BerandaTafsir TematikTafsir EkologiKonsep Keharmonisan Alam dalam Alquran: Panduan Konservasi Lingkungan

Konsep Keharmonisan Alam dalam Alquran: Panduan Konservasi Lingkungan

Lingkungan alam adalah salah satu anugerah Allah yang diberikan kepada umat manusia. Kelestariannya menjadi tanggung jawab bersama untuk dijaga dan dilestarikan. Artikel ini menjelajahi konsep keharmonisan alam dalam Alquran dan bagaimana konsep ini dapat menjadi panduan yang penting dalam upaya konservasi lingkungan.

Dalam Alquran, terdapat ayat-ayat yang menunjukkan keagungan ciptaan Allah, keindahan alam, dan keterkaitan antara manusia dengan alam. Alquran mengajarkan bahwa alam semesta ini ditata dengan penuh kebijaksanaan dan keseimbangan yang mencerminkan keagungan dan kekuasaan-Nya.

Salah satu ayat dalam Alquran yang menyoroti keharmonisan alam adalah dalam surah Alrahman [55]: 5-6, yang berbunyi:

اَلشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍۙ وَّالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ

“Matahari dan bulan (beredar) sesuai dengan perhitungan. Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan, keduanya tunduk kepada-Nya.

Ayat tersebut menegaskan bahwa alam semesta ini beroperasi dalam harmoni dan keteraturan yang sempurna. Matahari dan bulan beredar sesuai dengan perhitungan yang ditentukan oleh Allah, sedangkan tumbuhan dan pohon-pohonan tunduk kepada-Nya. Ayat ini memberikan gambaran tentang bagaimana alam semesta ini mengikuti aturan dan tata cara yang telah ditetapkan oleh Allah.

Baca Juga: Tafsir Ekologi: Mengenal Ayat-Ayat Lingkungan dalam Al-Quran

Dalam konteks konservasi lingkungan, ayat ini mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan dan keteraturan alam. Matahari dan bulan yang beredar dengan perhitungan yang tepat menunjukkan pentingnya menjaga keselarasan antara alam semesta dan kehidupan manusia. Begitu pula, tumbuhan dan pohon-pohonan yang tunduk kepada Allah menunjukkan pentingnya menjaga keberlanjutan ekosistem dan menjaga keseimbangan alam.

Maka untuk mencapai tujuan tersebut, Allah menciptakan manusia sebagai “khalifah.” Dalam surah Albaqarah [2]: 30, Allah berfirman:

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi’. Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (seorang khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.”

Ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah berencana untuk menjadikan seorang khalifah di bumi. Khalifah dalam konteks ini merujuk pada manusia yang memiliki tanggung jawab sebagai pengelola dan pemelihara alam semesta. Namun, para malaikat meragukan kemampuan manusia untuk menjalankan peran ini dengan baik, mengingat potensi manusia untuk membuat kerusakan dan pertumpahan darah.

Ayat ini mengandung pesan bahwa manusia memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan dan keteraturan alam semesta. Konsep ini menegaskan bahwa manusia bukanlah pemilik mutlak alam, tetapi sebagai pengelola yang bertanggung jawab untuk menjaga keberlanjutan dan memelihara alam sesuai dengan kehendak Allah.

Baca Juga: Mengenal Green Deen: Persepektif Keberislaman yang Ramah Lingkungan dan Berbasis Nilai-Nilai Qur’ani

Ibrahim Abdul-Matin (seorang cendikiawan Muslim yang memfokuskan perhatiannya pada isu-isu lingkungan), berpendapat bahwa sebagai khalifah, umat Muslim harus mengambil tindakan nyata dalam upaya menjaga keharmonisan alam (Gonibala, dkk., Ulama Era Milenial dan Kesalehan Sosial, 46).

Ini melibatkan sikap yang bertanggung jawab terhadap penggunaan sumber daya alam, seperti mengurangi pemborosan, menggunakan energi terbarukan (seperti energi matahari, angin, atau air) untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang berdampak buruk pada lingkungan, serta mendukung inisiatif yang berkelanjutan, seperti pengembangan lingkungan hijau, pelestarian alam, dan sebagainya.

