Kitab tafsir yang berjudul Asas al-Ta’wil merupakan karya dari seorang ulama Syi’ah Ismailiyah yang bernama al-Qadi Abu Hanifah al-Nu’man ibn Muhammad ibn Mansur ibn Ahmad ibn Hayyun al-Tamimi al-Maghribi. Secara historis, penafsiran Al-Qur’an yang bercorak syi’i sudah muncul pada abad ke-3 Islam.
Abdullah Saeed dalam Pengantar Studi al-Qur’an menjelaskan bahwa basis utama dari penafsiran golongan syiah adalah akal dan keyakinan teologis mereka. Salah satu dari keyakinan teologis kelompok syi’ah adalah berkenaan dengan kepercayaan mereka terhadap para imam yang berasal dari keturunan Nabi Muhammad (ahl al-bait) sebagai representasi dari pemegang otoritas keagamaan.
Secara struktural, kelompok syi’ah mempercayai bahwa pemegang otoritas keagamaan pasca wafatnya Nabi adalah Ali ibn Abi Talib sebagai Imam pertama. Kemudian dilanjutkan oleh Imam Hasan, Imam Husain, Imam Ali Zain al-Abidin, Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ja’far al-Sadiq, Imam Musa al-Kazim, Imam Ali al-Rida, Imam Muhammad al-Taqi, Imam Ali al-Hadi, Imam Hasan al-Askari, dan ditutup oleh Imam Muhammad al-Mahdi sebagai imam syiah yang kedua belas.
Dalam hal ini, al-Nu’man ibn Hayyun merupakan penganut Syiah Ismailiyah karena mempercayai Isma’il ibn Ja’far al-Shadiq sebagai penerus Imam Ja’far al-Sadiq dan imam syiah yang ketujuh. Penganut Syi’ah Ismailiyah ini mengakui adanya makna eksoterik (zahir) dan makna esoteris (batin) dalam sebuah ayat. Namun, mereka lebih cenderung menggunakan pemahaman esoteris dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an.
Baca Juga: Mengenal Nu’man ibn Hayyun, Hakim Agung Daulah Fatimiyah Pengarang Asas al-Ta’wil
Abdullah Saeed menyebut bahwa salah satu karekteristik penafsiran kelompok Syi’ah Ismailiyah adalah banyaknya pengaruh ajaran teologis mereka dalam proses penafsiran Al-Qur’an. Bahkan, Muhammad ibn Rizq Tarhuni dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun fi Gharb Afriqiya menyampaikan bahwa kelompok Syiah Ismaiiliyah ini ketika mereka berinteraksi dengan Al-Qur’an, mereka menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan hawa nafsu mereka (yata’awwaluna hasaba ahwaihim).
Dalam tradisi interpretasi Al-Qur’an Syiah Ismailiyah, istilah ta’wil lebih populer dan banyak digunakan ketimbang istilah tafsir. Namun, sedikit berbeda dengan pemahaman umum tentang ta’wil. Istilah ta’wil menurut golongan Syiah Ismailiyah hanya terbatas pada pandangan kelompok mereka sendiri, sebagaimana disampaikan Arif Tamir selaku muh{aqqiq kitab tafsir Asas al-Ta’wil berikut:
التَّأْوِيْلُ هُوَ بَاطِنُ الْمَعْنَى أَوْ رَمْزُهُ أَوْ جَوْهَرُهُ، وَهُوَ حَقِيْقَةٌ مُسْتَتِرَّةٌ وَرَاءِ لَفْظَةٍ لَا تَدُلُّ عَلَيْهَا، وَمَا سُمِّيَ التَّأْوِيْلُ عِنْدَ الْإِسْمَاعِلِيَّةِ مَقْصُوْرٌ عَلَى أَئِمَّتِهِمْ دُوْنَ غَيْرِهِم
“Ta’wil merupakan hakikat terdalam, isyarat, ataupun esensi dari suatu makna. Hal tersebut merupakan sebuah hakikat yang tersembunyi di belakang sebuah teks yang tidak dapat diketahui secara literal. Adapun yang dinamakan ta’wi>l dalam konsep Syiah Ismaiiliyah hanya terbatas menurut pandangan para imam mereka dan mengabaikan pendapat selain kelompok mereka”
