BerandaTafsir TematikKajian Semantik Kata Wahyu dan Keragaman Maknanya dalam Al-Qur’an

Kajian Semantik Kata Wahyu dan Keragaman Maknanya dalam Al-Qur’an

Kata wahyu merupakan kata yang berasal dari Bahasa Arab (wahy), kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia dan masyhur digunakan. Sebagai bahasa adopsi, terkadang makna wahy digunakan sekenanya tanpa mempertimbangkan dengan keaslian maknanya. Hal ini tentu dipandang perlu untuk mengkaji ulang apa makna wahyu sebenarnya. Di samping itu, kata wahyu merupakan istilah penting dalam Islam, sehingga kita sebagai umat Islam sendiri sangat penting memahami maknanya secara mendalam. Maka dalam tulisan ini, akan dilakukan kajian semantik kata wahyu serta mengungkap keragaman maknanya dalam Al-Qur’an.

Makna Kata Wahyu dalam Konsep Sebelum Al-Qur’an

Perlu diketahui, bahwa sejatinya kata wahyu sudah digunakan masyarakat Arab sebelum al-Qur’an hadir di tengah-tengah mereka, karena pada dasarnya kata wahyu telah lazim digunakan secara berulang-ulang dalam syair-syair Arab yang mereka banggakan. Dalam buku God and man in the Qur’an, Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa makna asli kata wahyu sebelum al-Qur’an tidak terlepas dari tiga makna.

Pertama, wahyu sebagai praktik komunikasi yang mengharuskan adanya dua tokoh yang mana bahasa, posisi dan derajatnya harus sama agar komunikasi benar-benar terwujud, (manusia dengan manusia). Namun komunikasi ini hanya bersifat satu arah. Kedua, wahyu tidak harus bersifat verbal linguistik, sekalipun dapat menggunakan kata-kata. Dan ketiga, wahyu bersifat misterius, rahasia dan pribadi. Oleh karena itu, komunikasi tersebut dilakukan dengan sedemikian privasi antara A dan B, maka konteks komunikasi tersebut sulit dipahami siapapun oleh selain keduanya. Hal ini dibuktikan dengan syair Arab yang mengandung unsur misteri yang disampaikan penyair terkenal ‘Alqamah al-Fahl dalam gubahannya:

يُوْحَى إِلَيْهَا بِإِنْقَاضٍ وَنَقْنَقَةٍ #   كَمَا تَرَاطَن فِي أَفْدَانِهَا الرُّوْمِ

“(Burung Unta jantan) berbicara kepada isterinya dengan suara gemeretak dan naqnaqah, sebagaimana orang Yunani berbicara dengan bahasa yang tidak diketahui di istana mereka”

Kata يوحى dalam syair tersebut mengandung unsur misteri dan rahasia karena maksudnya tersembunyi dan hanya diketahui oleh yang bersangkutan (baca: burung unta jantan). Dikisahkan bahwa burung unta jantan berbicara kepada burung unta betina dengan suara gemeretak, dan tentu saja pembicaraan tersebut hanya mereka berdua yang memahami apa maksudnya.

Baca juga: Teori Semantik Al-Quran Toshihiko Izutsu dan Kontribusinya dalam Studi Al-Quran

Makna Kata Wahyu dalam Konsep Al-Qur’an

Makna wahyu dalam konsep al-Qur’an diasumsikan menggunakan konsep wahyu yang cukup mirip dengan konsep wahyu pra-Qur’an yang disampaikan Toshihiko. Akan tetapi, tentu saja dengan modifikasi-modifikasi, bahwa terdapat kualifikasi-kualifikasi tertentu agar tidak sama persis dengan tiga karakteristik makna wahyu pada masa pra-Qur’an. Adapun konsep makna kata wahyu dalam Al-Qur’an setidaknya mengandung dua makna, yaitu wahyu sebagai kalam atau parole (ujaran personal) dan wahyu sebagai lisan atau langue.

Kedua makna ini merupakan dua sisi dalam melihat bahasa dan saling keterkaitan. Maksudnya, parole dimaknai sebagai peristiwa, dan langue sebagai struktur yang dengannya peristiwa berlangsung. Sebagaimana kita tahu bahwa wahyu (al-Qur’an) turun di tengah masyarakat Arab dengan bahasa Arab. Hal ini tentu agar tidak menjadi bantahan terhadap bangsa Arab, sehingga tidak bisa beralasan mereka tidak mengikuti Al-Qur’an, karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka, walau faktanya mereka tidak serta merta mau menerimanya.

Wahyu sebagai kalam atau parole, dimaknai bahwa wahyu harus sebagai kalam yang konkret atau jelas. Sebagaimana al-Qur’an sebagai wahyu Nabi yang merupakan kalam Ilahi yang benar adanya, nyata, dan jelas. Pewahyuan dalam konsep al-Qur’an ini terjadi antara dua figur yang berbeda, berbeda posisi dan berbeda derajat. Allah Swt sebagai pemberi wahyu sekaligus sebagai Tuhan, dan Nabi Muhammad sebagai manusia yang menerima wahyu tersebut. Jika diselaraskan dengan konsep wahyu pra-Qur’an, hal tersebut tidak bisa dikatakan wahyu karena unsur komunikasi yang berbeda dan dilakukan oleh dua tokoh yang berbeda posisi dan derajat. Akan tetapi, Toshihiko menyebutkan bahwa itulah keistimewaan wahyu al-Qur’an. Al-Qur’an menggambarkan model komunikasi yang berbeda dengan dua figur yang berbeda.

