BerandaBeritaKenapa Salafi-Wahabi Menolak ‘Indonesia Raya’ Padahal Itu Sunnah Nabi?

Kenapa Salafi-Wahabi Menolak ‘Indonesia Raya’ Padahal Itu Sunnah Nabi?

Baru-baru ini sebuah video viral di kanal-kanal media sosial berasal dari penceramah Salafi-Wahabi, isinya adalah propaganda ajakan menolak menyanyikan lagu kebangsaan. Dalam video tersebut si penceramah juga memerintahkan untuk berbohong dengan cara memperagakan mulut komat-kamit membaca surah pendek pada saat ada yang menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Sebelum mengomentari lebih jauh video tersebut, sebaiknya kita menangkap terlebih dahulu dua pesan utama yang diisyaratkan oleh si penceramah Wahabi tersebut. Pertama, dari video tersebut diketahui bahwa pada dasarnya ideologi Salafi-Wahabi tidak punya wawasan kebangsaan maupun patriotisme terhadap Tanah Air. Bahkan secara tidak langsung mereka menolak mengakui eksisteni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Video tersebut membuka kamuflase yang mereka lakukan selama ini.

Kedua, dari video tersebut diketahui juga bahwa, sadar atau tidak sadar, mereka sudah membolehkan bahkan memerintahkan melakukan kebohongan untuk menutupi agenda-agenda mereka. Dalam hal ini membolehkan pura-pura menggerakkan mulut agar seolah-olah sedang ikut menyanyikan lagu Indonesia Raya, padahal tidak. Itu kenapa sering dikatakan bahwa radikalisme dan hoaks itu satu paket, karena radikalisme melegalkan kebohongan sebagai bagian dari strategi gerakan.

Apa yang disampaikan oleh si penceramah Wahabi tersebut sebenarnya menggambarkan ideologi yang mereka bawa, yaitu ideologi Salafi-Wahabi. Sebuah ideologi impor yang menolak melakukan akulturasi budaya. Karena karakteristik dasar ideologi tersebut memang anti terhadap budaya dan tradisi.

Sebenarnya pelarangan terhadap menyanyikan lagu kebangsaan, menghormat bendera dan ritual-ritual kebangsaan lainnya, bukan lah sebuah hal yang baru. Maha guru ideologi Salafi-Wahabi, Abdul Aziz bin Baz (lahir 1912) dalam sebuah fatwanya di Lajnah Daimah li al-Buhuts wa al-Ifta nomor 2123 menyampaikan bahwa menyanyikan lagu kebangsaan dan menghormat bendera merupakan perbuatan bid’ah yang munkar.

Pelarangan Salafi-Wahabi terhadap sikap-sikap kebangsaan tersebut didasari atas lima hal, pertama dianggap sebagai sebuah bid’ah karena tidak pernah ada di masa Nabi dan sahabat. Kedua, dianggap merusak kesempurnaan tauhid. Ketiga, dianggap bisa membawa pada kemusyrikan. Keempat, dianggap menyerupai orang kafir. Dan kelima, dianggap sebagai pengkultusan (Lihat: Kitab Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’, jilid 1 halaman 235).

Pemikiran semacam itu tentu saja merupakan pandangan yang menyimpang dan faktanya minoritas dalam Islam, yang lahir dari cara berfikir yang kaku dan sempit. Salafi-Wahabi sendiri merupakan sekte sempalan yang diciptakan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (w. 1792), yang kecil prosentasenya dalam Islam, dibanding mayoritasnya yang Ahlussunnah wal Jamaah. Salafi-Wahabi ini juga telah menjadi sumber keresahan umat Islam di dunia, sejak kemunculannya pada abad ke-18.

Bandingkan saja cara berfikir mereka di atas dengan tuntunan kebangsaan dari Alquran yang seabreg ayatnya memerintahkan untuk mencintai Tanah Air. Bandingkan juga dengan sunnah Nabi, yang selama hidupnya amat mencintai tanah kelahirannya dan ketika menjadi pemimpin di Madinah mengayomi siapa saja dan mendeklarasikan patriotisme bela negaranya melalui Piagam Madinah. Lihat lah bagaimana bahasa tubuh Nabi yang ‘di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung’.

