BerandaTafsir TematikKonsep Makna Uli An-Nuha dalam Tafsir Surah Thaha Ayat 49-55

Konsep Makna Uli An-Nuha dalam Tafsir Surah Thaha Ayat 49-55

Uli an-nuha adalah salah satu diksi yang digunakan al-Quran untuk mengungkap karakteristik seseorang “yang memiliki akal”. Uli An-Nuha (أولِي النُّهى) ditemukan di dalam al-Quran sebanyak dua kali; semuanya ada di surah Thaha [20] ayat 54 dan 128. Untuk mengungkap makna uli an-nuha secara komprehensif perlu melihat ayat sebelum atau sesudahnya, sehingga akan melahirkan pemahaman yang holistik.

Quraish Shihab dalam Kaidah Tafsir, hal. 338 berpendapat bahwa di antara keistimewaan bahasa al-Quran ialah keserasian dan keseimbangan maknanya. Seperti dalam kasus makna uli an-Nuha. Bagaimana kemudian maksud dan makna uli an-Nuha dalam Al-Quran? sebuah frasa yang digunakan untuk menyebut ‘orang yang memiliki akal’?

Baca Juga: Alasan Kenapa Al-Quran Diturunkan Berbahasa Arab

Makna Uli An-Nuha

Selama ini kalimat uli an-nuha sering diterjemahkan dengan ‘yang mempunyai akal’. Namun, terjemahan seperti itu tidak mewakili makna secara komprehensif, karena ada istilah lain yang digunakan al-Quran untuk menyebutkan “yang mempunyai akal” di antaranya ulul albab dan ulul abshar. Sehingga apabila maknanya sampai pada “yang mempunyai akal” maka akan menimbulkan kesan pengulangan, padahal setiap diksi al-Quran mempunyai signifikansinya.

Terjemahan tersebut tidaklah salah, karena bersumber dari kitab-kitab tafsir yang otoritatif, seperti Tafsīr al-Jalālain, Mafātīh al-Ghaib, dan lain-lain. Disamping itu, adanya penerjemahan seperti itu bertujuan untuk memberi pemahaman kepada masyarakat umum supaya makna kalimat tersebut tidak sukar dicerna.

Lebih dari itu, uli an-nuha memiliki makna yang khas dan sangat dalam. Kalimat “ulin nuha” terdiri dari dua kata, yakni uli (أولِي) dan an-Nuha (النُّهى). Uli atau ulu (أُولُو)  -ketika marfu’– lafaz jama (plural) yang tidak memiliki bentuk mufrad (tunggal), atau isim jama yang bermakna “mempunyai”  bersinonim dengan dzu ((ذو.

Fairūz ābādī di dalam Bashāir Dzawi al-Tamyīz fī Lathāif al-Kitāb al-‘Azīz (2, 174) dan Qāmūs al-Muhīth (1, 1349) berpendapat   bahwa kalimat ulu tatkala dikategorikan kepada isim jama maka bentuk tunggalnya ialah dzū untuk muzakar dan dzātuذات’ atau dzuh -dengan ha tanbih- untuk muannats.

Adapun kata an-Nuha merupakan bentuk plural dan kata tunggalnya yaitu nuhyah ((نهية yang bermakna “akal”. Artinya, orang yang mempunyai akal harus mampu menghindari semua hal yang dilarang oleh agama dan terus berusaha menjalankan kebaikan. Di dalam Tafsīr al-Jalālain (1, 410) akal diistilahkan dengan nuha, karena dapat mencegah pemiliknya dari perbuatan-perbutan buruk. Al-Razi dalam Mafātīh al-Ghaib (12, 112) mengatakan bahwa nuha adalah salah satu sifat dari akal, sehingga nuha hanya untuk orang-orang yang memiliki akal.

Dari dua pendapat ulama tafsir di atas mengindikasikan bahwa seseorang dapat mencapai derajat uli an-nuha yaitu jika ia menggunakan akalnya sebagai media untuk menilai hal-hal yang baik dan buruk serta dengannya mampu meninggalkan semua hal buruk, yang berpotensi menurunkan kualitas akalnya.

Baca Juga: Surat Al-Isra Ayat 1: Makna Kata Asrā dan Ketelitian Pemilihan Diksi Al-Quran

