Konsep Lita’arofu dalam QS. Al-Hujurat Ayat 13 dalam Menyikapi Keberagaman

Konsep Lita’arofu dalam QS. Al-Hujurat Ayat 13 dalam Menyikapi Keberagaman
Konsep Lita’arofu dalam QS. Al-Hujurat Ayat 13 dalam Menyikapi Keberagaman

Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keanekaragaman tinggi. Berbagai suku bangsa berbaur menjadi satu yang terhimpun dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika. Kondisi masyarakat yang plural baik dari segi budaya, ras, agama, dan status sosial cenderung menimbulkan potensi perpecahan (Ambarudin, 2016). Dengan begitu kita butuh untuk menyikapi keberagaman, sebagaimana apa yang diurai dalam konsep Al-Qur’an.

Bisa kita lihat terkait persoalan agama misalnya, salah satu yang paling dominan terjadi akhir-akhir ini adalah penghinaan terhadap ajaran  lain yang berbeda. Anehnya, penghinaan-penghinaan atau ujaran kebencian tersebut justru ditujukan pada sesama umat Islam sendiri. Ketika ada ritual keagamaan yang dilihat tidak lumrah, langsung mendapat hujatan.

Fenomena ini dapat terjadi ketika terdapat fanatisme yang berlebihan di antara umat Islam itu sendiri. Satu golongan menganggap bahwa ajarannya lah yang mutlak benar dan jika ada yang berbeda maka akan dihukumi sesat, bahkan kategori yang lebih ekstrem adalah adanya pengkafiran terhadap suatu aliran tertentu.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Bolehkah Wudhu Dilakukan dengan Tidak Urut (Tartib)?

Prof. Nasaruddin Umar (2019) dalam bukunya Jihad Melawan Religious Hate Speech (RHS)” mengatakan bahwa akhir-akhir ini banyak orang yang menebarkan kebencian dengan berdalihkan agama. Misalnya pengkafiran terhadap kelompok syi’ah, penyesatan terhadap sejumlah tradisi keagamaan NU, dan berbagai kesalahpahaman yang lain.

Padahal sebagai masyarakat yang multikultural, ditambah lagi sebagai umat Islam yang mayoritas, perbedaan sangat sulit terelakkan. Perbedaan seharusnya tidak dijadikan sebagai batu sandungan, melainkan sebagai batu loncatan menuju perbaikan, kebersamaan, dan kerukunan. Perbedaan-perbedaan yang ada merupakan rahmat Allah SWT.

Meski berlainan, setidaknya berbagai hal dapat berjalan harmonis dengan berlandaskan pada prinsip bhineka tunggal ika (berbeda-beda tetap satu jua). Sikap demikian yang sejatinya dipertahankan sebagai respon dari kemajemukan (Tanuwibowo, 2010). Hal ini pula yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah ketika hijrah ke madinah dengan menyatukan suku-suku yang tidak pernah damai.

Demi keharmonisan masyarakat yang majemuk ini, kini digaungkanlah berbagai misi perdamaian dengan menjunjung nilai-nilai toleransi. Namun sebenarnya, jauh sebelum misi-misi tersebut digelorakan, al-Qur’an sesungguhnya telah menyuguhkan solusi terbaik dalam menyikapi keberagaman yang ada.

Salah satu solusi yang ditawarkan al-Qur’an dalam menyikapi keberagaman adalah konsep “Lita’arofu” yang termaktub dalam QS. Al-Hujurat [49]: 13. Konsep ini dirasa penting mengingat  lita’arofu atau saling mengenal adalah langkah terbaik dalam menghindari kesalahpahaman. Lebih jelas, Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ

Terjemah: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. A;-Hujurat [49]: 13)

Baca juga: Tiga Macam Idghom Berdasarkan Shifatul Huruf dan Makharijul Huruf

Tafsir al-Hujurat Ayat 13

Syaikh Imam Al-Qurthubi menjelaskan asbabun nuzul ayat ini berkenaan dengan peristiwa Bilal bin Rabbah. Ibnu Abbas berkata, “Pada hari penaklukan kota Makkah, Rasulullah SAW. memerintahkan Bilal naik ke atas Ka’bah untuk mengumandangkan adzan. Sebab sayyidina Bilal dikenal memiliki suara yang indah.

Atab bin Usaid bin Abi Al Ish berkata, ‟Segala puji bagi Allah yang telah mengambil ayahku sehingga dia tidak melihat hari ini.” Al Harits bin Hisyam berkata, “Muhammad tidak menemukan mu’adzin selain dari gagak hitam ini.” Suhail bin Amr berkata, “Jika Allah menghendaki sesuatu, Dia akan mengubah sesuatu itu.”

