BerandaKhazanah Al-QuranKompleksitas Bahasa Arab Sebagai Bahasa Al-Quran

Kompleksitas Bahasa Arab Sebagai Bahasa Al-Quran

Berbicara perihal Kompleksitas Bahasa Arab Sebagai Bahasa Al-Qur’an mengingatkan pada sebuah maqalah fenomenal Amin al-Khulli yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah Kitab Berbahasa/ Sastra Arab terbesar. Sebab sudah bukan rahasia lagi bahwa al-Qur’an memuat kompleksitas bahasa audiens awalnya.

Penguasaan atas kompleksitas bahasa Arab menjadi kunci awal sebelum masuk pada samudera al-Qur’an yang tidak bertepi. Maka sudah menjadi kewajiban bagi seseorang yang ingin mempelajari al-Qur’an secara mendalam untuk menguasai bahasa Arab sebelum melanjutkan pada perangkat ilmu-ilmu lainnya yang dibutuhkan.

Ulama yang menyadari akan tingkat kesulitan menguasai bahasa Arab bagi umat Islam yang berasal bukan dari bangsa Arab, melakukan berbagai terobosan untuk memudahkan. Salah satunya ialah menyederhanakan kompleksitas bahasa Arab dengan menyusun kaidah-kaidah atau rumus-rumus struktur kebahasaan.

Kompleksitas Bahasa Arab

Turun di tanah Arab, menjadikan al-Qur’an mengakomodir unsur-unsur budaya Arab demi mampu menjalin interaksi dan menyampaikan pesan-pesan ilahiyah yang ada di dalamnya. Salah satu unsur budaya tersebut ialah bahasa. Bahasa Arab adalah bahasa yang diadopsi al-Qur’an sebagai media penyampaian pesan ilahi.

Sebagai bahasa al-Qur’an, bahasa Arab memiliki tingkat kompleksitas yang sangat tinggi. Beragamnya derivasi kata dan makna yang bisa dihasilkan hanya dari beberapa huruf yang menjadi kata dasarnya, menjadikan bahasa Arab terlihat sangat pantas diadopsi sebagai bahasa al-Qur’an.

Kekayaan kosa kata bahasa Arab tersebut dapat terlihat pada kata sederhana yang kerap kali digunakan maupun sudah umum diketahui maknanya oleh kebanyakan orang. Kata قال misalnya, yang terdiri dari tiga huruf yakni qaf, wau, lam dan memiliki makna asli bergerak. Secara umum kata قال ini dimaknai berbicara, namun perlu diketahui bahwa ada makna lain yang banyak orang kadang belum mengetahuinya yakni tidur siang.

Masih banyak kata-kata lain yang berakar sama namun memiliki makna yang berbeda. Sehingga penting untuk mengetahui siyaqul kalam (konteks pembicaraan) sehingga tidak salah dalam pengambilan makna. Perbedaan bunyi menghasilkan perbedaan makna inilah yang dijadikan alasan oleh Abul Aswad ad-Du’ali untuk membubuhkan harakat sehingga meminimalisir terjadinya kesalahan.

Baca Juga: Abu Aswad Ad-Du’ali dan Kisah Pemberian Tanda Baca dalam Mushaf Al-Quran

Beberapa Bukti Kompleksitas Bahasa Arab

Pada bagian ini akan ditampilkan beberapa kaidah kebahasaan yang menjadi salah satu bukti bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang kompleks. Maka menghafal kaidah-kaidah atau teori-teori kebahasaan menjadi salah satu wasilah dalam upaya membuka jalan mempelajari al-Qur’an sampai mendalam. Kaidah-kaidah yang akan dijadikan sebagai demonstrasi bukti kompleksitas bahasa Arab antara lain:

  1. (كان + فعل مضارع (يفيد للمداومة (Kana + Fi’il Mudhari’ menunjukkan kebiasaaan yang berkesinambungan)

Kaidah ini menunjukkan suatu kebiasaan yang dahulu sering dilakukan dan berlanjut hingga saat ini atau jika yang dijelaskan adalah sosok tertentu, maka kebiasaan itu dilakukannya sampai akhir hayatnya. Sebagai contoh:

مَا الْمَسِيْحُ ابْنُ مَرْيَمَ اِلَّا رَسُوْلٌۚ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُۗ وَاُمُّهٗ صِدِّيْقَةٌ ۗ كَانَا يَأْكُلَانِ الطَّعَامَ ۗ اُنْظُرْ كَيْفَ نُبَيِّنُ لَهُمُ الْاٰيٰتِ ثُمَّ انْظُرْ اَنّٰى يُؤْفَكُوْنَ

“Al-Masih putra Maryam hanyalah seorang Rasul. Sebelumnya pun sudah berlalu beberapa rasul. Dan ibunya seorang yang berpegang teguh pada kebenaran. Keduanya biasa memakan makanan. Perhatikanlah bagaimana Kami menjelaskan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) kepada mereka (Ahli Kitab), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka dipalingkan (oleh keinginan mereka).”

