Kajian Semantik Asal Usul Kata Salat dalam Al-Quran

Kata Salat
Kata Salat

Setiap peringatan isra mikraj salah satu yang selalu dibahas adalah seputar kewajiban salat. Kisah seputar disyariatkan salat kepada Nabi Muhammad pun sudah akrab kita dengar dari lisan para penceramah. Setiap tahun tak ada yang berubah dari konten dakwahnya.

Sejenak pernahkah kita bertanya, apa asal usul dari kata salat? Apakah salat juga sama dengan ibadah puasa dan haji yang meneruskan tradisi umat-umat terdahulu?

Menyoroti hal tersebut, ada satu ayat yang menarik untuk didiskusikan yaitu QS. Al-Hajj ayat 40:

 وَلَوۡلَا دَفۡعُ ٱللَّهِ ٱلنَّاسَ بَعۡضَهُم بِبَعۡضٖ لَّهُدِّمَتۡ صَوَٰمِعُ وَبِيَعٞ وَصَلَوَٰتٞ وَمَسَٰجِدُ يُذۡكَرُ فِيهَا ٱسۡمُ ٱللَّهِ كَثِيرٗاۗ وَلَيَنصُرَنَّ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

…dan jika seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian (manusia) yang lain, tentu telah dirobohkan (oleh para penindas) biara-biara, gereja-gereja, sinagoga-sinagoga dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sungguh, Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat, lagi Maha Perkasa (Terjemahan Makna Al-Quran dari Prof. Dr. Quraish Shihab).

Secara umum pesan ayat ini mengajak umat Islam untuk menjaga tempat ibadah sang liyan. Salah satu tempat ibadah yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah sinagog, tempat ibadah umat Yahudi. Uniknya kata yang digunakan adalah shalawāt, jamak dari kata salat.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Kewajiban Salat Lima Waktu dalam Peristiwa Isra Mikraj

Sebagai pembaca Al-Quran kita dapat bertanya, ibadah harian umat Islam adalah salat, tetapi, mengapa justru tempat ibadah umat Yahudi yang menggunakan kata shalawāt. Jika menilik beberapa penafsiran, misalnya pendapat Ibn Abbas, Yahya bin Sallam, al-Farra`, dan al-Thabari, maka semuanya memahami kata shalawāt sebagai kanā`is al-yahūd, gereja orang Yahudi.

Gerhard Bowering dalam Encyclopaedia of the Quran jilid 4 ketika menjelaskan kata “Prayer” menegaskan bahwa diksi salat –yang dalam bahasa Arab sering merujuk pada makna ritual doa—belum muncul dalam puisi Arab pra-Quran. Sehingga jelas bahwa penggunaan kata ini dalam Al-Quran dipengaruhi oleh bahasa Semitik.

Sebenarnya pinjam meminjam, saling mempengaruhi, atau memperkaya adalah hal yang wajar dalam proses pembentukan bahasa. Dalam bahasa Indonesia saja, kita bisa mengetahui ada banyak bahasa serapan dari Inggris, Arab, Belanda dan Sansakerta yang menghiasi kosakata. Pun demikian bahasa Arab yang mempunyai rumpun bahasa semitik lainnya seperti Ibrani dan Suryani.

Begitu juga dalam kasus kata salat pada ayat tersebut yang merupakan istilah asing kemudian di-Arab-kan (al-mu’arrab) dari bahasa Suryani. Demikian ulasan dari Dr. Abdul Rahim al-Subhan yang dikutip oleh Muhammad Sayyid Ali Balasi dalam kitab al-Mu’arrab fi al-Quran al-Karim.

Sejalan dengan hal tersebut, Jawwad Ali dalam kitab Tārīkh al-Shalāt fī al-Islām menegaskan bahwa salat pada mulanya difungsikan untuk menggambarkan praktik ritual keagamaan, kemudian digunakan oleh kalangan Yahudi dengan istilah shallutah, selota, yang bermakna denotes the act of bowing, menunjukkan sikap membungkuk.

