BerandaTafsir TematikKeluarga Ideal Menurut al-Quran dan Perannya Demi Keutuhan Bangsa

Keluarga Ideal Menurut al-Quran dan Perannya Demi Keutuhan Bangsa

Keluarga merupakan unit terkecil dari sebuah bangsa yang tentunya berperan sangat penting. Jika dianalogikan bahwa sebuah bangsa atau negara adalah sebuah bangunan, maka keluarga adalah fondasi yang menopang bangunan tersebut. Sehingga keluarga ideal dan ketahanannya sangat penting guna menahan guncangan yang lebih besar.

Maka tepat jika sebuah keluarga ideal yang berkualitas disebut sebagai keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Kata sakinah secara etimologi berasal dari akar kata sa-ka-na yang bermakna tenang atau diamnya sesuatu setelah bergejolak. Hal itu dikarenakan pernikahan merupakan pertemuan antara pria dan wanita yang sebelumnya mengalami gejolak kemudian disatukan dalam sebuah janji suci.

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Pendidikan Pertama Berasal dari Pendidikan Keluarga

Oleh karenanya pernikahan menjadikan keduanya penuh ketenangan dan ketentraman. Ketenangan dan ketentraman itulah yang akan membawa pada pemenuhan kebutuhan yang lebih bersifat batiniah yakni cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) (Al-Razi, 1420H: 91).

Secara ontologis pernyataan dalam paragraf itu diperoleh dari penafsiran terhadap ayat Q.S al-Rum: 21. Dalam pandangan Al-Razi ketenangan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah ketenangan yang bersemayam dalam hati karena struktur kalimatnya menggunakan preposisi ila. Sehingga pernikahan memungkinkan terwujudnya ketenangan, kebahagiaan, dan kedamaian jiwa selama suami-istri saling menyayangi.

Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam membangun sebuah keluarga adalah melihat tujuan pernikahan. Setidaknya ada tiga yang perlu diperhatikan yaitu pertama, menjaga kehormatan; kedua, mendekatkan diri kepada Allah Swt.; dan ketiga, menghasilkan dan mencetak keturunan berkualitas yang nantinya akan bermanfaat bagi agama dan negara (Mudzhar, 2005: 9).

Oleh karena itu tidak heran jika Islam melalui syariatnya menetapkan sekian banyak petunjuk dan peraturan demi terpeliharanya kehidupan keluarga ideal dan mampu menjalankan fungsinya dengan baik sebagai pondasi bagi ketahanan suatu bangsa. Namun, sebelumnya perlu diperhatikan bahwa selain sebagai pondasi sebuah bangsa, keluarga juga merupakan sebuah bangunan independen.

Quraish Shihab menjelaskan bahwa demi terpeliharanya bangunan keluarga ideal ini dari hantaman badai dan guncangan gempa, maka ia harus didirikan di atas pondasi yang kuat dengan bahan bangunan yang kokoh serta jalinan perekat yang kuat. Pondasi kehidupan keluarga ideal adalah ajaran agama yang disertai dengan kesiapan fisik dan mental serta keuangan calon-calon ayah dan ibu (Shihab, 2015: 397).

Quraish Shihab juga menganjurkan bagi calon-calon ayah dan ibu yang masih belum siap secara fisik, mental serta keuangan, agar senantiasa lebih bersabar dan tetap memelihara kesucian dirinya agar tidak terjerumus dalam tindakan fakhsya’. Sebagaimana dalam firman Allah Swt. dalam Q.S al-Nur: 24:

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah memelihara kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.”

Maka, apabila seseorang telah memiliki kedewasaan fisik dan mental serta kemampuan maka menikah adalah salah satu sunnah yang sangat dianjurkan untuk segera ditunaikan. Sehingga demi kokohnya pondasi kehidupan keluarga, faktor yang paling urgen adalah faktor menentukan pilihan.

Baca Juga: Pernikahan; Tujuan dan Hukumnya, Tafsir Surat An-Nahl Ayat 72

Dalam literatur fikih klasik, pembahasan tentang menentukan pilihan terhadap pasangan dapat ditemukan dalam pasal kafa’ah—pasal yang membahas kesetaraan antara kondisi calon suami dan calon istri (Al-Jaziri, 2005: 50-55). Sebenarnya doktrin pemilihan pasangan ini tidaklah menentukan keabsahan dalam sebuah ritual pernikahan. Namun dalam kaitannya sebagai upaya protektif terhadap paham radikalisme yang berpotensi menghantui di masa yang akan datang, maka konsep kesepadanan ini lebih ditekankan kepada aspek relijiusitas. Dengan begitu, perencanaan dan pelaksanaan pendidikan anak (tarbiyatul awlad) dapat dioptimalkan di lingkup institusi keluarga (Zidni, 2018: 36).

Beberapa aspek pra-parenting itu memang sangat penting karena dalam al-Qur’an sendiri dijelaskan bahwa setelah menjadi orang tua ada tanggung jawab yang berat baginya dalam upaya menjaga keluarganya. Dalam Q.S al-Tahrim: 66, dikatakan:

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ ناراً

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.

Dalam tafsirnya al-Maraghi mengatakan bahwa dalam upaya menjaga keluarga dari ancaman api neraka maka perlu memberikan bimbingan, nasihat dan pendidikan kepada keluarga (Al-Maraghi, 1946: 161). Dalam kaitannya dengan isu radikalisme, maka dalam ini keluarga harus mampu memberikan edukasi kepada anaknya bahwa Islam adalah agama yang mengedepankan kerukunan dan perdamaian maka apabila mendapati doktrin yang mengarahkan pada tindakan yang berlawanan dengan nilai fundamental Islam (perdamaian) haruslah ditolak dan dijauhi.

Sebab jika orang tua membiarkan anaknya terjerumus pada pemahaman yang radikal, maka sama dengan membiarkan anaknya terjerumus dalam api neraka. Dengan memiliki pemahaman yang radikal maka semakin besar potensi anak terekrut dalam jaringan terorisme.

Baca Juga: Tinjauan Tafsir terhadap Jihad, Perang dan Teror dalam Al-Quran

Sedangkan dalam pandangan Islam yang hanif para pelaku terorisme—yang terkenal dengan suicide bomb-nya (bom bunuh diri) dan ideologinya yang tak segan mengucurkan darah orang yang tak bersalah serta membuat kekacauan dan kerusakan—adalah termasuk dalam golongan orang-orang yang akan menerima siksa api neraka (Mbai, 2014: 203-208).

Oleh sebab itu penting bagi elemen-elemen keluarga untuk memperteguh pemahamannya tentang Islam secara fundamental. Islam sebagai ajaran yang ramah bukan marah, yang merangkul bukan memukul, serta penengah bukan penambah masalah. Wallahu a’lam.

Alif Jabal Kurdi
Alif Jabal Kurdi
Alumni Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...