Di antara peristiwa yang terjadi di bulan haram (mulia) dan disinggung oleh Alquran adalah pengkhianatan Bani Quraizhah terhadap Rasulullah saw. dan umat Islam. Hal ini pula yang menjadi salah satu pertimbangan dibolehkan untuk berperang di bulan haram jika memang sangat diperlukan, misal kondisi melawan dan mempertahankan keamanan wilayah dari serangan musuh.
Saat perang Khandaq (Ahzab) terjadi, orang-orang Yahudi Bani Quraizhah memiliki perjanjian dengan Rasulullah untuk membela dan mempertahankan kota Madinah dari serangan kaum kafir. Namun, karena pemimpin mereka, Ka’ab bin Asad al-Quraizhi berhasil diprovokasi oleh tokoh Yahudi Bani Nadhir, Huyai bin Akhtab, akhirnya mereka melanggar perjanjian dan bersekutu dengan pasukan Ahzab menyerang orang-orang Islam.
Baca Juga: Konteks Penyebutan asy-Syahr al-Harām atau al-Asyhur al-Hurm dalam Alquran
Kronologi Pengkhianatan Bani Quraizhah
Mendengar kabar pengkhianatan ini, kemudian Rasulullah saw. mengirim utusan untuk memeriksa kebenarannya. Sebab pelanggaran dari Bani Quraizhah ini lebih membahayakan bagi orang-orang Islam daripada serangan musuh dari luar. Sayyid Quthb dalam tafsirnya (9/247) menjelaskan bahwa tindakan Rasulullah saw. pada saat itu adalah mengutus Sa’ad bin Muadz, pemimpin suku Aus yang dekat dengan Bani Quraizhah untuk menyelediki hal tersebut. Uniknya, beliau memerintahkan penugasan itu dengan bahasa isyarat. Hal itu menggambarkan kekhawatiran Rasul akan pengaruh berita itu pada pasukan muslimin.
Benar saja, Sa’ad mengkonfirmasi bahwa yang dilakukan oleh kelompok Yahudi lebih buruk dari kabar yang diterima, mereka bahkan menghina Rasulullah, “Siapa Muhammad itu? Tidak pernah ada perjanjian damai antara kami dengannya.” Bukti ini kemudian Sa’ad bawa kembali dan dia sampaikan kepada Nabi. Mendengar berita ini, Nabi bersabda, “Allah Mahabesar, bergembiralah wahai kaum muslimin dengan kemenangan dari Allah dan bantuan-Nya.” Pernyataan Nabi tersebut untuk menguatkan kaum muslimin agar tidak takut dalam menghadapi musuh.
Meskipun dalam perang Ahzab, pasukan umat Islam sempat kacau karena serangan dari atas dan bawah oleh pihak lawan sebagaimana digambarkan dalam surah Al-Ahzab ayat 10, pada akhirnya Allah memberikan kemenangan bagi pasukan Islam dan memaksa musuh kembali dengan kekecewaan, kegagalan, dan kerugian yang sangat besar. Rasulullah saw. dan kaum muslimin pun kembali pulang ke Madinah. (at-Tafsir al-Munir 11/300)
Baca Juga: Mengapa Empat Bulan Ini Disebut Bulan Haram? Simak Penjelasannya
Rasulullah dan Pasukan Muslim Mendeklarasikan Perang
Sesaat setelah itu, Rasulullah menerima wahyu untuk mengepung Bani Quraizhah dan bergegas untuk melaksanakannya dengan menginstruksikan para sahabat agar segera bergerak menuju Bani Quraizhah. Bahkan supaya cepat sampai tujuan, Rasul bersabda, “Janganlah ada satupun yang salat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” (HR. Bukhari, Fath al-Baari, 15/293)
Waktu Ashar datang saat pasukan muslimin masih di perjalanan. Sebagian dari mereka salat di jalan, dan mengatakan, “Maksud Rasulullah agar kita bersegera dan bergerak dengan cepat.” Sementara yang lain berkata “Kami tidak akan salat Ashar kecuali ketika kita telah mencapai Bani Quraizhah.”
Rasulullah menyusul pasukan setelah menunjuk Ibnu Umm Maktum untuk bertanggung jawab atas Madinah selama kepergian beliau. Sementara panji perang beliau serahkan kepada Ali bin Abi Thalib. Pasukan muslimin membuat markas dan memblokade Bani Quraizhah selama 25 hari. Peristiwa ini direkam oleh Alquran dalam surah al-Ahzab ayat 26-27.