Arif Tamir juga menyebutkan bahwa kegiatan pentakwilan ayat Al-Qur’an tersebut sudah menjadi sebuah kekhususan yang diberikan kepada para Imam Syiah Ismailiyah, sebagaimana dalam kutipan berikut:
“Sesungguhnya ta’wil merupakan bagian dari ilmu-ilmu yang dikhususkan bagi para imam penganut Syi’ah Ismailiyah dan mereka itu disebut sebagai aliran Batiniyah. Mereka menjadikan Nabi Muhammad sebagai pemegang wahyu Al-Qur’an (sahib al-tanzil) sebagaimana pendapat kami. Dan mereka menjadikan Ali sebagai pemegang otoritas ta’wil (sahib al-ta’wil), yakni sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad beserta lafaz dan makna dzahirnya bagi umumnya manusia. Adapun rahasia-rahasia Al-Qur’an yang bersifat al-ta’wiliyah al-batiniyah, hal tersebut hanya dikhususkan bagi Ali dan para imam setelahnya”
Baca Juga: Sayyid Muhammad Husain Al-Thabathaba’i: Arsitek Tafsir Al-Mizan
Karakteristik kitab Asas Al-Ta’wil
Kitab tafsir karya Nu’man ibn Hayyun ini tidak menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara keseluruhan. Namun, hanya mengkaji beberapa ayat yang memiliki kesesuaian dengan pandangan mazhab yang diikuti Nu’man ibn Hayyun. Husain al-Dzahabi dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun menjelaskan bahwa salah satu karakteristik dari ajaran Syiah Ismailiyah yaitu menggunakan pemahaman teologi al-Sab’iyah.
Teologi al-Sab’iyah adalah sebuah pandangan yang beranggapan bahwa para juru dakwah atau Nabi (al-nutaqa’) dalam mendakwahkan ajaran Allah didasarkan pada tujuh syari’at, yaitu syari’at Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad, dan Muhammad al-Mahdi al-Muntazhar. Dalam setiap pergantian antara satu nathiq dengan nathiq lainya terdapat tujuh imam yang bertugas sebagai penyempurna syari’at, sebelum munculnya pengganti nathiq sebelumnya.
Oleh karena itu, dalam proses penyusunanya, kitab tafsir Asas al-Ta’wil yang memiliki tebal 416 halaman tersebut disusun tidak berdasarkan tartib mushafi maupun tartib nuzuli. Namun lebih menggunakan tartib al-sab’iyah yang diimplementasikan dalam enam fase pembahasan.
Fase pertama (halaman 33-75), penjelasan mengenai kisah nathiq yang pertama yaitu Nabi Adam dan sedikit penjelasan mengenai kisah Nabi Idris. Fase kedua (halaman 76-106), penjelasan mengenai kisah Nabi Nuh sebagai nathiq kedua beserta sedikit pembahasan kisah Nabi Hud dan Nabi Shalih. Fase ketiga (halaman 107-178), pembahasan tentang kisah Nabi Ibrahim sebagai nathiq ketiga beserta pembahasan kisah Nabi Ismail, Nabi Ishaq, Nabi Ya’qub, Nabi Yusuf dan Nabi Ayyub.
Fase keempat (halaman 179-298), pengkajian terhadap kisah Nabi Musa sebagai nathiq keempat beserta sedikit pengkajian kisah Nabi Harun, Thalut, Nabi Dawud, Nabi Sulaiman, Nabi Yunus, Imran, Nabi Zakariya, dan Nabi Yahya. Fase kelima (299-314), pembahasan mengenai kisah Nabi Isa sebagai nathiq kelima. Fase keenam (315-368), penjelasan kisah dari Nabi Muhammad sebagai nathiq yang keenam. Sebetulnya kurang satu fase pembahasan, yaitu fase Muhammad al-Mahdi al-Muntazhar. Menurut Arif Tamir, kealpaan pembahasan fase terakhir tersebut dikarenakan belum datangnya Imam al-Mahdi ke dunia sehingga sulit untuk menjelaskanya.