Penggalan ayat (كَانَا يَأْكُلَانِ الطَّعَام) jika ditelaah dengan kaidah ini, maka maknanya bahwa Isa As. dan Maryam As. layaknya manusia biasa, mereka senantiasa makan di kala lapar dan mereka tidaklah berpuasa sepanjang hari seakan tidak butuh makanan. Kebiasaan manusiawi ini mereka lakukan terus menerus sepanjang hayatnya.

Maka konsekuensi yang ingin disampaikan dari ayat ini bahwa baik Isa As. maupun Maryam As. memiliki kebiasaan layaknya manusia pada umumnya yakni makan di kala lapar. Maka kenapa keduanya masih diyakini sebagai Tuhan?

  1. (فعل مضارع (يفيد للتجدد (Fi’il Mudhari’ berfaidah pengulangan yang terjadi terus-menerus)

Kaidah ini menunjukkan fungsi fi’il mudhori’ yang memberi faidah akan suatu perkara yang terus berulang kejadiannya. Contohnya :

إِنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

“Sesungguhnya Allah, bagi-Nya kekuasaan langit dan bumi, Dia yang yang menghidupkan dan Dia juga yang mematikan, dan tidak ada bagi kalian penolong selain Allah” (Q.S al-Taubah [9]: 112).

Kata (يُحْيِي وَيُمِيتُ)menunjukkan bahwa perkara “menghidupkan dan mematikan” adalah perkara yang akan senantiasa terjadi dan terus berulang sampai hari akhir kelak. Dan kedua perkara tersebut hanyalah satu fa’il (subjek)nya yakni Allah Swt.

  1. (اسم (يفيد للثبوت (Isim yang berfaidah penetapan atau pengukuhan)

Kaidah ini menunjukkan sebuah penetapan atau pengukuhan. Seperti halnya kata أنا كاتب dan أنا الكاتب. Kata أنا كاتب sederhanya dimaknai bahwasanya mutakkalim baik dia menulis maupun tidak maka dalam eksistensinya ia tetaplah menjadi menulis. Hal ini tentu berbeda dengan kata yang kedua أنا الكاتب, penambahan “al” (penanda ma’rifat) di sana mengubah maknanya menjadi “saya adalah satu-satunya penulis”. Adapun dalam al-Qur’an contohnya:

هُوَ اللّٰهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰىۗ يُسَبِّحُ لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ

“Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Dia memiliki nama-nama yang indah. Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada-Nya. Dan Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.”

Maka konsekuensi dari kaidah ini, penggalan ayat tersebut harus dimaknai dengan: “Dialah Allah satu-satunya pencipta, satu-satunya pengada, satu-satunya pembentuk rupa”. Dengan begitu, tidak ada pencipta, pengada/penemu, perupa yang mampu menandingi-Nya. Semuanya khayali, hanya Dia-lah yang sejati.

Baca Juga: Kosa Kata Bahasa Asing dalam Al-Quran

  1. Mashdar

Mashdar biasanya digunakan sebagai pengganti fi’il, namun ternyata menurut Prof. Abdul Mustaqim posisi mashdar tersebut juga juga memiliki implikasi makna yang lebih dalam. Contohnya pada  Q.S al-Anbiya [21]: 107:

 وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Kata “rahmat” disana tidak hanya menunjukkan bahwa Rasulullah adalah pembawa rahmat (Islam) melainkan juga diri Rasulullah sendirilah rahmat tersebut.

Maka dari salah satu kaidah yang menunjukkan kompleksitas bahasa arab sebagai bahasa al-Qur’an ini, didapati sebuah pelajaran penting bahwa Islam sebagai agama rahmat diturunkan melalui perantara manusia yang dirinya sendiri juga menjadi rahmat bagi semesta alam. Jadi masih adakah alasan bagi pengikutnya untuk saling melaknat? Wallahu a’lam bishshawab.

Alif Jabal Kurdi
Alif Jabal Kurdi
Alumni Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...