Bandingkan juga dengan pandangan para ulama terdahulu semisal al-Ghazali, al-Dinawari dan al-Asmu’i, yang menuliskan bahwa “Jika kamu ingin mengenali siapa lelaki sejati, maka lihatlah bagaimana dia mencintai tanah airnya”. Al-Jahiz bahkan menulis kitab khusus berisi wawasan kebangsaan dengan judul Hubbul Watan dan Abi Hatim menulis kitab khusus tentang tema yang sama berjudul al-Shawq ila al-Awtan. Di dalam literatur ulama terdahulu kita juga bisa mengetahui adanya nyanyian penyemangat dalam tradisi ekspedisi Islam.

Begitu juga dengan ulama kontemporer semisal yang sekaliber Syeikh Wahbah al-Zuhaily, yang menyatakan bahwa tidak ada dalil yang menunjukkan larangan menyanyikan lagu kebangsaan, baik itu dari Alquran maupun hadis. Maka pada dasarnya menyanyikan lagu kebangsaan adalah mubah (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut: Darul Fikr, 1985 M/1305 H juz III, halaman 576).

Hukum mubah tersebut bisa menjadi sunnah bahkan wajib tatkala diwajibkan oleh negara, sebagai bagian dari kewajiban taat terhadap Ulil Amri dan kepatuhan terhadap janji konstitusi yang telah disepakati oleh segenap elemen bangsa. Semisal pada saat pengibaran dan penurunan bendera pada saat upacara (UU nomor 24 tahun 2009).

Nah, menyanyikan lagu kebangsaan ini jangan dikontradiksikan dengan membaca surah Alquran atau pun berzikir, karena itu tidak apple to apple. Semua harus ditempatkan pada posisinya masing-masing, itu lah keadilan dalam definisi yang disampaikan para ulama. Pepatah Arab mengatakan li kulli maqamin maqal wa li kullli hadatisn hadits.

Kenapa mesti melarang lagu kebangsaan, padahal elemen utama pendirian bangsa ini adalah para ulama dan santri, yang ‘jangan pernah meragukan keislaman mereka’. Indonesia merdeka karena pengorbanan darah dan nyawa mereka. Resolusi Jihad dikeluarkan oleh Hadlratussyaikh Hasyim As’ari. Lagu kebangsaan diciptakan di antaranya oleh Husein Muthohar, seorang Habib dan cucu Rasulullah yang menciptakan lagu Hymne Syukur, Hari Merdeka, dan Dirgahayu Indonesiaku. Beliau juga yang menyelamatkan bendera merah putih pada saat agresi Belanda ke-2 di Yogyakarta.

Bendera bukan hanya selembar kain merah dan putih tapi itu adalah harga diri sebuah bangsa. Indonesia Raya bukan sekedar lagu dan kata, tapi itu adalah kidung luapan kecintaan terhadap tanah air dan bentuk bela negara. Ahmad Mansur Suryanegara menuliskan dalam buku Api Sejarah, bahwa Sang Saka Merah Putih adalah bendera yang sudah diisyartakan oleh Rasulullah 14 abad yang lalu.

Karena itu untuk Anda yang masih anti terhadap nilai-nilai kebangsaan, resapilah kebijaksanaan ulama dan belajarlah pada sejarah. Lihat lah di negara tempat ideologi kalian berasal, Arab Saudi (Najed), nasionalisme justru sedang digalakkan. Dapat dilihat di Arab Saudi spanduk-spanduk besar dibentangkan, dengan kalimat “watanun la nahmihi la nastahiqu al-‘aysha fihi” sebuah negara di mana kita tidak ikut menjaganya, maka kita tidak berhak mendiaminya.

Pertanyaannya untuk kita semua adalah, apakah ketika Salafi-Wahabi sudah ‘dibuang’ dari negara asalnya, akan kah justru dibiarkan tumbuh di Tanah Air kita? Sehingga terus meracuni pemikiran masyarakat bahkan TNI-Polri sebagai benteng negara. Apakah fenomena ini yang disebut oleh Buya Syafii Maarif bahwa ‘rongsokan peradaban Arab sedang jatuh dan dibeli Indonesia?’ Wallahu A’lam.

M. Najih Arromadloni
M. Najih Arromadloni
Pengurus MUI Pusat, Adviser CRIS Foundation dan Pengajar di Pondok Pesantren Yanbu’ul Ulum, Lumpur Losari Brebes
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...