti’dzān) sebelum memasuki kamar orang dewasa pada tiga waktu kritis (tsalātsu ‘awrāt). Waktu-waktu ini adalah saat orang dewasa sangat mungkin berada dalam kondisi yang kurang tertutup atau sedang beristirahat secara pribadi.
Dalam Tafsīr al-Thabarī, dijelaskan bahwa tujuan dari perintah ini adalah untuk mengajarkan anak tentang batasan privasi, sekaligus melindungi orang dewasa dari godaan dan aurat yang tidak sengaja terlihat oleh anak.
Prinsip Isti’dzān dan Hifzh al-Aurat
Perintah isti’dzān (meminta izin) ini merupakan fondasi pendidikan etika dan perlindungan anak dalam Islam. Para ulama tafsir, seperti Al-Qurthubī, menjelaskan bahwa kewajiban isti’dzān tersebut berfungsi untuk menanamkan kesadaran akan ruang pribadi dan kemaluan (hifzh al-‘aurāt) sejak dini. Jika dalam rumah sendiri saja ada batasan ruang, apalagi di ruang publik, batasan sentuhan harus diperhatikan secara ekstra hati-hati.
Konteks yang terjadi, di mana orang dewasa mencium atau memeluk anak yang bukan mahramnya secara berlebihan, seringkali didasari oleh anggapan bahwa kasih sayang tidak mengenal batas. Padahal, kasih sayang dalam Islam harus berjalan dalam bingkai adab dan syariat.
Kasih Sayang Nabi dan Batasan Syariat
Islam, melalui teladan Nabi Muhammad saw, adalah agama yang sangat menjunjung tinggi kasih sayang terhadap anak-anak. Banyak hadis menunjukkan betapa Nabi sering mencium dan memeluk cucu-cucu beliau, Hasan dan Husain, serta anak-anak lain.
Suatu ketika, seorang Badui melihat Nabi mencium seorang anak dan berkata dengan heran, “Anda mencium anak-anak kecil? Demi Allah, kami tidak pernah mencium mereka.” Menanggapi hal tersebut, Nabi saw. bersabda, “Aku tidak bisa berbuat apa-apa jika Allah telah mencabut rasa kasih sayang dari hatimu.” (H.R. al-Bukhari, no. 5998).
Hadis ini menegaskan bahwa kasih sayang adalah fitrah dan perintah dalam Islam. Mencium anak adalah ekspresi rahmah (kasih) yang mendatangkan pahala. Namun, kasih sayang yang diajarkan Nabi saw. selalu terbingkai oleh adab dan syariat.
Baca juga: Menimbang Ulang Kata Pepatah “Banyak Anak Banyak Rezeki”
Penting untuk membedakan antara sentuhan kasih sayang (rahmah) yang dibolehkan (seperti yang dilakukan Nabi kepada anak-anak beliau atau mahram) dengan sentuhan yang melanggar batasan mahram. Hadis-hadis Nabi yang menunjukkan kasih sayang ini biasanya merujuk pada interaksi beliau dengan anak-anak mahram beliau, seperti cucu-cucu.
Ketika berinteraksi dengan anak yang bukan mahram, sentuhan dan ciuman harus dihindari jika mengandung potensi fitnah atau jika anak sudah memasuki usia yang sensitif.
Para ulama fikih menjelaskan, bahwa meskipun anak kecil yang belum mumayyiz (dapat membedakan) umumnya tidak terikat hukum aurat dan sentuhan, kehati-hatian tetap diperlukan bagi orang dewasa. Hal ini untuk menjaga kehormatan orang dewasa itu sendiri, melatih batasan sejak dini bagi anak, dan yang terpenting, menutup celah (sadd al-żarī’ah) menuju pelanggaran yang lebih besar.
Oleh karena itu, tindakan mencium atau memeluk anak-anak secara berlebihan—terutama yang bukan mahram, apalagi di area sensitif—meskipun niat awalnya adalah kasih sayang, dapat dikategorikan sebagai sentuhan tidak pantas jika melanggar prinsip isti’dzān (meminta izin) dan hifzh al-‘aurāt (menjaga kehormatan) yang ditekankan dalam surah An-Nur. Kasih sayang terbaik adalah kasih sayang yang melindungi, bukan yang berpotensi melanggar privasi dan kehormatan.
Baca juga: Tafsir Juz ‘Amma for Kids: Tafsir Ilustrasi untuk Anak-Anak
Sebagai orang dewasa, kita wajib memahami bahwa interaksi berlebihan, meskipun bertujuan baik, dapat menciptakan contoh buruk dan menormalisasi pelanggaran privasi anak.
Dalam konteks anak yang bukan mahram, kehati-hatian harus berlipat ganda, sebab batasan aurat dan sentuhan wajib dijaga sesuai hukum fikih, bahkan pada anak yang belum mencapai usia tamyīz (mampu membedakan baik dan buruk), untuk mencegah fitnah dan menjaga kehormatan.
Islam menetapkan batasan yang kokoh demi menjaga kemuliaan (karāmah) setiap individu, termasuk anak. Batasan ini adalah bentuk kasih sayang yang paling murni, yaitu kasih sayang yang berbasis pada syariat dan perlindungan hukum.
Semoga isu ini menjadi momentum untuk kembali mendalami ajaran Al-Qur’an. Tugas kita sebagai muslim adalah menjadi teladan dalam menghormati dan memelihara hak privasi anak-anak, sesuai dengan tuntunan dari Allah.

