Baca Juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 43-44: Kuasa Allah Swt dan Bahtera Nabi Nuh As
Dalam memberikan contoh interpretasi atau penakwilan, Nu’man ibn Hayyun, penulis mengambil salah satu kajian pembahasannya dalam menjelaskan QS. Hud [11] ayat 38:
وَيَصْنَعُ الْفُلْكَۗ وَكُلَّمَا مَرَّ عَلَيْهِ مَلَاٌ مِّنْ قَوْمِهٖ سَخِرُوْا مِنْهُ ۗقَالَ اِنْ تَسْخَرُوْا مِنَّا فَاِنَّا نَسْخَرُ مِنْكُمْ كَمَا تَسْخَرُوْنَۗ – ٣٨
“Dan mulailah dia (Nuh) membuat kapal. Setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewatinya, mereka mengejeknya. Dia (Nuh) berkata, “Jika kamu mengejek kami, maka kami (pun) akan mengejekmu sebagaimana kamu mengejek (kami)”
Dalam menjelaskan ayat tersebut, Nu’man ibn Hayyun menguraikan berbagai komponen dari kapal. Menurutnya komponen dasar pembentuk kapal ada empat, yaitu: kayu dan besi sebagai bahan pokok, keduanya ini menjadi perumpamaan utama sebagaimana akal dan jiwa sebagai komponen ketiga dan keempat. Dua komponen terakhir ini juga bisa diumpamakan sebagai al-qalam wa al-lauh, serta al-sabiq wa al-taliy. Dalam konsep Syiah Ismailiyah, dua komponen terakhir tersebut disebut sebagai al-natiq wa al-imam.
Kapal juga dapat melaju di atas permukaan air dan berlabuh dengan adanya tujuh komponen yakni: dua orang yang menjadi kendali, tiang-tiang penopang yang berada di tengah kapal, balok di ujung kapal, layar kapal yang ketika tertiup angin, tali dengan sebutan “haujal” yang menjadi pegangan ketika berlabuh dan terakhir tali kapal. Setelah menjelaskan hal tersebut, Nu’man ibn Hayyun kemudian mengumpamakan tujuh komponen tersebut sebagai tujuh nathiq dan tujuh imam sebagaimana dalam kutipan berikut:
وَهَذِهِ السَّبْعَةُ هِيَ أَمْثَالُ السَّبْعَةِ النُّطَقَاءِ، وَالسَّبْعَةِ الْأَئِمَّةِ بَيْنَ كُلِّ نَاطِقٍ وَنَاطِقٍ، وَكَذَلِكَ لَهَا اِثْنَى عَشَرَ لَوْحًا مِنَ الْخَشَبِ وَهُمْ مَثَلُ اللَّوَاحِقِ الْإِثْنَى عَشَرَ
“Ketujuh komponen ini sama seperti jumlah nathiq dan tujuh imam yang menjadi pemisah antara satu nathiq dengan nathiq yang lainya. Begitu juga kapal memiliki dua belas komponen yang terbuat dari kayu yang menjadi ilustrasi dari dua belas lahiq”
Mohammad Husen dalam Theologi Kebatinan Nu’man ibn Hayyun Dalam Penafsiran Safinah dan Fulk Pada Kitab Asas Al-Ta’wil (Analisis Hermeneutika Hans Georg Gadamer) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan lahiq dalam konsep Syiah Ismailiyah adalah orang yang berfungsi sebagai pendakwah yang bertanggung jawab atas urusan semua Jazirah.
Tidak hanya itu, dalam banyak tempat, Nu’man ibn Hayyun senantiasa memasukkan infiltrasi konsep imamah dalam menjelaskan suatu ayat Al-Qur’an. Misalnya dalam menginterpretasikan QS. al-Waqi’ah [56] ayat 79. Ia menakwilkan bahwa yang dimaksud dalam term al-muthahharun adalah orang-orang yang suci berupa para Imam Syiah yang merupakan keturunan dari Nabi Muhammad. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Nu’man ibn Hayyun sangat dipengaruhi oleh konsep teologis dalam memahami sebuah ayat Al-Qur’an. Wallahu A’lam