Salah satu “salat” yang dilakukan dalam tradisi rabbinic judaism adalah melakukan doa harian sebanyak tiga kali dalam sehari, yaitu saat fajar menyingsing, sore dan malam hari, baik secara pribadi maupun berjamaah (komunal).

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ibadah salat dalam Islam adalah keberlanjutan dari ritual yang telah ada sebelumnya (syar’u man qablana). Selain tradisi Yahudi, dalam liturgi Kristen, khususnya Kristen Timur juga erat dengan ritual doa dan sikap membungkukkan badan.

Bahkan masyarakat Arab sebelum Nabi Muhammad diutus telah mengenal dan menjalankan beragam ritual doa dengan gerakan tertentu sebagai ekspresi keberagamaan mereka.

Hanya saja, masyarakat Arab pra-Islam menolak gerakan rukuk dan sujud karena dalam dua gerakan tersebut dinilai sebagai simbol kehinaan dan kerendahan. Karenanya ibadah salat merupakan ibadah yang sulit diterima oleh masyarakat Arab kala itu.

Dalam sebuah riwayat yang dikutip dalam Tafsir Thabari diceritakan, ketika rombongan Tsaqif mengunjungi Rasulullah saw pada tahun 9 Hijriah, mereka berharap dibebaskan dari dua hal, yaitu menghancurkan berhala dengan tangan mereka sendiri dan melaksanakan salat.

Nabi bersabda: “Aku memberi keringanan pada kalian untuk tidak memecah berhala dengan tangan kalian sendiri, namun terkait salat, tidak ada kebaikan bagi sebuah agama tanpa salat”. Lalu mereka berkata, “Wahai Muhammad, kami akan melaksanakan salat, walaupun itu hina”.

Berdasarkan penelusuran tersebut, ada beberapa poin yang dapat digarisbawahi. Pertama, kehadiran Islam tidak menutup diri dari interaksi dengan agama bahkan budaya yang ada di sekitarnya.

Nabi Muhammad tidak menghapus ritual berdoa yang telah dikenal oleh umat Yahudi, justru melanjutkan dan memberikan nuansa tersendiri. Nuansa yang khas dalam Islam, selain lafaz syahadat, juga melantunkan salawat kepada Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim.

Dengan mengetahui sejarah tersebut, dapat menjadi sarana untuk membuka ruang dialog dengan agama yang beragam, khususnya yang masih dalam satu rumpun Abrahamic Religion, Yahudi, Kristen dan Islam. Sayangnya kita lebih masif memupuk kebencian antar anak Abraham daripada membangun ruang perjumpaan secara mendalam.

Kedua, setiap agama mempunyai sarana untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Dalam Islam, ibadah salat hadir sebagai cara kita untuk menenangkan diri, atau bahasa lainnya adalah berkontemplasi.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Dalil Salat Jumat dan Alasan Pemilihan Harinya

Ini yang perlu diperhatikan bahwa salat adalah sarana, bukan tujuan. Sehingga jangan sampai kita hanya melaksanakan salat sebatas ritual dan mengabaikan tujuannya. Aqimis shalāta li zikrī, mendirikan salat untuk mengingat Allah; sesungguhnya salat sebagai pencegah dari perbuatan keji dan munkar, adalah di antara maksud diberlakukannya salat.

Ketiga, gerakan-gerakan shalat seperti rukuk dan sujud adalah sarana penghambaan dan penyerahan diri kepada Tuhan. Ketika kita salat, jabatan keduniaan dilepas, mau kepala negara maupun rakyat jelata, semua merendah di hadapan-Nya. Harapannya dengan minimal lima waktu dalam sehari kita menunduk, maka kehidupan kita pun penuh dengan ketundukan, bukan kecongkakan dan kepongahan.

Dengan demikian, ibadah shalat mengajarkan kita untuk melihat ke luar, bahwa ada banyak agama dan kepercayaan yang juga mengajak untuk “salat”, menundukkan diri pada Sang Pencipta. Di saat yang sama, kita pun diajak untuk melihat ke dalam, bahwa kita hanyalah manusia yang rapuh tanpa kehadiran Tuhan Sang Pengatur semesta. Wallahu a’lam.