Keistimewaan Ka’bah dalam Al-Quran dan Pahala Memandangnya

Keistimewaan Ka'bah dalam Al-Quran
Keistimewaan Ka'bah dalam Al-Quran

Ka’bah merupakan kiblat ibadah umat Islam. Ia merupakan sebuah bangunan berbentuk kubus berkiswah hitam yang terdapat pada sebuah masjid bernama Masjidil Haram, dan sebuah kota mulia bernama Makkah. Bangunan bernama Ka’bah ini begitu istimewa, karena ia bisa menyedot umat hingga berpuluh-puluh juta setiap tahun dan arah salat umat Islam yang satu titik dari berbagai belahan dunia. Al-Quran ternyata mempunyai banyak penjelasan tentang keistimewaan Ka’bah, bahkan sekedar memandangnya pun menuai pahala.

Keistimewaan Ka’bah dalam Al-Quran

Dalam era modern sebenarnya telah ditemukan penjelasan secara saintifik dan ilmiah mengenai alasan mengapa Ka’bah dan tempatnya, Masjidil Haram, begitu istimewa hingga dikunjungi puluhan juta manusia setiap tahunnya. Namun, penemuan tersebut pada hakikatnya melengkapi penjelasan yang lebih dahulu disuratkan oleh Al-Quran sejak diturunkannya. Adapun Al-Quran sendiri yang merupakan kalam Allah memberikan sejumlah penjelasan akan keistimewaan Ka’bah.

Pertama, Ka’bah adalah tempat ibadah pertama yang dibangun sebagaimana surah Ali Imran 96:

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِى بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِّلْعَٰلَمِينَ

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.”

Dalam menafsirkan lafadz inna awwala baytin pada ayat ini, Al-Mahalli dan As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalyn menjelaskan bahwa Ka’bah merupakan tempat ibadah pertama kali yang dibangun di muka bumi. Al-Mahalli dan As-Suyuthi juga mengutip sebuah hadis sahih bahwa, Masjidil Haram yang didalamnya terdapat Ka’bah ini telah dibina oleh para malaikat sebelum Nabi Adam diciptakan, baru setelah itu dibangunlah Masjidil Aqsa dengan jarak 40 tahun.

Baca juga: Kisah Pasukan Bergajah dan Burung Ababil dalam Surah Al-Fîl

Keterangan tersebut menyiratkan informasi bahwa pembangunan Ka’bah memang dilakukan sebelum Nabi Ibrahim, bahkan sebelum Nabi Adam, sebagaimana yang diungkapkan oleh Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah. Baru kemudian, di zaman Nabi Ibrahim dan Nabi Islamil, fondasi dan kerangka Ka’bah tersebut ditegakkan sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 127.

Kedua, masih merujuk pada surah Ali Imran ayat 96 di atas, Ka’bah berada di kota Makkah yang diberkahi (bibakkata mubaarakan). Dalam lisan Arab, penyebutan Makkah disebutkan dengan memakai huruf ba’ sehingga diucapkan Bakkah. Makkah adalah kota yang sejak awal diberikan banyak rahmah dan berkah oleh Allah dan banyak disebut oleh Al-Quran sebagai al-baladil amin. Makkah adalah tanah kelahiran Rasulullah yang sangat ia cintai. Makkah pula merupakan kota yang turun temurun ditinggali para nabi, hingga Nabi Ibrahim pun mendoakan akan keberkahannya sebagaimana dalam surah Ibrahim ayat 37.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Shalat Menghadap Ka’bah Atau Menghadap Kiblat?

Ketiga, Ka’bah disucikan dan dimuliakan Allah. Penjelasan ini bisa ditemukan dalam surah Al-Maidah 97:

جَعَلَ ٱللَّهُ ٱلْكَعْبَةَ ٱلْبَيْتَ ٱلْحَرَامَ قِيَٰمًا لِّلنَّاسِ وَٱلشَّهْرَ ٱلْحَرَامَ وَٱلْهَدْىَ وَٱلْقَلَٰٓئِدَ ۚ

“Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, had-ya, qalaid”

Kemuliaan Ka’bah sebagaimana yang tercantum dalam ayat tersebut disyarah oleh Wahbah Zuhayli dalam Tafsir Al-Wajiz bahwa dengan menunaikan ibadah ke Ka’bah dengan ikhlas dapat menghapuskan dosa-dosa yang lalu akan terhapuskan. Begitu pula tentang hadyu dan qalaid yang difirmankan Allah dalam surah tersebut dimaknai Zuhayli sebagai bentuk pengorbanan dan persembahan yang paling mulia di sisi Allah.

Keempat, Ka’bah dijadikan Allah sebagai pusat baik untuk urusan ibadah maupun urusan duniawi. Sebagai pusat ibadah Ka’bah bisa kita saksikan bahwa ia adalah kiblat ibadah, salat maupun haji, bahkan dari zaman ke zaman. Mengenai hal tersebut, Syaikh An-Nawawi Banten dalam Tafsir Munir menyatakan bahwa seluruh nabi telah melakukan sujud kepada Allah SWT dengan menghadap ke arah Ka’bah sebagai kiblatnya. Fenomena haji dan Masjidil Haram yang tak pernah sepi peziarah juga merupakan bukti nyata bahwa Ka’bah merupakan pusat magnet baik urusan ibadah maupun duniawi sebagaimana yang dijelaskan ayat di atas.

Memandang Ka’bah berpahala

Selain ayat-ayat yang disebutkan di atas, ayat yang menjelaskan Ka’bah sebagai kiblat bisa kita lihat dalam surah Al-Baqarah ayat 144:

…فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَىٰهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.”

Sebagaimana dalam Tafsir Jalalayn Al-Mahalli dan As-Suyuthi menyampaikan bahwa maksud Masjidil Haram pada ayat tersebut pada hakikatnya Ka’bah, di mana ia dijadikan kiblat salat oleh umat Islam dari berbagai penjuru dunia. Meskipun demikian, memandang Ka’bah di luar salatpun tetap mendapatkan pahala sebagaimana hadis Nabi “Setiap sehari semalam Allah menurunkan seratus dua puluh rahmat atas Baitullah. Enam puluh rahmat untuk yang melakukan tawaf, empat puluh untuk yang melakukan salat, dan yang dua puluh untuk yang memandang Ka’bah.” (HR. Thabrani). Hadis di atas juga menjadi rujukan pendapat al-Mawardi dan Ar-Rauyani bahwa orang yang sedang melakukan salat di Masjidil Haram disunahkan memandang Ka’bah, bukan memandang tempat sujudnya.

Baca juga: Para Tabi’in Utama Jebolan Madrasah Tafsir Ubay Ibn Ka’ab di Kota Madinah

Begitu mulia dan istimewanya Ka’bah, sehingga ia dijadikan kiblat ibadah dari zaman ke zaman, pusat ritus spiritual umat Islam seluruh dunia seperti salat, haji, dan thawaf. Sekedar memandang Ka’bah dengan penuh penghayatanpun bernilai pahala. Dalam Islam bahkan terdapat larangan-larangan menghadap atau membelakangi arah Ka’bah ketika buang air, atau kesunnahan menghadap Ka’bah ketika melakukan ritus ibadah seperti membaca mushaf, yang ke semua itu dimaksudkan untuk memuliakan Ka’bah. Nampaknya Allah memang menghendaki Ka’bah sebagai pusat perhatian manusia yang harus selalu dimuliakan sebagai wasilah fokus menyembah Allah semata.

Wallahu a’lam.