Maulana Jalaluddin Rumi, seorang sufi besar abad ke-13 dan juga seorang darwis yang namanya sangat terkenal bukan hanya di kalangan umat muslim, namun juga karya-karyanya sepanjang zaman berpengaruh di dunia Barat. Hal itu disebabkan syair Rumi berisi pencerahan jiwa dan sangat relevan bagi kehidupan manusia modern yang kering akan nilai spiritual seperti sekarang ini.
Syair-syairnya diciptakan tidak hanya sekedar menyampaikan gagasan, ide, serta imajinasi, melainkan juga sebagai penjelasan dan penafsiran makna Alquran yang dengannya dapat menginspirasi dan memantik karakter Islam sejati bagi para pembacanya. Dalam Matsnawinya, Rumi juga menyentuh urusan kalbu, seperti tentang patah hati. Rumi berkata, “Biarkan hatimu patah, agar ia terbuka.”
Spirit syair Rumi di atas terinspirasi dari Surah Albaqarah ayat 156. Meskipun hanya segelintir bait, di dalamnya mengandung makna yang dalam serta dapat mengajak tadabur dan membangkitkan hati yang telah patah. Sebuah tawaran kepada mereka yang sedang gundah gulana ditinggalkan kekasihnya ataupun yang tengah dirundung kesedihan dalam menghadapi musibah.
Rumi: biarkan hatimu patah, agar ia terbuka
Dalam Alquran, Allah Swt. mengingatkan kepada hambaNya, “Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengatakan, Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.” (QS. Albaqarah [2]: 156). Makna sesungguhnya ayat ini, tentang awal perjalanan hidup manusia sampai nanti kembali lagi kepada Sumbernya atau Allah Swt., yang Orang Jawa menyebutnya dengan ‘sangkan paraning dumadi.’
Haidar Bagir dalam kajian Tasawuf Nur al-Wala menjelaskan bahwa sejatinya perjalanan manusia adalah Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Ketika di alam dunia manusia dilepas, Allah Swt. memberikan manusia karsa bebas, dengan karsa bebas ini dia dapat memilih: menempuh jalan yang benar menuju Sumbernya atau sebaliknya. Tetapi, Allah dalam banyak kesempatan juga akan memberikan pengajaran kepada manusia agar selamat kembali kepada hakikat kesadarannya, seperti melalui musibah dan derita ini. Namun, bagi mereka yang abai dan hanya menuruti nafsunya akan jatuh terpeleset.
Jalaluddin Rumi dalam syairnya yang lain lebih lanjut menarasikan:
Engkau menginginkan air dalam kendi tanah liat,
tetapi ketika engkau memecahkannya,
air itu akan kembali bergabung dengan danau dari mana ia berasal.
Ego manusia mencoba untuk mencegah pertemuan itu,
dan selalu menolak saran apapun tentang perlunya pertemuan.
Rumi meminta kita membiarkan saja hati kita patah. Fakhruddin Faiz dalam kajian Filsafat seri Patah Hati menjelaskan syair Rumi tersebut, ibarat seseorang memerlukan air agar bisa memuaskan dahaga. Sebagaimana manusia seringkali hanya memerhatikan bagaimana dia harus terus bisa memenuhi hasrat, ambisi, dan nafsunya. Namun jika itu tidak terpenuhi, hatinya akan patah. Pecah itu seperti air dalam wadah kendi yang jatuh memancar dan lambat laun akan kembali ke sumber asalnya. Ketika hati patah, saat itu sejatinya hati telah terbuka untuk menuju kepada Yang Hakiki. Sedangkan ego matian-matian berusaha tetap untuk menuruti sesuai keinginan manusia dan supaya hati tadi tidak berjalan menuju kepada sang Empunya. Misalnya, kala seorang patah hati berpisah dengan yang dia cintai, energi yang diupayakan paling besar adalah untuk kembali kepada pasangannya. Dia lupa sebenarnya ada proses yang lebih ideal, yaitu kembali kepada Allah.