Lebih dari itu, bahkan wahyu dalam konsep al-Qur’an melibatkan tiga aktor yang berbeda posisi: Allah-Malaikat-Nabi Muhammad. Wahyu Allah Swt tersebut tidak hanya berhenti pada Nabi Muhammad saw saja, melainkan Nabi Muhammad harus menyampaikan wahyu tersebut kepada umatnya. Dengan demikian, wahyu dalam konsep al-Qur’an lebih kompleks dan komprehensif, bukan sekadar pola perbincangan antar dua figur.

Kemudian, wahyu sebagai lisan atau langue, yang mana bahasa Arab sebagai bahasa sosial orang Arab dan al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa Arab. Dalam hal ini, ada hal menarik yang disampaikan Toshihiko, bahwa ternyata al-Qur’an tidak menjadikan ke arabiyah-annya itu sebagai instrumen untuk mengangkat ras orang Arab dan bahasa Arab itu sendiri sebagai bahasa yang superior (unggul), di atas bahasa-bahasa lain.

Baca juga: Alasan Kenapa Al-Quran Diturunkan Berbahasa Arab

Ragam Makna Wahyu dalam Al-Qur’an

Di dalam al-Qur’an, kata wahy ditemukan sebanyak 78 kali dan masing-masing menyandang makna dan terbentuk dalam derivasi yang berbeda. Hal ini sejalan dengan penjelasan Muhammad Fuad ‘Abd al-Bāqi dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karīm, bahwa dari 78 term ini, setidaknya terbentuk dalam kata benda (isim) sebanyak 6 kali dalam kata kerja (fi’il) sebanyak 72 kali.

Dalam bentuk kata benda (isim), penggunaan kata wahyu dalam al-Qur’an selalu berbentuk isim masdar dari tsulatsi mujarrad yang terbentuk dari wazan فَعْلٌ, yakni wahy (وَحْيٌ). Adapun ketika berupa kata kerjanya (fi’il), kata  wahyu dalam al-Qur’an seringkali berbentuk fi’il tsulātsī mazīd, terlebih dalam bentuk fi’il madhi dan fi’il mudhari, yang mana terbentuk dari wazan (أَفْعَلَ – يُفْعِلُ) menjadi (أَوْحَى- يُوْحِي). Hal ini sejalan dengan pendapatnya Abū al-Haytam yang kemudian dikutip al-Azharī (Tahzīb al-Lughah Vol. II, hlm. 213), bahwa kata اَوْحَي ini kerapkali digunakan dalam al-Qur’an dengan tambahan hamzah menjadi أَوْحَي.

Secara semantik kata wahyu yang digunakan dalam al-Qur’an tentu mengandung makna dan maksud yang berbeda. Sebagai contoh dalam Q.S. Maryam [19]: 11, yang mengandung makna penyampaian pesan secara rahasia melalui ucapan tanpa suara serta isyarat tubuh dan tulisan. Kemudian dalam Q.S. Al-An’am [6]: 112 bermakna isyarat, pertimbangan dan tulisan. Masih dalam surah yang sama Q.S. Al-An’am [6]: 121 wahyu bermakna isyarat dan bisikan kewaswasan. Selanjutnya, wahyu juga dimaknai sebagai perkataan Ilahi yang disampaikan kepada para nabi dan wali-Nya. Hal ini tercantum dalam Q.S. Asy-Syu’arā [26]: 52. Kemudian adapula wahyu dimaknai sebagai pengetahuan akan keesaan Allah, sebagaimana dalam Q.S. Al-Anbiyā’ [21]: 25.

Makna selanjutnya adalah makna wahy dari segi penyampaiannya. Nabi Muhammad menerima wahyu melalui malaikat Jibril dengan melihat dzatnya sekaligus suaranya. Ini terjadi ketika Jibril menyampaikan wahyu dengan menyerupai bentuk tertentu, sebagaimana termaktub dalam Q.S. Asy-Syūrā [42]: 51. Kemudian wahyu dimaknai dengan hanya terdengar suara lalu menyelusup langsung ke dalam hati, seperti yang dialami Nabi Musa, sebagaimana dalam Q.S. Asy-Syu’arā [26]: 193-194. Dalam Q.S. Al-Qasas [28]: 7 wahyu dapat berbentuk ilham dan dapat melalui sindiran.

Lebih jauh lagi, wahyu dimaknai sebagai pengetahuan yang disampaikan melalui perantara Nabi untuk orang selain Nabi. Sebagai contoh, melalui Nabi Isa dan disampaikan pada al-Hawāriyyūn dalam Q.S. al-Māidah [5]: 111. Kemudian dengan perantara para nabi dan disampaikan pada umat-umatnya dalam Q.S. Al-Anbiyā’ [21]: 73. Selanjutnya wahyu disampaikan melalui perantara Jibril kepada Musa, dan melalui perantara Jibril dan Musa kemudian disampaikan kepada Harun dalam Q.S. Yūnus [10]: 83.

Dalam suatu ayat, juga terkadang tidak disebutkan siapa yang akan mendapat wahyu, tetapi dapat diketahui dengan melihat konteks ayat Q.S. Fushilat [41]: 12. Dalam ayat tersebut tidak disebutkan secara eksplisit siapa yang diberikan wahyu, akan tetapi dari konteks ayat dapat diketahui bahwa sejatinya wahyu ditujukan kepada para malaikat karena merekalah para penghuni langit, dalam arti malaikatlah sebagai perantara wahyu untuk disampaikan kepada Nabi-Nya.

Demikian penjelasan semantik kata wahyu dalam Al-Qur’an menggunakan model analisis Toshihiko Izutsu dan bagaimana keragaman makna wahyu itu sendiri dalam Al-Qur’an. Semoga bermanfaat. Wallaahu A’lam Bisshawab.

Baca juga: Makna Wahyu dalam Penafsiran Muqatil bin Sulayman

Dede Eva Apipah Awaliah
Dede Eva Apipah Awaliah
Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...