BerandaTafsir TematikTafsir KebangsaanJebakan Pasca-Kemerdekaan: Pelajaran dari Kisah Patung Anak Sapi

Jebakan Pasca-Kemerdekaan: Pelajaran dari Kisah Patung Anak Sapi

Al-Qur’an menyajikan sebuah pelajaran abadi tentang jebakan pasca-kemerdekaan melalui Kisah Patung Anak Sapi. Di tengah semarak perayaan kemerdekaan bulan Agustus ini, kisah tersebut menjadi cermin yang sangat relevan. Ia mengingatkan bahwa setelah penjajah fisik dikalahkan, muncul musuh baru yang lebih berbahaya, yakni fitnah yang lahir dari euforia kebebasan itu sendiri, yang mampu menggadaikan kemerdekaan hakiki dengan sekejap.

Kisah abadi ini memuat tentang bagaimana kemerdekaan yang diraih dengan darah dan air mata bisa tergadai oleh kilau emas dalam sekejap, namun melahirkan sebuah pelajaran abadi tentang jebakan yang selalu mengintai di era pasca-kemerdekaan.

Di Puncak Kemenangan, Ujian Datang

Bayangkan sebuah kaum yang baru saja menyaksikan mukjizat terbelahnya lautan dan tenggelamnya Firaun. Inilah Bani Israil, bangsa yang baru menghirup udara kebebasan setelah ratusan tahun perbudakan. Di puncak kemenangan inilah, Allah menjanjikan penyempurna kemerdekaan mereka dengan kitab suci, Taurat. Untuk itu, Nabi Musa As. dipanggil untuk sebuah pertemuan sakral selama empat puluh malam. Sebagaimana disebutkan dalam surah Al-A’raf ayat 142, Musa awalnya dijanjikan tiga puluh malam untuk berpuasa dan beribadah, kemudian disempurnakan dengan sepuluh malam lagi (Ibn Katsîr, 3/420).

“Kami telah menjanjikan Musa (untuk memberikan kitab Taurat setelah bermunajat selama) tiga puluh malam. Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi). Maka, lengkaplah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Musa berkata kepada saudaranya, (yaitu) Harun, “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, perbaikilah (dirimu dan kaummu), dan janganlah engkau mengikuti jalan orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-A’raf [7] 142).

Para mufasir menjelaskan, penambahan sepuluh malam ini terjadi karena setelah berpuasa sebulan penuh, Musa membersihkan mulutnya dengan bersiwak. Allah kemudian menegurnya dengan lembut, mengingatkan bahwa bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi-Nya daripada aroma kesturi, lalu memerintahkannya menyempurnakan ibadah menjadi empat puluh malam (Al-Qurthubî, 8/274). Dalam penantian yang disempurnakan inilah, sebuah kekosongan spiritual di tengah Bani Israil menjadi lahan subur bagi fitnah terbesar mereka.

Kilau Emas yang Membutakan Iman

Siapakah dalang di balik fitnah ini? Dia adalah Samiri. Para mufasir menyebutkan beberapa riwayat tentang identitasnya. Ada yang mengatakan ia berasal dari kaum penyembah sapi sehingga sisa-sisa akidah itu masih ada di hatinya (Al-Qurthubî, 11/233). Apapun latar belakangnya, ia adalah seorang manipulator yang cerdas.

Mengapa Bani Israil begitu mudah terpedaya? Samiri memainkan dua kartu psikologis yang sangat kuat. Pertama, ia mengeksploitasi ketidaksabaran mereka atas kepergian Musa yang terasa lama. Kedua, ia membingkai perhiasan emas yang mereka bawa dari Mesir sebagai “beban dosa” atau awzar yang harus dilepaskan (Al-Qurthubî, 11/233). Dengan dalih “pemurnian diri”, ia meminta mereka menyerahkan semua emas yang dimiliki.

Baca juga: Bani Israil dan Kisah Pemuda Pemilik Sapi

Setelah emas terkumpul, ia membentuk patung anak sapi yang bisa mengeluarkan suara. Di saat itulah, ia melancarkan propagandanya, sebagaimana diabadikan dalam Surah Taha, ayat 88:

“…kemudian Samiri mengeluarkan untuk mereka (dari lubang api) seekor anak sapi yang bertubuh dan dapat bersuara, lalu mereka berkata, ‘Inilah Tuhanmu dan Tuhan Musa, tetapi dia (Musa) telah lupa’.”

Sebagian besar kaum itu terpesona. Mereka yang terbiasa dengan kemewahan dan tuhan-tuhan visual di Mesir, kini menemukan objek penyembahan yang konkret dan berkilau. Kemerdekaan tauhid yang baru mereka raih seketika runtuh, digantikan oleh perbudakan kepada patung emas.

