Perbedaan sudut pandang dan pendekatan dalam dunia tafsir merupakan sesuatu yang biasa terjadi. Begitupun dengan tafsir dari kalangan Syiah, mereka mempunyai metode sendiri, yang berbeda dengan tafsir-tafsir pada umumnya. Khususnya dalam menafsirkan ayat-ayat “ulil amri”, dalam Alquran sendiri terdapat dua ayat yang mengandung kata “ulil amri” yakni dalam QS. An-Nisa’ ayat 59 dan ayat 83. Namun, sebelum masuk lebih dalam tentang penafsiran dari tafsir Syiah ini, alangkah baiknya jika kita mengetahui terlebih dahulu tentang sejarah singkat dan metode penafsiran yang digunakan oleh tafsir Syiah pada umumnya.
Sejarah Tafsir Syiah
Menurut Rosihon Anwar, kemunculan tafsir dalam tradisi Syiah berkaitan erat dengan lahirnya doktrin Imamah, yaitu keyakinan bahwa kepemimpinan umat Islam setelah Nabi wafat harus dipegang oleh para Imam dari Ahlulbait. Perkembangan ini juga terjadi seiring dengan kemunculan Syiah Zaidiyyah, serta semakin terlihat pada masa kemunculan Syiah Ismailiyah sekitar tahun 147 Hijriah. Beberapa pandangan menyebut bahwa tradisi tafsir Syiah mulai tumbuh sejak masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
Metode Penafsiran Tafsir Syi’ah
Mufassir dari kalangan Syiah memiliki pendekatan yang berbeda dalam menafsirkan Alquran. Mereka lebih menekankan pada makna batin dari ayat-ayat Alquran. Secara umum kaum Syiah menggunakan pendekatan penafsiran esoteric-sentris (metode takwil) dalam memahami Alquran. Dalam metode takwil, penafsiran lebih diarahkan untuk mencari makna yang lebih dalam, kadang bersifat simbolik atau kiasan, dan biasanya dipakai untuk memahami ayat-ayat yang mempunyai makna tersembunyi atau tidak langsung.
Baca Juga: Q.S. Alan’am Ayat 159: Faktor Perpecahan Internal Umat Islam dan Solusinya
Contoh Penafsiran dari Tafsir Syiah.
- An-Nisa’(4):59
يَٰۤاءَيُّهاَ الّذِينَ ءَامَنُوۤا اَطيعُواْ اللَّهُ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَاُوْلِي الْأَمْرِ مِنكٌمْ ۖ….
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan Taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil amri (pemegang kekuasaan)…
Dalam tafsir Al-Shafi, al-Kasyani mengutip dari kitab-kitab Syiah seperti Al-Kafi dan Tafsir Al-Ayyashi yang menjelaskan bahwa “ulil amri” dalam ayat tersebut adalah para imam dari keturunan Nabi Muhammad, yaitu Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husain, dan keturunan mereka yang dianggap ma’shum (suci). Dalam pandangan syiah, kepemimpinan umat Islam setelah Nabi bukan ditentukan lewat pemilihan politik, tetapi melalui garis keturunan Ahlul Bait. Imam Al-Baqir dan Imam Ash-Shadiq menegaskan bahwa yang dimaksud dalam ayat “Taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan Ulil amri diantara kalian” adalah para imam dari Ahlul Bait. Ketaan kepada mereka tidak hanya diwajibkan dalam konteks keagamaan, tetapi juga sebagai penerus dari kekuasaan setelah wafatnya Nabi Muhammad. (Muhsin al-Kasyani, Tafsir al-Shafi, Jilid 2, hal. 257-269)
Pandangan serupa juga disampaikan oleh al-Tabarsi dalam tafsirnya Majma’ al-Bayan. Ia menjelaskan bahwa “ulil amri” yang disebut dalam surah An-Nisa ayat 59 adalah para imam dari keluarga Nabi (ahlul bait). Ia mengutip Riwayat dari imam al-Baqir dan Imam Ja’far al-Shidiq yang menyatakan bahwa Allah mewajibkan ketaatan kepada mereka, sebagaimana kepada Allah dan Rasul-Nya. Menurut al-Tabarsi, ketaatan mutlak hanya bisa diberikan kepada orang yang ma’shum, yaitu yang dijaga dari kesalahan dan dosa. Karena itu, ia menolak pendapat yang menyamakan ulil amri dengan pemimpin politik atau ulama biasa yang bisa berbuat salah. Baginya, para imam Ahlul Bait adalah penerus Nabi. Mereka dianggap memiliki ilmu dan bimbingan langsung dari Allah, sehingga pantas dijadikan panutan utama dalam memimpin umat setelah nabi wafat. (Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Jilid 3, hal. 96)
Baca Juga: Kodifikasi Tafsir Jalalain; Kritik Terhadap Penulis Kasyf al-Zunnun
- An-Nisa’(4):83
وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُلِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ…
“(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka”
Dalam kitab nya Al-Mizan fi tafsir ‘l-Quran, Thabathaba’i menafsirkan ayat “ulil amri” dalam surah An-Nisa’ ayat 83 tidak jauh beda dengan pemaknaan “ulil amri” dalam surah An-Nisa’ ayat 59. Ia mengulas satu persatu penafsiran kata “ulul amri” yang ada dalam tafsir pada umumnya. Mulai dari para pemimpin pasukan, para Ulama, Khulafaur Rasyidin, Orang yang berpengaruh hingga para pemerintah di era modern. Menurutnya, kelompok-kelompok itu tidak memiliki wewenang atau keistimewaan untuk menganani persoalan yang mengguncang umat, dan tidak ada bukti kuat dari Alquran atau hadis shahih yang mendukung penafsiran-penafsiran tersebut. Di akhir penafsirannya Thabathaba’i menyimpulkan bahwa “ulil amri” yang dimaksud dalam ayat ini adalah para pemimpin yang maksum yaitu dua belas imam suci penerus Nabi Muhammad. (AL-MIZAN An Exegesis of the Holy Qur’an, Volume 9, hal. 30-32)
Dari ketiga penafsiran mufassir Syiah di atas, mereka sepakat bahwa makna ayat “ulil amri” dalam Alquran mengacu pada para imam dari keturunan nabi Muhammad (ahlul bait) yang suci (ma’shum), seperti Imam Ali, Hasan, Husain dan seterusnya. Para mufassir Syiah seperti Al-Kasyani, Al-Tabarsi, dan Thabathaba’I menekankan bahwa kepemimpinan umat setelah wafatnya Nabi bukan berdasarkan sistem politik atau pemilihan umum seperti yang di tafsirkan oleh para mufassir-mufassir umumnya.