BerandaTafsir TematikIsyarat Ketahanan Pangan Nasional dalam Surah Yusuf Ayat 46-49

Isyarat Ketahanan Pangan Nasional dalam Surah Yusuf Ayat 46-49

Ketahanan pangan masih menjadi isu sentral di dunia global, khususnya Indonesia. Ketahanan pangan diartikan sebagai terpenuhinya pangan setiap warga negara hingga level individu. Ketersediaan, pemanfaatan, dan nilai dari sebuah pangan menjadi indikator penting.

Menurut Undang-Undang (UU) RI No 18 Tahun 2012, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif, akan tetapi perubahan iklim, konversi lahan, dan minat masyarakat dalam mengelola bumi masih rendah dan berdampak pada ketahanan pangan. Jika ketahanan pangan terganggu, maka berimplikasi buruk pada stabilitas ekonomi.

Aktivitas ekonomi, seperti produksi, distribusi, dan konsumsi di komoditas pangan merupakan isu yang tidak dipisahkan dari pembahasan ketahanan pangan. Sebab, ketahanan pangan mencakup tiga aktivitas tersebut.

Baca Juga: Tafsir Surah Yusuf ayat 41-52

Surah Yusuf ayat 46-49 memberikan konsepsi tentang pangan yang dapat dijadikan sebagai langkah untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional.

يُوْسُفُ اَيُّهَا الصِّدِّيْقُ اَفْتِنَا فِيْ سَبْعِ بَقَرٰتٍ سِمَانٍ يَّأْكُلُهُنَّ سَبْعٌ عِجَافٌ وَّسَبْعِ سُنْۢبُلٰتٍ خُضْرٍ وَّاُخَرَ يٰبِسٰتٍۙ لَّعَلِّيْٓ اَرْجِعُ اِلَى النَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَعْلَمُوْنَ ٤٦ قَالَ تَزْرَعُوْنَ سَبْعَ سِنِيْنَ دَاَبًاۚ فَمَا حَصَدْتُّمْ فَذَرُوْهُ فِيْ سُنْۢبُلِهٖٓ اِلَّا قَلِيْلًا مِّمَّا تَأْكُلُوْنَ ٤٧ ثُمَّ يَأْتِيْ مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ سَبْعٌ شِدَادٌ يَّأْكُلْنَ مَا قَدَّمْتُمْ لَهُنَّ اِلَّا قَلِيْلًا مِّمَّا تُحْصِنُوْنَ ٤٨ ثُمَّ يَأْتِيْ مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ عَامٌ فِيْهِ يُغَاثُ النَّاسُ وَفِيْهِ يَعْصِرُوْنَ ࣖ ٤٩

(Dia berkata,) “Wahai Yusuf, orang yang sangat dipercaya, jelaskanlah kepada kami (takwil mimpiku) tentang tujuh ekor sapi gemuk yang dimakan oleh tujuh (ekor sapi) kurus dan tujuh tangkai (gandum) hijau yang (meliputi tujuh tangkai) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu supaya mereka mengetahuinya.” (46). (Yusuf) berkata, “Bercocoktanamlah kamu tujuh tahun berturut-turut! Kemudian apa yang kamu tuai, biarkanlah di tangkainya, kecuali sedikit untuk kamu makan (47). Kemudian, sesudah itu akan datang tujuh (tahun) yang sangat sulit (paceklik) yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya, kecuali sedikit dari apa (bibit gandum) yang kamu simpan (48). Setelah itu akan datang tahun, ketika manusia diberi hujan (dengan cukup) dan pada masa itu mereka memeras (anggur).” (49).

Menurut al-Zuhaili, dalam al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari‘ah wa al-Manhaj (juz 12: 273), ayat di atas adalah salah satu takwil mimpi Nabi Yusuf terhadap raja Mesir (al-Rayyan bin Walid). Raja tersebut bermimpi menyaksikan tujuh ekor sapi betina kurus memakan tujuh ekor sapi betina gemuk. Kehadiran mimpi tersebut menimbulkan kegelisahan dalam jiwa raja, sehingga raja mencari orang yang tepat untuk menafsirkan mimpi tersebut.

