Setiap orang mungkin saja mampu melakukan perubahan walaupun kecil, berupa kebaikan ataupun keburukan. Namun sebagai khalifah di bumi, setiap orang mengemban tugas mulia untuk menciptakan perubahan berupa kemaslahatan, yang sudah semestinya menjadi impian kolektif umat manusia.
Hal inilah yang dicita-citakan Kiai Sahal Mahfudh saat membicarakan perubahan masyarakat sebagai proses pembangunan di muka bumi. Semangat melakukan perubahan ini diinspirasi oleh kutipan ayat dalam Surat Ar-Ra’du ayat 11:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حتى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’du [13]: 11).
Dalam belantara penafsiran, Fahruddin Ar-Razi menegaskan bahwa segenap mufasir membicarakan maksud kutipan ayat ini. Yakni, Allah tidak akan mengubah suatu kaum, yang telah dianugerahi kenikmatan, kemudian berbalik menjadi sebuah siksaan. Kecuali, karena ulah mereka sendiri yang penuh kemaksiatan dan berbuat kerusakan (Mafatih al-Ghaib Juz 19, hal. 20).
Baca Juga: Tugas Khalifah dan Krisis Ekologi: Tafsir Kiai Sahal Mahfudh [Bagian 1]
Sebagaimana Muhammad Ali Ash-Shabuni menafsirkan, hal ini merupakan sunnatullah bagi kehidupan manusia. Di mana Allah tidak akan mencabut segenap anugerah-Nya berupa kesehatan, kenikmatan, kedamaian, kemuliaan. Kecuali mereka mengingkarinya (kafaru) lalu berbuat kemaksiatan.
Berdasarkan sebuah atsar, “bahwa Allah pernah mewahyukan kepada salah seorang nabi dari kalangan Bani Israil, untuk bersabda kepada kaummu (Bani Israil): bahwa tidak ada suatu penduduk kota dan tidak ada penghuni suatu ahli bait pun, yang semula berada dalam ketaatan kepada Allah, lalu mereka berpaling dari ketaatan dan bermaksiat kepada Allah, melainkan Allah memalingkan dari mereka hal-hal yang mereka sukai, kemudian menggantikannya dengan hal-hal yang mereka benci.” (Shafwat al-Tafasir Juz 2, hal. 70).
Hampir semua mufassir menerangkan demikian, bahwa perubahan yang dimaksud di sini adalah dari keadaan yang semula baik penuh kenikmatan, menjadi buruk dengan penuh kesengsaraan. Bukan sebaliknya.
Meskipun begitu, justru Kiai Sahal Mahfudh berpandangan sebaliknya, yakni perubahan dari hal yang buruk menjadi baik. Di mana ia menafsirkan, bahwa mengubah berarti berupaya dan ikhtiyar yang menuntut berbagai kemampuan yang disebut kualitas. Ini berarti membangun manusia butuh kualitas, di mana manusia menjadi subjek sekaligus objek pembangunan. (Nuansa Fiqih Sosial, bab Kontekstualisasi Al-Qur’an, hal. 59).
Pandangan yang senada juga dikemukakan oleh Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah Jilid 6. Penggunaan kata ma (apa) dalam kutipan ayat di atas, berbicara tentang perubahan apapun, baik dari nikmat atau suatu yang positif menuju ke niqmat (murka) atau suatu yang negatif. Maupun sebaliknya, dari negatif ke positif.
Dengan menafsirkan sebaliknya demikian, maka kutipan ayat ini menjadi pelecut semangat untuk mewujudkan perubahan. Bahkan, sekali lagi Quraish Shihab menegaskan, bahwa perubahan yang dilakukan oleh Allah, haruslah didahului oleh perubahan yang dilakukan masyarakat menyangkut sisi dalam mereka (bi anfusihim). Tanpa perubahan ini, mustahil akan terjadi perubahan sosial.
Bayangkan saja, jika dahulu Pangeran Diponegoro hanya duduk manis di dalam istana, tidak mungkin terjadi Perang Jawa (1825-1830) yang berusaha melenyapkan penjajahan Belanda. Dilanjut dengan rentetan kronik perjuangan melalui organisasi dan pers di awal abad 20, disertai dengan pemogokan dan pemberontakan. Sampai pada puncaknya berhasil meletuskan revolusi 1945.
Sehingga perjuangan yang panjang tersebut mampu menciptakan sebuah perubahan sosial berupa kemerdekaan Indonesia dari belenggu penjajahan. Semua ini terjadi karena para pejuang melakukan ikhtiyar dengan sekuat tenaga penuh cucuran keringat dan darah.
Senada pula Buya Hamka, yang menyelingi penafsirannya dengan kiasan metafora: manusia bukanlah semacam kapas yang diterbangkan angin ke mana-mana atau laksana batu yang terlempar di tepi jalan.
Dia (manusia) mempunyai akal dan tenaga buat mencapai yang lebih baik, dalam batas-batas yang ditentukan oleh Allah. Kalau tidak demikian, niscaya manusia tidak akan sampai mendapat kehormatan menjadi khalifah Allah di muka bumi ini (Tafsir Al-Azhar Jilid 5, hal. 3741).
Kembali pada penafsiran Kiai Sahal Mahfudh, sebagai upaya untuk mencapai keberhasilan dalam proses pembangunan, dalam hal ini menuju perubahan sosial masyarakat. Dari pemaparannya, penulis mencoba meringkas dan membaginya menjadi tiga hal, berikut:
Pertama, Allah memerintahkan manusia agar mampu berpacu dalam berbagai kebajikan (istibaqul khairat). Yakni menumbuhkan sikap dan perilaku kompetisi yang sehat untuk mencapai kebaikan. Berarti memerlukan dinamika yang tinggi, wawasan kreatif dan inovatif yang luas, serta daya analisa untuk proses transformasi menuju masa depan.
Baca Juga: Tafsir Surah Al-Mukminun Ayat 33: Pendusta Nabi Shalih Adalah Para Penguasa yang Kaya Raya
Kedua, wujud dinamika berupa gerakan yang selalu menuntut etos kerja tinggi dari semua lapisan masyarakat. Etos kerja ini dalam Alquran disebut sebagai ibtigha’ al-fadlillah (secara optimal berupaya mencari anugerah Allah) atau secara umum disebut amal shalih.
Ketiga, kualitas manusia pada dasarnya ditentukan oleh potensi dirinya. Secara umum potensi yang dibekalkan Allah kepada setiap manusia adalah potensi rasio dan fisik. Rasio, berkembang menjadi potensi ilmu pengetahuan, teknologi, profesi, dsb. Sedangkan fisik, berkembang menjadi keterampilan, etos kerja, ketahanan tubuh, dan kesehatan yang prima.
Kesemuanya ini demi mencapai perubahan sosial yang lebih maslahat bagi kehidupan di muka bumi ini, atau dalam bahasa Kiai Sahal Mahfudh, untuk mencapai sa’adatud darain, yakni kebahagiaan dunia dan akhirat, sebagai tujuan hidup manusia. Semoga