Satu ayat Alquran beragam penafsiran, satu konsep bahasan dengan beragam dalil ayat Alquran. Hal yang demikian lumrah terjadi dalam dunia penafsiran Alquran. Salah satu contohnya yaitu pembahasan tentang konsep iman yang disampaikan oleh beberapa ulama. Konsep iman yang mereka tawarkan terkadang berbeda, uniknya, perbedaan itu tidak jarang datang dari dalil ayat Alquran yang sama.
Iman, sederhananya dipahami dengan ‘percaya’. Apakah iman hanya terbatas pada pembenaran dalam hati, ataukah iman juga harus mencakup pengetahuan, daya pikir, dan pengalaman nyata dalam kehidupan? Dengan kata lain, apakah iman itu hanya tashdiq (pembenaran terhadap apa yang didengar), ataukah ia juga harus mencapai makrifah (pengetahuan tentang kebenaran yang diyakini) dan amal (perbuatan)?
Menurut pemikiran kalam (teologi) rasional, iman memberikan kekuatan yang signifikan kepada akal, sehingga iman tidak hanya sebatas tashdiq, tetapi juga harus mencakup makrifah dan amal (perbuatan yang muncul dari pengetahuan tentang Tuhan). Hal ini disampaikan oleh Harun Nasution dalam bukunya, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah hlm. 89. Berbeda dengan pemikiran kalam tradisional yang memberikan peran kecil kepada akal, iman hanya dianggap sebagai tashdiq.
Aliran kalam rasional berpendapat bahwa akal manusia dapat mengetahui adanya Tuhan, kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, memahami baik dan buruk, serta kewajiban untuk mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Oleh karena itu, iman tidak hanya sebatas tashdiq, melainkan harus meningkat menjadi makrifah dan amal.
Baca Juga: Surat al-Anfal [8] Ayat 2: Ciri-Ciri Orang Yang Beriman Menurut Al-Qur’an
Dalil yang digunakan oleh ulama tentang konsep iman
Menurut Maturidiyyah Samarkand, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Abu Mansur Al-Maturidi, iman adalah tashdiq bukan sekadar ucapan lisan. Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi dalam Kitab at-Tauhid (Ed. Fathullah Khalifah, hlm. 372) menjelaskan bahwa iman tidak cukup hanya dengan ucapan, sedangkan hati tidak percaya.
Pernyataan iman dari lisan menjadi batal jika hati tidak mengakui apa yang diucapkan. Al-Maturidi mengacu pada firman Allah dalam surah al-Hujurat ayat 14,
قَالَتِ الْاَعْرَابُ اٰمَنَّاۗ قُلْ لَّمْ تُؤْمِنُوْا وَلٰكِنْ قُوْلُوْٓا اَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْاِيْمَانُ فِيْ قُلُوْبِكُمْۗ وَاِنْ تُطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ لَا يَلِتْكُمْ مِّنْ اَعْمَالِكُمْ شَيْـًٔاۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Orang-orang Arab Badui berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami baru berislam’ karena iman (yang sebenarnya) belum masuk ke dalam hatimu. Jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amal perbuatanmu.’ Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-Hujurat [49]: 14).
al-Maturidi memandang ayat ini sebagai penegasan bahwa iman tidak hanya sekadar ucapan sedang hati belum mengakui. Tashdiq yang dipahami oleh Al-Maturidi adalah tashdiq yang dihasilkan melalui makrifah, dan bukan hanya berdasarkan as-sam’u (pendengaran). Al-Maturidi mendasarkan pandangannya pada surah al-Baqarah ayat 260:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَٰهِيمُ رَبِّ أَرِنِى كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَىٰ ۖ قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِن ۖ قَالَ بَلَىٰ وَلَٰكِن لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِي ۖ قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِّنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَىٰ كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا ۚ وَاعْلَمْ أَنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: ‘Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.’ Allah berfirman: ‘Belum yakinkah kamu?’ Ibrahim menjawab: ‘Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).’ Allah berfirman: ‘Kalau demikian, ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. Letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 260).
Menurut al-Maturidi, ayat ini menunjukkan bahwa permintaan Nabi Ibrahim untuk melihat bukti bukan berarti dia belum beriman, tetapi untuk meningkatkan iman yang sudah dimilikinya ke tingkat makrifah. (Kitab at-Tauhid, hlm. 381)
Baca Juga: Ragu yang Diperbolehkan, Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 260
Di sisi lain, aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa iman juga bukan hanya tashdiq dan makrifah, tetapi harus diiringi dengan amal. Mu’tazilah menyatakan bahwa iman adalah pelaksanaan perintah Tuhan. Seseorang tidak disebut beriman jika hanya mengetahui Tuhan tanpa melaksanakan perintah-Nya atau malah menentangnya. (Teologi Islam, hlm. 147)
Konsep iman tersebut didasarkan pada surah al-Anfal ayat 2,
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.” (Q.S. Al-Anfal [8]: 2).
Abd Al-Jabbar menilai bahwa ayat ini menunjukkan iman tidak hanya pembenaran dalam hati, tetapi juga berbentuk pengalaman jasmani. Bagian di akhir ayat menunjukkan bahwa tawakkal kepada Allah adalah wajib yang menuntut manusia untuk melaksanakan usaha sesuai tuntunan Allah, bukan mengabaikan usaha atau menyia-nyiakan diri. (Mutasyabbib, hlm. 314).
Di kalangan para pemikir kalam tradisional, iman dianggap sebagai tashdiq. Sejalan dengan pandangan kalam rasional yang memberikan peran kecil kepada akal, iman dalam konteks agama terutama berlandaskan wahyu. Oleh karena itu, tashdiq berarti pembenaran terhadap wahyu yang diterima.
Asy’ari dalam kitab al-Luma’, hlm. 123 memberikan konsep iman sebagai “al-iman huwa al-tashdiq bi Allah” (menerima informasi tentang adanya Allah). Al-Bazdawi dari aliran Maturidiyyah Bukhara mengatakan iman adalah menerima dalam hati dengan lidah bahwa tidak ada selain Allah dan tidak ada yang serupa dengan-Nya. (kitab Ushul, hlm. 142).
Aliran Asy’ariyyah, sebagaimana dijelaskan oleh Asy’ari, menggunakan dalil naqli dari surah Ibrahim ayat 4, surah asy-Syu’ara ayat 195, dan surah Yusuf ayat 17. Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa informasi perihal agama harus disampaikan dalam bahasa kaum tempat seorang rasul diutus dan dalam bahasa Arab yang jelas. Oleh karena itu, iman berarti tashdiq atas wahyu Allah. Sementara itu, Asy’ari mengaitkan ayat 17 surah Yusuf dengan hubungan antara kata mu’min dan shadiqin, sehingga iman adalah tashdiq bi al-qalb (pembenaran dengan hati atas berita yang dibawa oleh nabi dan rasul).
Kurang lebih demikian pemahaman tentang konsep iman dari beberapa ulama. Jika dibaca ulang, meski tidak selalu sama, penjelasan yang disampaikan oleh mereka saling melengkapi dan menyempurnakan, tidak ada yang bertentangan. Wallah a’lam