Sayyid Quthub menambahkan bahwa yang terpenting dari pelajaran musibah, derita, atau luka hati adalah kembalinya kita untuk mengingat Allah ketika menghadapi segala keraguan dan goncangan, serta berusaha mengosongkan hati dari segala hal kecuali ditujukan semata kepada Allah. Kemudian, agar terbuka hati kita bahwa tidak ada kekuatan kecuali kekuatan Allah, tidak daya kecuali daya Allah, dan tidak keinginan kecuali keinginan mengabdi kepada Allah. Ketika itu, akan bertemulah ruh dengan sebuah hakikat yang menjadi landasan tegaknya pandangan (tashawwur) yang benar. (Tafsir fi Zhilal al-Qur’an, Juz I, hlm 261)
Perjalanan Rumi menjadi seorang sufi karena patah hati dan kerinduan
Pertemuan Maulana Jalaluddin Rumi dengan gurunya sekaligus sahabatnya, Syams al-Tabriz bermula ketika Rumi sedang asyik mengajar muridnya di pagi hari seperti biasanya, kemudian datanglah Syams al-Tabrizi lantas bertanya pada Rumi tentang apa yang dimaksud dengan riyadah dan ilmu. Mendengar pertanyaan dari Tabriz yang sebelumnya tidak dia kenal malah membuat Rumi terkesima.
Pertemuan yang menggetarkan itu memicu banyak keingintahuan Rumi, sampai akhirnya dia memutuskan untuk berguru dengan Syams al-Tabrizi. Tabriz mengajar dan membimbing Rumi dengan ilmu yang belum pernah dia pelajari sebelumnya. Dia merasakan hakikat cinta dan ikatan yang kuat dengan gurunya.
Hanya saja, Syams al-Tabriz pernah pergi meninggalkan Rumi. Bak remaja yang ditinggalkan kekasihnya, saking cintanya kepada gurunya itu, kepergian Tabriz menjadikan Rumi dirundung duka. Rumi benar-benar patah hati. Dia hanya mengurung diri di dalam rumah dan juga tidak bersedia mengajar. Alasan Tabrizi pergi demi kematangan spiritual Rumi yakni melalui perpisahan. Saat itu Rumi berusia 40 tahun dan dianggap sebagai simbol kematangan spiritual, sebab Nabi Muhammad saw. diangkat menjadi Rasulullah pada usia 40 tahun. Kematangan artinya persatuan dengan Sang Kekasih. (Diwan Syams Tabrizi, 2018).
Kepergian sahabat yang dicintainya ini juga memicu adanya majelis sema’, majelis yang berisi zikir dengan musik dan tarian. Rumi memakai pakaian berkabung dalam majelis ini sebagai simbol kesedihan. Namun dari kisah patah hatinya ini membawa kesadaran Rumi bahwa hanya Tuhan yang dapat memberinya pengetahuan dan persahabatan sejati, yang bisa mengembalikan kedamaian di dalam hatinya.
Seni mengatasi patah hati: dari derita menuju cinta Ilahi
Seringkali ketika datangnya musibah atau kehilangan yang terkasih, seseorang mengajukan pertanyaan “mengapa?” secara berulang atas kejadian yang terjadi dan sayangnya tidak ada jawaban yang bisa mengembalikan apapun yang telah terjadi. Menjadi mindfulness akan membawa pikiran kita benar-benar ada pada masa sekarang dan tidak melulu menoleh kebelakang apalagi mengingat sedihnya ditinggal orang tersayang.
Selain itu dengan berefleksi atau tadabur, bahwa sebagai manusia perlu kita ubah persepsi dan tujuan kita untuk mencintai sesuatu hal yang ada di dunia fana. Kita pahami bahwa sesuatu hal yang bersifat duniawi bersifat tidak abadi, cinta yang berlebihan kepada sosok materi malah akan membuat kita lalai pada hidup, dan terjebak pada lingkaran palsu tentang kebahagiaan, serta luka hati yang berkepanjangan. Itulah mengapa mencintai duniawi akan berujung patah hati, karena memang tidak bersifat abadi.
Jika manusia menginginkan bentuk cinta abadi, mari mencoba untuk merubah pandangan dan tujuan tentang cinta. Mari menuju cinta yang murni tanpa patah hati dengan pendekatan personal dan spiritual. Jalaluddin Rumi mengatakan bahwa tujuan utama latihan spiritual adalah untuk memungkinkan kita mengatasi keberatan yang ditujukan oleh ego kita, sehingga dengan mudah kita dapat melanjutkan perjalanan kita ke samudra persatuan.[]