Abu Sufyan berkata, “Aku tidak akan mengatakan apapun, karena takut Tuhan langit akan memberitahunya (kepada Muhammad).” Malaikat Jibril kemudian datang kepada Nabi Saw. dan memberitahukan apa yang mereka katakan kepada beliau. Beliau memanggil mereka dan bertanya tentang apa yang mereka katakan, lalu mereka pun mengakui itu.

Maka Allah pun menurunkan ayat ini guna melarang mereka dari membangga-banggakan garis keturunan dan banyak harta, serta melarang mereka menganggap hina terhadap orang-orang kecil. Sebab yang menjadi ukuran adalah ketakwaan. Maksud firman Allah tersebut adalah semua manusia berasal dari Adam dan Hawa. Sesungguhnya letak perbedaan kemuliaan itu karena ketakwaan yang dimiliki oleh masing-masing insan manusia.

Ibnu Katsir juga menjelaskan bahwa melalui ayat ini Allah SWT berfirman seraya memberitahukan kepada umat manusia bahwa Dia telah menciptakan mereka dari satu jiwa, dan darinya Dia menciptakan pasangannya, yaitu Adam dan Hawa. Dan selanjutnya Dia menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku.

Dalam hal kemuliaan, seluruh ummat manusia dipandang sama, hanya saja kemudian perbedaannya dilihat dari sisi ketakwaannya. Karena itu Allah melarang berbuat ghibah dan mencaci antar sesama, Allah mengingatkan bahwa mereka itu sama dari segi keamusiaan.

Sementara Ath-Thabari menafsirkan kata lita’arofu dengan saling mengenal dalam nasab. Sebab sejatinya manusia diciptakan dengan keberagaman oleh Allah SWT. Adapun sebagai penenangnya, Allah melanjutkan ayat ini dengan mendeklarasikan bahwa meski berbeda, di antara manusia tidak ada perbedaan mana yang lebih mulia kecuali dengan ketakwaannya saja.

Hal ini menunjukkan bahwa takwa menjadi tolak ukur kemuliaan yang tidak dapat ditawar. Urgensinya begitu diagungkan tanpa melihat fisik, status sosial, dan hal-hal lain yang kebanyakan dianggap harus terbaik oleh manusia.

Sementara Prof. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ini lebih khusus berbicara tentang prinsip dasar hubungan antar sesama manusia. Karena tidak lagi menggunakan panggilan yang ditujukan kepada orang-orang beriman, melainkan kepada jenis-jenis manusia. Kata lita’arofu yang terambil dari kata ‘arafa dalam ayat ini bermakna saling mengenal.

Redaksi kata ini mengisyaratkan tentang hubungan timbal balik yang harus dilakukan berbagai pihak yang berbeda agar dapat memahami satu sama lain. Semakin kuat pengenalan satu pihak kepada yang lain, maka semakin terbuka peluang untuk saling memberi manfaat.

Terkait dengan perbedaan yang ada, lita’arofu sejatinya dilakukan oleh semua pihak. Hal ini karena redaksi ayat menunjukkan hubungan timbal balik yang tidak terpisahkan. Ketika ada kisruh polemik perbedaan paham agama misalnya, kedua pihak yang berseteru hendaknya saling menggali informasi satu sama lain agar tidak keliru dalam memunculkan persepsi.

Baca juga: Transformasi Terjemahan Al-Qur’an: dari Lisan, Tulis, Website, Hingga Aplikasi Android

Demikian pula ketika menelaah peristiwa Bilal bin Rabbah dipandang sebelah mata karena status sosialnya, memberi isyarat tentang pentingnya kehati-hatian dalam menjustifikasi. Hal ini akan berdampak pada kekeliruan yang justru dapat merendahkan atau memandang sebelah mata status orang lain.

Begitu pun dengan persoalan yang terjadi pada kelompok-kelompok agama yang saling menjatuhkan, mereka hanya memandang pada satu sisi yang dianggapnya tidak pantas tanpa mengindahkan sisi yang lain. Maka jawaban dari persoalan ini adalah pangkal ujung terakhir Surat Al-Hujurat [49]: 13 yang mengisyaratkan tentang kemuliaan seseorang atau suatu kelompok hanya berdasar kepada Allah.

Demikianlah al-Qur’an berbicara tentang keberagaman dan menyikapinya dengan saling mengenal dalam arti mempelajari terlebih dahulu sebelum menjustifikasi. Keberagaman yang ada semestinya tidak disikapi secara brutal namun haruslah netral. Bersikap moderat menjadi kunci keharmonisan dengan membangun bingkai persatuan. Wallahu a’lam[]