Lamanya pengepungan tersebut membuat Bani Quraizhah tidak tahan dan takut. Mereka pun akhirnya sepakat untuk bertahkim kepada Sa’ad bin Mu’adz. Mereka mengira Sa’ad akan berbuat sebagaimana Abdullah bin Salul kepada sekutunya, Bani Qainuqa’ sehingga melepaskan mereka dari hukuman Rasul. (Tafsir Ibnu Katsir 21/471-472)
Ketika itu Rasulullah meminta Sa’ad agar memutuskan perkara Bani Quraizhah, dia segera datang dengan mengendarai keledai. Setiba Sa’ad di dekat masjid, Rasulullah berseru kepada kaum Anshar, “Berdiri dan sambutlah pemimpin terbaik kalian.” Lalu sahabat pun berdiri untuknya dan menyambutnya sebagai bentuk penghormatan di wilayah otoritasnya.
Kemudian Rasulullah berkata kepadanya, “Mereka (Bani Quraizhah) akan tunduk pada keputusan hukum darimu.” Sa’ad berkata, “Setiap orang dari mereka yang ikut perang Khandaq harus dibunuh dan keturunan mereka dijadikan tawanan.” Mendengar keputusan tersebut, Rasulullah menyahut, “Engkau telah memutuskan perkara mereka sesuai hukum Allah.” (Tafsir Fi Zhilalil Quran 9/248-249)
Al-Mubarakfuri dalam Sirah Nabawiyah h. 201-205 menerangkan keputusan Sa’ad adalah keputusan yang tepat sebab selain telah melakukan pelanggaran, Bani Quraizhah telah menyiapkan 1500 pedang, 2000 tombak, 300 baju besi, dan 500 perisai untuk menghancurkan kaum muslimin.
Bani Quraizhah mengalami kekalahan yang sangat pahit dan begitu tragis setelah mereka berkhianat dan bersekutu kepada pasukan al-Ahzab. Bani Quraizhah dibuat terpaksa turun dari benteng dan kastil mereka. Ketakutan dan kekalutan yang luar biasa menyelimuti barisan mereka. Nasib mereka berakhir dengan begitu tragis, yaitu kaum laki-laki mereka dieksekusi mati, kaum perempuan dan anak-anak dijadikan tawanan, rumah, perkebunan, dan harta kekayaan mereka diwariskan kepada kaum Muslimin.
Baca Juga: Islam Melarang Berperang di Bulan Haram
Ibrah dari Kisah Perang Bani Quraizhah
Dari peristiwa Bani Quraizhah terdapat hikmah diperbolehkannya perang di bulan Haram. Pada surah al-Baqarah ayat 217 memang menegaskan bahwa Allah melarang umat Islam untuk berperang di bulan-‘bulan haram’. Namun, sebagaimana penjelasan al-Buthi larangan itu tidak berlaku secara umum. Sebab, perang pada ‘bulan haram’ diperbolehkan memerangi pihak yang melanggar perjanjian. Seperti kaum muslimin diperbolehkan memerangi Bani Quraizhah pada bulan Zulkaidah.
Mengenai pesan Rasulullah agar salat Ashar di daerah Bani Quraizhah, mengutip Wahbah al-Zuhaili menerangkan waktu itu Rasulullah tidak menyalahkan salah satu dari kedua kelompok sahabat yang memahami sabda Rasul. Hal ini mengandung sebuah pengetahuan, yaitu diperbolehkan untuk berijtihad dalam persoalan (furu’iyah) dan keniscayaan perbedaan pendapat di dalamnya. Ini juga mengajarkan kepada setiap Muslim bahwa boleh memilih hasil ijtihad yang sesuai dengan tuntutan zaman dan kemaslahatan mereka masing-masing. Inilah salah satu wujud rahmat Allah bagi hamba-hamba-Nya di setiap tempat dan zaman.
Ibrah yang terakhir, tentang perintah Rasul kepada para sahabat untuk berdiri memyambut Sa’ad bin Muadz, Imam Nawawi dalam syarahnya Kitab Shahih Muslim menerangkan bahwa ini menunjukkan anjuran untuk menghormati orang-orang yang memiliki kemuliaan, dan penyambutan mereka dengan berdiri kepadanya ketika berhadapan. Hal ini pula yang dijadikan dalil oleh para ulama perihal kesunnahan berdiri (untuk orang mulia). Wallah a’lam