Iduladha merupakan hari yang istimewa dan bersejarah bagi kaum muslim. Ia menjadi simbol kemenangan umat Islam, terutama bagi para jemaah haji yang sedang melaksanakan ibadah haji di tanah suci. Selain itu, Iduladha juga mengandung simbol ketakwaan dan ketulusan dalam ritual kurban yang dilakukan pada momen tersebut.
Pada hari itu, umat muslim di seluruh dunia diperintahkan untuk melaksanakan salah satu perintah agama yaitu berkurban bagi yang mampu. Syariat kurban disebutkan dalam Alquran diantaranya Q.S. Alhajj ayat 36-37. Allah Swt. berfirman:
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
“Dan unta-unta itu Kami jadikan untukmu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan padanya. Maka, sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya) dalam keadaan berdiri (dan kaki-kaki telah terikat). Kemudian apabila telah rebah (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami tundukkan (unta-unta itu) untukmu, agar kamu bersyukur.”
“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Kurban pada syariat umat terdahulu
Dalam sejarah peradaban manusia, kurban ternyata tidak hanya ditemukan dalam syariat Islam. Akan tetapi, ia juga menjadi ajaran yang harus dilakukan dalam berbagai agama dan keyakinan. Kita saksikan misalnya banyak agama-agama lain yang mempersembahkan sesajen dengan segala isiannya dipersembahkan untuk tuhan-tuhan mereka.
Prof. Nadirsyah Hosen yang akrab disapa Gus Nadir mengatakan bahwa konon penganut ajaran Animisme meyakini bahwa persembahan darah merupakan asupan penguasa langit. Apabila penguasa langit lemah karena tidak diberi persembahan darah maka manusia akan sulit menguasai dan mendominasi bumi. Oleh karena itu, diadakanlah pengorbanan untuk dipersembahkan kepada penguasa langit dengan harapan mereka akan diberi kekuatan untuk memenagi peperangan dan semisalnya.
Baca juga: Nabi Ishaq atau Nabi Ismail yang Dikurbankan? dari Kemuliaan Nasab hingga Toleransi
Bentuk pengorbananya pun bermacam-macam. Ada yang hanya mengorbankan hewan ternak, ada pula yang bahkan sampai tingkat paling ekstrem yakni mengorbankan manusia. [Ngaji Fikih, hal. 52-53].
Masyarakat Arab Jahiliyah juga mengenal syariat kurban. Mereka menyembelih binatang ternak yang kemudian darah dan dagingnya dipersembahkan pada berhala-berhala mereka. Berhala-berhala tersebut kemudian mereka lumuri dengan darah dan daging hewan yang dikurbankan. Sebagian sahabat Nabi yang melihat tradisi tersebut kemudian tergerak hati untuk melakukan hal yang sama. Kemudian turunlah Surat Alhajj ayat ke 37 di atas.
Sabab nuzul
Imam Mujahid menjelaskan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan para Sahabat yang berniat melakukan tindakan seperti yang dilakukan orang-orang musyrik. Mereka ingin melakukan hal yang sama untuk menyajikan daging kurban di sekeliling kabah dan melumuri dinding Kabah dengan darah hewan kurban tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada Baitullah. Lalu, turunlah ayat ini untuk menegaskan bahwa yang dinilai dari ibadah kurban ialah ketakwaan dan ketulusan, bukan daging dan darahnya sebagaimana pemahaman kaum musyrik. [Ruh al-Ma’ani, juz 9, hal. 151].
Tafsir ayat
Ayat di atas menjelaskan inti dari amal ibadah adalah keikhlasan. Rida Allah Swt. tidak akan digapai hanya dengan bekal daging dan darah kurban, melainkan dengan amal saleh dan disertai niat yang ikhlas karena Allah semata. [Tafsir al-Maraghi, juz 17, hal. 115].
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah Swt. mensyariatkan kurban agar ketika proses penyembelihan, manusia mengingat Allah Swt. sebagai satu-satunya pencipta dan pembri rezeki. Allah Swt. sama sekali tidak butuh kepada pengorbanan manusia, sebab Dia adalah Dzat Yang Maha Kaya dan tidak butuh kepada makhluk. [Tafsir Ibnu Katsir, juz 5 hal. 431].
Tujuan pensyariatan kurban sejatinya adalah melatih jiwa manusia untuk ikhlas dan tunduk pada perintah Allah Swt. Kita dituntut untuk mengambil ibrah dari asal-usul syariat kurban, yaitu kisah Nabi Ibrahim as. yang diperintahkan untuk menyembelih putranya sendiri. Dengan lapang dada dan penuh ketulusan, beliau bahkan mau mengorbankan putranya sendiri demi menjalankan perintah Allah Swt.
Baca juga: Fungsi Transformatif Islam dalam Ritual Kurban
Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa tujuan utama dari penyembelihan binatang kurban bukanlah darah dan dagingnya. Akan tetapi, ia merupakan simbol dari kecenderungan hati kepada dunia yang harus dipangkas demi mencapai rida Allah. Hal ini akan digapai dengan niat yang tulus dan ikhlas. [Ihya ‘Ulumiddin, juz 4, hal. 368].
Lebih jauh lagi, dengan pendekatan sufistik, syekh Ibnu Ajibah menjelaskan bahwa ayat di atas memberi isyarat bahwa pada hakikatnya amal saleh saja belum tentu sampai kepada Allah Swt. Yang akan diterima adalah hati merana karena cinta dan disembelih dengan pedang kerinduan untuk kemudian dipersembahkan dalam mihrab cinta. [al-Bahr al-Madid, juz 3, hal 535].
Dari penjelasan para mufasir tersebut, dapat disimpulkan bahwa esensi pensyariatan kurban adalah niat yang didasarkan pada ketakwaan dan ketulusan untuk berkurban. Dengan demikian, ritual kurban dalam Islam meluruskan tradisi kurban umat terdahulu yang dihiasi oleh kesyirikan, dan mengarahkan kurban versi Islam sebagai simbol ketakwaan dan ketulusan dalam beribadah. Sementara daging kurban tidak dipersembahkan kepada Tuhan, melainkan dibagikan kepada sesama manusia. Wallahu a’lam[]