Kegelisahan tersebut tidak terlepas dari psikologi seorang pemimpin yang melihat nasib masyarakat dan negaranya. Tidak heran mimpi tersebut menjadi tanda awal bahwa negeri Mesir akan dilanda musim subur selama tujuh tahun dan kekeringan dengan masa yang sama (7 tahun). Hal ini sekaligus menginformasikan tentang pemanfaatan hasil tanah ketika masa subur untuk menghadapi musim paceklik.

Musim paceklik tersebut tidak terlepas dari pengertian musibah. Hal ini juga ditegaskan oleh Hendri Utami dalam tulisannya yang berjudul Ada Isyarat Mitigasi Bencana dalam Mimpi Sang Raja di Kisah Nabi Yusuf. Ia memberikan ilustrasi bahwa mimpi raja sebagai informasi awal mitigasi bencana.

Kecerdasan Nabi Yusuf bukan saja dalam hal menakwil mimpi, namun dia menawarkan langkah konkret untuk menciptakan ketahanan pangan. Keterkaitan ketahanan pangan dengan ayat di atas ditandai dengan perintah bercocok tanam yang sekaligus merepresentasikan aktivitas dalam produksi pangan.

Baca Juga: Belajar Investasi dari Nabi Yusuf, Tafsir Surah Yusuf Ayat 47-49

Tiga Langkah Mencapai Ketahanan Pangan ala Nabi Yusuf

Ada isyarat langkah strategis dalam surah Yusuf ayat 46-49 mengenai ketahanan pangan. Pertama, meningkatkan produktivitas tanaman. Poin ini sangat tergantung pada kualitas lahan yang digunakan untuk tanaman tersebut. Ketersediaan lahan merupakan keniscayaan yang tidak bisa diabaikan. Jika lahan tersebut berkurang, secara tidak langsung produktivitas tanaman berkurang.

Selain ketersediaan lahan, masyarakat harus mampu memanfaatkan lahan yang dimiliki walaupun tidak luas. Hal ini berdasarkan anjuran Nabi saw. “Barangsiapa yang memiliki tanah, maka lebih baik menanaminya atau diberikan kepada saudaranya; jika dia tidak tidak mau, sebaiknya memelihara tanah itu” (H.R Al-Bukhari dan Muslim).

Kedua, manajemen stok pangan. Langkah kedua ini merupakan isyarat dan anjuran dari ayat ke-48. Oleh karena itu, selama masa subur tujuh tahun, Nabi Yusuf memerintahkan untuk menanam dan menyimpan tanaman yang sudah dipanen.

Tujuan dari langkah kedua ini untuk mengatur dan menyeimbangkan pola konsumsi masyarakat, sehingga adanya pemerataan di setiap lapisan masyarakat. Selain itu, akan tercipta kesetaraan hak mendapatkan pangan di tengah masyarakat.

Ketiga, membiasakan hidup hemat. Memiliki sifat hemat merupakan cerminan dari akhlak Muslim. Dia sanggup menyimpan harta sekaligus menyalurkannya dengan efektif dan tepat sasaran.

Membiasakan hidup hemat dalam konteks ketahanan pangan adalah meminimalisir hidup yang bersifat konsumtif. Sebab, tingginya konsumsi masyarakat akan berimplikasi pada penyediaan pangan. Jika konsumsi masyarakat tidak diimbangi dengan ketersediaan pangan, maka akan melahirkan rendahnya stok pangan.

Oleh karena itu, masyarakat harus memiliki kemampuann dan kreativitas yang tinggi guna menghasilkan pangan secara mandiri. Bahkan, masyarakat bisa membantu dan memfasilitasi sesama dalam rangka membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul. Pada akhirnya, hidup hemat dalam mengonsumsi pangan akan lahir jika masyarakat memiliki kesadaran tentang manajemen pangan.  Wallahu A’lam.

Sihabussalam
Sihabussalam
Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU