Dalam surah Albaqarah ayat 13, terdapat fenomena yang tidak henti-hentinya terjadi dalam masyarakat. Penolakan terhadap kebenaran yang datang dari wahyu Ilahi, terutama oleh mereka yang merasa lebih unggul dalam hal intelektualitas. Di ayat ini, Allah menggambarkan sikap orang yang meremehkan orang beriman sebagai kebodohan, mereka merasa diri mereka lebih rasional dan cerdas. Mereka menganggap bahwa beriman adalah tindakan yang irasional dan hanya diterima oleh orang-orang yang tidak menggunakan akal sehat.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ ۗ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَٰكِنْ لَا يَعْلَمُونَ
Dan ketika dikatakan kepada mereka, ‘Berimanlah kamu sebagaimana orang lain telah beriman.’ Mereka menjawab, ‘Apakah kami akan beriman sebagaimana orang-orang yang bodoh itu beriman?’ Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak mengetahui. (Q.S Albaqarah [2]: 13)
Baca Juga: Perpecahan dan Kemunduran Bani Israil Bagian II: Kebodohan akan Kitab Suci Mereka Sendiri
Jadi, Albaqarah ayat 13 ini mengungkapkan sebuah fenomena yang masih terjadi hingga hari ini. Yaitu, penolakan terhadap kebenaran, khususnya kebenaran yang datang dari wahyu Ilahi. Dalam ayat ini, Allah menyebut orang-orang yang meremehkan keimanan kaum Muslimin sebagai “bodoh”, meskipun kenyataannya mereka merasa bahwa diri mereka lebih rasional dan lebih cerdas.
Mereka menganggap orang yang beriman itu sebagai orang yang “bodoh”. Padahal yang sebenarnya bodoh adalah mereka yang menolak kebenaran yang jelas di hadapan mereka. Penolakan terhadap ajaran agama sering kali datang dari sikap yang merasa diri lebih unggul secara intelektual. Apakah mereka beralasan bahwa iman adalah sesuatu yang irasional, sebuah konsep yang hanya diterima oleh orang-orang yang tidak menggunakan logika atau akal sehat.
Imam Al-Qurtubi dalam kitabnya Al-Jami’ li-Ahkam al-Qur’an (Jilid 1, 256) menjelaskan apa yang dimaksud dengan bodoh di situ. Kebodohan yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah kebodohan intelektual, melainkan kebodohan spiritual. Mereka yang menolak wahyu ilahi, meskipun memiliki pengetahuan duniawi, pada dasarnya menutup mata terhadap kebenaran yang lebih tinggi.
Dan sikap ini bisa dipahami jika dilihat dari perspektif Ibnu Taimiyyah, yang menyatakan bahwa kebodohan yang dimaksud di sini adalah ketidakmampuan untuk mengenali kebenaran yang datang dari Allah. Menurut Ibnu Taimiyyah , kebodohan adalah saat seseorang menolak jalan yang benar meskipun sudah ada bukti yang jelas. Sebuah akal yang jernih, katanya, seharusnya bisa membedakan antara yang hak dan yang batil.
Namun, sering kali akal yang dominan adalah akal yang egois, yang terjebak dalam kesombongan dan keduniawian. Lebih jauh lagi, Al-Ghazali yang merupakan seorang pemikir besar dalam dunia Islam, mengingatkan kita bahwa penolakan terhadap wahyu sering kali berasal dari dominasi nafsu dan ego. Dalam karyanya Ihya’ Ulum al-Din, beliau menegaskan bahwa kebodohan spiritual adalah keadaan di mana seseorang tidak mampu melihat kebenaran yang ada di luar dirinya.
Baca Juga: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 10-13
Seseorang yang hanya bergantung pada akal rasional semata, tanpa mempertimbangkan dimensi ruhani, wahyu dan spiritual dalam dirinya, akan terperangkap dalam kesesatan dan kebodohan. Ini bukan berarti bahwa akal tidak penting, tetapi akal harus dipadukan dengan kesadaran spiritual untuk mencapai pemahaman yang lebih komprehensif tentang kebenaran. Ditambah dalam persoalan agama, maka wahyulah yang menjadi acuan pertama.
Filsuf modern, Muhammad Iqbal, juga mencatat hal serupa dalam pemikirannya. Iqbal menekankan pentingnya kesadaran spiritual untuk melengkapi akal dalam memahami kebenaran. akal yang sempit dan materialistik cenderung mengabaikan dimensi spiritual dalam perjalanan hidup manusia. Dalam konteks ini, mereka yang menolak iman karena merasa bahwa itu tidak rasional sebenarnya sedang mengabaikan potensi besar dari dimensi ruhani yang ada dalam diri mereka.
Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ al-Fatawa (Jilid 8, 108) menyatakan:
إِنَّ ٱلْجَهْلَ فِى هَٰذِهِ ٱلْآيَةِ هُوَ جَهْلٌۭ فِى فَحْصِ ٱلْحَقِّ وَٱلْحَقِيقَةِ ٱلَّتِى تَأْتِى مِنْ عِندِ ٱللَّهِ وَهُوَ جَهْلٌۭ فِى الْقَلْبِ وَٱلرُّوحِ.
Bahwa kebodohan yang disebutkan dalam ayat ini adalah kebodohan spiritual. Seseorang yang menolak kebenaran wahyu Ilahi meskipun bukti sudah jelas adalah orang yang bodoh, karena ia tidak mampu membedakan yang haq (benar) dan yang batil (salah), meskipun akalnya sudah mampu mengerti kebenaran tersebut.
Jadi secara keseluruhan, Surah Albaqarah ayat 13 mengajak kita untuk merenungkan kembali sikap kita terhadap kebenaran. Kebodohan dalam ayat ini bukanlah ketidakmampuan untuk memahami informasi, melainkan ketidakmampuan untuk menerima kebenaran yang dalam dari sekadar logika duniawi.
Hemat penulis, menolak kebenaran itu bukanlah tindakan rasional, melainkan tindakan yang didorong oleh ego, nafsu, atau bahkan kesombongan intelektual. Pada akhirnya, kebodohan yang sejati adalah menolak kebenaran yang jelas di hadapan kita, meskipun akal dan hati kita tahu bahwa itu adalah jalan yang benar. Keimanan bukanlah hal yang irasional, tetapi justru merupakan bentuk kebijaksanaan yang sejati, yang menghubungkan akal dan hati dengan kebenaran yang lebih tinggi.
Baca Juga: Nilai Ihsan sebagai Rukun dan Pijakan Spiritualitas
Dan dari beberapa pandangan para ulama, seperti Imam Al-Qurtubi, Ibnu Taimiyyah, dan Al-Ghazali, kebodohan yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah kebodohan intelektual, melainkan kebodohan spiritual—yaitu ketidakmampuan untuk menerima kebenaran yang lebih tinggi yang datang dari wahyu Ilahi. Mereka yang menolak iman, meskipun memiliki pengetahuan duniawi, sebenarnya terperangkap dalam kebodohan karena tidak dapat membedakan antara yang haq dan yang batil, serta gagal menghubungkan akal dengan dimensi spiritual.