Akhir Hayat Samiri dan Harga Sebuah Pengkhianatan

Ketika Nabi Musa kembali, murkanya memuncak. Setelah memastikan saudaranya, Harun, tidak bersalah, ia beralih kepada Samiri. Dalam dialog yang diabadikan Al-Qur’an, Samiri mengaku telah melakukan tipu daya. Maka, Nabi Musa menjatuhkan hukuman yang setimpal atas pengkhianatannya terhadap kemerdekaan tauhid. Hukuman itu bukanlah penjara atau hukuman mati, melainkan sebuah pengasingan sosial seumur hidup. Musa berkata:

“Pergilah kamu, maka sesungguhnya dalam kehidupan di dunia ini, (hukuman) bagimu adalah dengan mengatakan, ‘Jangan sentuh (aku)’. Dan sesungguhnya engkau mempunyai janji (hukuman lain) yang tidak akan dapat engkau hindari…” (QS. Taha: 97).

Menurut Ibnu Katsir, hukuman “la misas” (jangan sentuh) ini membuat Samiri dan keturunannya hidup dalam keterasingan total. Jika ia menyentuh atau disentuh orang lain, keduanya akan menderita demam. Ia hidup liar seperti binatang buas, terbuang dari peradaban yang telah ia rusak (Ibnu Katsîr, 2/193-6).

Baca juga: Kisah Kedurhakaan Bani Israel Kepada Nabi Musa dalam Pembebasan Palestina

Adapun bagi kaumnya yang terpedaya, harga yang harus mereka bayar juga sangat mahal. Pengkhianatan ini mendatangkan murka Allah dan kehinaan, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-A’raf, ayat 152:

“Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak sapi (sebagai sembahannya), kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari Tuhan mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia…”

Taubat mereka pun tidak cukup dengan istighfar. Sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab tarikh, Allah memerintahkan agar mereka yang tidak bersalah membunuh mereka yang telah menyembah patung anak sapi sebagai tebusan atas dosa syirik tersebut (Al-Muqaddasî, 3/89).

Pelajaran Abadi dari Patung Anak Sapi

Kisah ini bukanlah sekadar catatan sejarah, ia adalah kurikulum abadi tentang hakikat kemerdekaan. Beberapa pelajaran penting dapat kita ambil:

Kekosongan Spiritual adalah Musuh Utama

Kemerdekaan tanpa panduan ilahi akan menciptakan kekosongan. Kekosongan inilah yang menjadi musuh paling berbahaya, karena ia siap diisi oleh ideologi, materialisme, atau hawa nafsu yang akan menjajah kembali jiwa yang baru bebas.

Waspada Terhadap Pesona Materialisme

Patung anak sapi adalah simbol abadi dari materialisme. Kilau dunia dan janji–janji kemewahan bisa dengan mudah membutakan iman yang belum kokoh dan membuat seseorang rela menukar kebebasan abadinya dengan kenikmatan sesaat.

Baca juga: Rahasia Sapi di Balik Penamaan Surah Al-Baqarah

Bahaya Provokator Internal

Ancaman terbesar seringkali datang dari dalam, dari “Samiri” yang memahami kelemahan psikologis sebuah kaum dan memanfaatkannya dengan narasi yang menipu. Mereka membingkai kebatilan seolah-olah sebuah kebenaran dan solusi.

Kemerdekaan adalah Proses Penjagaan

Meraih kemerdekaan adalah satu hal, menjaganya adalah hal lain. Ia menuntut kewaspadaan spiritual yang terus-menerus untuk memastikan hati tetap merdeka dan hanya menghamba kepada Allah.

Penutup

Pelajaran dari kisah Patung Anak Sapi adalah pengingat yang tajam bahwa proklamasi hanyalah awal dari perjalanan. Kemerdekaan sejati bukanlah peristiwa satu hari, melainkan perjuangan setiap hari untuk menjaga agar hati tetap merdeka dari “Samiri-Samiri” baru dan “berhala-berhala” berkilauan yang mereka tawarkan. Karena musuh terbesar sebuah kemerdekaan bukanlah penjajah yang telah pergi, melainkan kekosongan jiwa yang siap diisi oleh apa pun selain Allah.

Muhammad Arsyad
Muhammad Arsyad
Mahasiswa Ilmu al-Qur'an dan Tafsir UIN Antasari Banjarmasin. Akun Ig: @arsyadmodh.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Slow Living ala Al-Qur’an: Menemukan Ketenangan di Tengah Hustle Culture

0
Di era yang dipenuhi dengan notifikasi, target, dan tuntutan produktivitas, seseorang didorong untuk terus bergerak, berlari, bahkan berkompetisi setiap hari. Budaya ini sering disebut...