Lebih jauh Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man menegaskan bahwa penghormatan terhadap alam sebagai kewajiban agama. Selain itu, ia berpendapat bahwa ekologi sejati tidak hanya melibatkan aspek fisik dan material, tetapi juga memiliki dimensi spiritual (Hossein Nasr, Man and Nature, 152).

Dalam bukunya tersebut, ia mengajukan gagasan bahwa keberadaan manusia dalam alam semesta ini memiliki tujuan yang lebih dalam, yaitu untuk mengembangkan kesadaran akan kehadiran Tuhan dan menjalin hubungan yang harmonis dengan ciptaan-Nya. Dalam konteks ini, krisis spiritual dianggap sebagai akar masalah dalam ekologi.

Ia menyoroti bagaimana materialisme, konsumerisme berlebihan, dan pemisahan manusia dari alam telah menyebabkan ketidakseimbangan dan kerusakan lingkungan. Maka salah satu yang dapat dilakukan adalah pemulihan hubungan manusia dengan alam, sebagai langkah penting dalam memecahkan krisis ekologi.

Selanjutnya, konsep keharmonisan alam dalam Alquran juga menekankan pentingnya menjaga mizan atau keseimbangan dalam alam semesta. Dalam surah Alrahman [55]: 7, Allah berfirman:

وَالسَّمَاۤءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيْزَانَۙ

“Langit telah Dia tinggikan dan Dia telah menciptakan timbangan (keadilan dan keseimbangan).”

Ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah menciptakan langit dengan tinggi yang sempurna dan juga menciptakan mizan atau timbangan yang menunjukkan keadilan dan keseimbangan dalam alam semesta. Konsep ini mengajarkan bahwa alam semesta ini beroperasi dalam keseimbangan yang sempurna yang ditentukan oleh Allah.

Baca Juga: Reformasi Lingkungan Perspektif Yusuf al-Qaradhawi: Membentuk Manusia Ber-mindset Eko-Teologis

Dengan demikian, manusia memiliki tanggung jawab untuk tidak mengganggu keseimbangan ini dengan tindakan yang merusak lingkungan. Misalnya, penebangan hutan yang berlebihan dapat mengganggu keseimbangan ekosistem dan menyebabkan kerusakan lingkungan. Pencemaran air dan udara juga dapat mengganggu keseimbangan ekosistem dan kesehatan manusia.

Manusia juga harus menjaga keseimbangan antara kebutuhan dirinya dengan keberlanjutan alam. Dalam melakukan aktivitas ekonomi dan sosial, manusia harus mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan dan memastikan bahwa tindakan mereka tidak menyebabkan ketidakseimbangan yang merugikan alam semesta.

Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Alquran memberikan pedoman yang kuat dan relevan bagi umat Muslim dalam menjaga keharmonisan alam dan melaksanakan konservasi lingkungan. Konsep keharmonisan alam dalam Alquran menekankan pentingnya penghormatan terhadap alam, tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi, dan perlunya tindakan nyata untuk menjaga kelestarian alam.

Artikel ini menggarisbawahi bahwa keharmonisan alam dalam Alquran bukan hanya menjadi tanggung jawab moral, tetapi juga bagian integral dari praktik keagamaan yang sejalan dengan ajaran Alquran. Dengan memahami dan menerapkan konsep ini, umat Muslim dapat menjaga keseimbangan ekosistem, mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, dan menjadi pelindung alam semesta yang Allah ciptakan.

Syamsuri
Syamsuri
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Universitas PTIQ Jakarta dan program Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Hijrah ala Ratu Bilqis: Berani Berubah dan Berpikir Terbuka

Hijrah ala Ratu Bilqis: Berani Berubah dan Berpikir Terbuka

0
Islam terus menjadi agama dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Menurut laporan Pew Research Center, populasi muslim global diproyeksikan meningkat sekitar 35% dalam 20 tahun,...