Saat kita membaca terjemahan al-Qur’an, mungkin di antara kita pernah menemukan kata tandingan Allah. Jika ditarik ke definisi bahasa Indonesia, sebagaiamana yang dijelaskan oleh KBBI, bahwa tandingan adalah sesuatu yang seimbang dengan yang lain; imbangan, lawan yang seimbang.
Dengan demikian, adakah lawan yang seimbang bagi Allah? Tentu tidak. Karena Maha Kuasa atas segala hal, tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya, apalagi menandingi-Nya.
Kata tandingan di dalam al-Qur’an disebutkan dengan kata andâd yang merupakan bentuk jama’ dari kata niddun. Adapun kata niddun menurut kamus Lisan al-Arabiy, niddun berarti serupa dan kawan. Ada juga yang mengatakan bahwa niddun adalah lawan atau sesuatu yang serupa.
Selanjutnya, arti niddun secara istilah yaitu sesuatu yang berbeda dengannya dan berlawanan dengannya. Dan yang dimaksud oleh mereka adalah sesuatu yang dijadikan sebagai tuhan selain Allah Swt. Akan tetapi, pemahaman mengenai tandingan Allah, tidak cukup dengan arti yang diuraikan dari kamus-kamus Arab. Perlu dilihat bagaimana pendapat para mufassir terhadap kata tersebut.
Berikut ayat al-Qur’an yang menyebutkan kata andâd
الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ فِرَاشًا وَّالسَّمَاۤءَ بِنَاۤءً ۖوَّاَنْزَلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً فَاَخْرَجَ بِهٖ مِنَ الثَّمَرٰتِ رِزْقًا لَّكُمْ ۚ فَلَا تَجْعَلُوْا لِلّٰهِ اَنْدَادًا وَّاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ٢٢
“(Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 22)
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اَنْدَادًا يُّحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللّٰهِ ۗ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَشَدُّ حُبًّا لِّلّٰهِ ۙوَلَوْ يَرَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْٓا اِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَۙ اَنَّ الْقُوَّةَ لِلّٰهِ جَمِيْعًا ۙوَّاَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعَذَابِ ١٦٥
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zalim itu melihat, ketika mereka melihat azab (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya (niscaya mereka menyesal).”
Menurut Thabathaba’i kata nidd bermakna semisal atau hal yang sepadan dengan Allah Swt. Yang dimaksud semisal Allah Swt di sini adalah setiap sesuatu yang memiliki kemungkinan untuk dijadikan sekutu Allah Swt.
Selanjutnya, pada ayat 165 Thabataba’I menambahkan bahwa pada hakikatnya, semua manusia mengetahui bahwa tiada Tuhan selain Allah Swt dan hanya Allah Swt lah yang berhak mereka sembah. Namun, karena ada beberapa faktor lain seperti halnya hawa nafsu, maka atas dasar itulah akhirnya mereka menjadikan tandingan bagi Allah Swt.
Selanjutnya, dalam ayat ini beliau juga memberikan analogi kecil tentang arti tauhid melalui kata cinta; “Barang siapa yang mencintai sesuatu maka ia akan patuh dan taat terhadap sesuatu itu dan ia tidak mungkin menduakan sesuatu yang ia cintai dengan sesuatu selainnya”.
Kemudian dalam Tafsir al-Kabir, Imam Fakhru Ar-Razi menjelaskan bahwa kata andâd berasal dari bentuk tunggal nidd yang memiliki makna setiap sesuatu yang diserupakan kepada Allah Swt dan menjadi tandingan atas kekuasaan mutlakNya.
Adapun sesuatu tersebut, Imam Fakhru Ar-Razi berdasarkan buku-buku sejarah membaginya menjadi tiga bagian, yakni bintang-bintang, salib dan patung-patung. Dalam penjelasannya, bintang-bintang adalah tandingan yang dijadikan sesembahan oleh kaum shoibah atas kekeliruan mereka dalam memaknai hakikat ke-Tuhan-an.
Kemudian, salib merupakan bias dari kekeliruan pemahaman akidah para kaum nasrani. Sedangkan patung-patung -yang pada zaman awal datangnya Islam disembah oleh kebanyakan orang Arab adalah sesembahan yang telah masyarakat Yunani kuno yakini sebagai Tuhan mereka.
Sedangkan pada ayat 165, ar-Razi menjelaskan sebagaimana ayat sebelumnya, yaaitu kata nidd dalam ayat ini juga berartikan suatu tandingan yang diserupakan oleh kaum musyrikin terhadap Allah Swt. Namun, karena ada perbendaharaan kata yang baru dan berbeda dengan ayat sebelumnya, Imam Fakhru Ar-Razi membagi tandingan itu dari sisi yang berbeda menjadi dua bagian; Pertama, tandingan Allah Swt yang berbentuk patung (benda mati) yang tidak bisa memberikan manfaat ataupun madhorot kepada penyembahnya.
Kedua, tandingan Allah Swt yang berupa para raja dari golongan manusia (benda hidup) yang menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan mengharamkan apa yang telah Allah halalkan. Untuk arti kata tandingan Allah Swt yang kedua (para raja dari golongan manusia), Ar-Razi berlandaskan pada dlomir atau kata ganti هم yang ada dalam kata يحبونهم, karena dalam ilmu nahwu dijelaskan bahwa dlomir هم hanya untuk mereka yang berakal, oleh karena itu patung-patung dan semisalnya tidak termasuk di dalamnya.
Selain pendapat diatas, ada juga pendapat dari kaum sufi dan ahli hikmah yang mengatkan bahwa tandingan Allah Swt adalah hawa nafsu manusia yang selalu membuat lupa akan eksistensi Allah Swt.
Dengan demikian, memang tidak ada lawan yang sepadan bagi Allah, tandingan-tandingan dciptakan oleh manusia sendiri, sehingga menjadikan mereka melakukan dosa besar, yakni syirik. Wallahu ‘alamu bi ash-Shawâb