Makna Uli An-Nuha dan karakteristiknya dalam surah Thaha ayat 49-55

قَالَ فَمَن رَّبُّكُمَا يَٰمُوسَىٰ  ٤٩ قَالَ رَبُّنَا ٱلَّذِيٓ أَعۡطَىٰ كُلَّ شَيۡءٍ خَلۡقَهُۥ ثُمَّ هَدَىٰ  ٥٠ قَالَ فَمَا بَالُ ٱلۡقُرُونِ ٱلۡأُولَىٰ  ٥١ قَالَ عِلۡمُهَا عِندَ رَبِّي فِي كِتَٰبٖۖ لَّا يَضِلُّ رَبِّي وَلَا يَنسَى  ٥٢ ٱلَّذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ مَهۡدٗا وَسَلَكَ لَكُمۡ فِيهَا سُبُلٗا وَأَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ فَأَخۡرَجۡنَا بِهِۦٓ أَزۡوَٰجٗا مِّن نَّبَاتٖ شَتَّىٰ  ٥٣ كُلُواْ وَٱرۡعَوۡاْ أَنۡعَٰمَكُمۡۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي ٱلنُّهَىٰ  ٥٤ ۞مِنۡهَا خَلَقۡنَٰكُمۡ وَفِيهَا نُعِيدُكُمۡ وَمِنۡهَا نُخۡرِجُكُمۡ تَارَةً أُخۡرَىٰ  ٥٥

Berkata Fir’aun: “Maka siapakah Tuhanmu berdua, hai Musa? (49) Musa berkata: “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk. (50) Berkata Fir’aun: “Maka bagaimanakah keadaan umat-umat yang dahulu?” (51) Musa menjawab: “Pengetahuan tentang itu ada di sisi Tuhanku, di dalam sebuah kitab, Tuhan kami tidak akan salah dan tidak (pula) lupa; (52) Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan Yang telah menjadikan bagimu di bumi itu jalan-jalan, dan menurunkan dari langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam (53) Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal (54) Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain (55).

Secara umum ayat di atas berkaitan dengan dialog antara Fir’aun dan Nabi Musa. Fir’aun bertanya tentang Tuhan Nabi Musa dan Harun dengan pertanyaan yang bermakna takabur dan keangkuhan. Maksudnya, pertanyaan yang diajukan oleh Fir’aun tersebut bukan berdasar pada tidak tahunya dia, tetapi pertanyaan tersebut hanya menunjukan kesombongannya terhadap Musa dan inkarnya terhadap Tuhan. Wahbah Al-Zuhaili dalam al-Tafsīr al-Munīr mengelompokan ayat tersebut pada tema al-Hiwār bain Fir’aun wa Mūsā Haul al-Rubūbiyyah (percakapan antara Fir’aun dan Musa tentang ketuhanan).

Baca Juga: Konsep Kepribadian Ulul Albab dalam Surat Ali ‘Imran Ayat 190-191

Di dalam ayat 54 ada perintah untuk memakan dan mengembala binatang-binatang ternak; namun perintah tersebut bukan berstatus wajib, tetapi mubah (boleh). Perintah tersebut merupakan puncak dari kekuasaan Allah untuk dimanfaatkan oleh semua manusia, tanpa kecuali, karena pada hakikatnya, Allah menciptakan bumi beserta fasilitasnya supaya dimanfaatkan oleh makhluk-Nya, sehingga merawat dan menjaga keutuhan dan stabilitas bumi menjadi sebuah keharusan sebagai pembuktian dari mereka yang mempunyai akal.

Di samping Allah menciptakan sesuatu yang zahir (jelas) dan dapat dijangkau oleh akal manusia, pada kesempatan lain Allah menciptakan sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh akal manusia. Sehingga tidak heran bagi sebagian kalangan yang masih meragukan Allah menanyakan hal demikian dengan nada inkar, seperti Fir’aun.

Kendati demikian, baik yang terjangkau atau tidak, bagi orang dengan karakteristik uli an-nuha tidak akan mengubah pengetahuan dan keyakinannya terkait sifat Tuhan, yakni Allah memiliki sifat ilmu; yang selamanya tidak akan ada sifat salah dan lupa. Muhammad Sayyid Thanthawi menegaskan bahwa adanya penafian (lupa dan salah) tersebut sebagai bukti bahwa Allah bersih dari sifat “tidak tahu” terhadap semua hal yang berhubungan dengan alam semesta (makhluknya). Al-Tafsīr al-Wasīth li al-Qur’an al-Karīm (9, 115).

Terakhir, tanah yang dimanfaatkan oleh manusia akan menjadi akhir kembali setelah hidup di dunia sekaligus menjadi awal kehidupan di hari kiamat, dan di sanalah manusia mempertanggungjawabkan semua fasilitas yang telah dimanfaatkan olehnya di dunia.

Alhasil, hubungan surah tersebut dengan uli an-nuha tentu membentuk karakteristik bagi manusia, yaitu (1) Meyakini bahwa Allah sebagai ‘pencipta’ dan mempunyai sifat ilmu; (2) Merawat dan menjaga hamparan bumi secara maksimal; (3) Memanfaatkan fasilitas bumi untuk kepentingan ibadah, di antaranya tafakkur; (4) Selalu mempersiapkan bekal (amal) untuk kehidupan setelah kematian. Wallahu A’lam.

Sihabussalam
Sihabussalam
Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU