Setelah peradaban manusia memasuki era modern dengan berbagai perubahannya, peninjauan kembali khazanah pemikiran Islam menjadi sebuah keharusan. Bisa jadi, pemikiran yang muncul di zaman pra-modern dianggap aneh, asing, dan tidak diperhitungkan di zaman modern, justru relevan dan sangat dibutuhkan dalam upaya penyegaran pemikiran Islam.
Saya tertarik untuk memaparkan pemikiran menarik Abu Yusuf (w.182/798) tentang kontekstualisasi nas. Menurut al-Qaradawi (l. 1926) dalam al-Ijtihad fi Syari’ah al-Islam (116), Abu Yusuf merupakan murid langsung dari Abu Hanifah (w. 150/767) yang kerap berselisih dengan gurunya tersebut.
Subhi Mahmasani (w. 1986) dalam Falsafah al-Tasyri’ fi al-Islam (160-161) mengutip sebuah kaidah penting dari Abu Yusuf yaitu:
اِذَا كَانَ النَّصُ مَبْنِيًّا عَلَى الْعَادَةِ ثُمَّ تَغَيَّرَتْ يَجِبُ اتِّبَاعُ الْعَادَةِ الْجَدِيْدَةِ عَلَى الْعَادَةِ الْقَادِمَةِ
“Ketika nas lahir atas dasar budaya, kemudian budaya tersebut berubah, maka wajib (bagi mujtahid) untuk mengikuti atau mendahulukan budaya baru atas budaya lama”
Kaidah ini merupakan distingsi Abu Yusuf dari mayoritas ulama, di mana mereka tidak memperhitungkan pengaruh budaya terhadap lahirnya nas. Penggunaan kaidah ini memungkinkan mujtahid untuk mengkontekstualisasikan nas dengan merumuskan produk hukum yang sejalan dengan perkembangan zaman, meski itu berbeda dari makna eksplisit nas.
Dalam bukunya, Mahmasani menyebutkan dua contoh. Contoh pertama merupakan produk pemikiran Abu Yusuf sendiri, sementara contoh kedua merupakan aplikasi kaidah Abu Yusuf dalam permasalahan kontemporer yang Mahmasani contohkan.
Contoh Aplikatif: Perubahan Budaya dari Satuan Volume ke Satuan Masa
Contoh pertama adalah mengenai perubahan budaya dari takaran ke timbangan. Mahmasani mengutip hadis Rasulullah yang dikutip dari kitab al-Mughni karya Ibn Qudamah (w. 620/1224):
الْبِرُّ بِالْبِرِّ كَيْلاً بِكَيْلِ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ كَيْلًا بِكَيْلٍ
“Barter antara gandum satu dengan gandum lain diukur berdasarkan takaran dan barter jerawut satu dengan jerawut lain juga diukur berdasarkan takaran”
Hadis ini berkaitan dengan masalah riba dalam barter, yang mana jika dua barang yang dipertukarkan takarannya (volume) tidak setara, maka statusnya adalah riba. Lantas bagaimana hukum barter gandum dengan gandum, jika pengukuran kesetaraannya menggunakan timbangan (masa) yang berarti memungkinkan terjadinya perbedaan dalam volume?
Mahmasani menjelaskan bahwa nas hadis di atas terbangun atas dasar budaya Arab di masa Rasulullah. Jadi, penggantian dari standar volume ke standar masa seperti di masa sekarang bukanlah masalah, bahkan merupakan kewajiban.
Dalam Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah (152) karya al-Qaradawi, pendapat ini merupakan pendapat asli Abu Yusuf. Pendapat ini berbeda dengan pendapat ulama lain yang berpegang teguh pada apa yang Rasulullah tentukan dalam sunah sungguhpun budaya telah berubah. Pada permasalahan ini, kita dapat melihat sisi fleksibilitas gagasan Abu Yusuf.
Baca juga: Yusuf al-Qaradhawi: Pengkaji Al-Quran dan Maestro Kajian Islam Kontemporer
Contoh Aplikatif: Perubahan dari Rukyat ke Hisab dalam Penentuan Awal Bulan Hijriah
Contoh kedua adalah mengenai persoalan penentuan awal bulan Hijriah. Persoalan ini selalu menjadi isu hangat di Indonesia sebab berkaitan erat dengan kapan harus memulai puasa Ramadan dan kapan harus mengakhirinya.
Rukyat menjadi metode mainstream di Indonesia dan menurut Sayyid Alawi al-Maliki (w. 1971) dalam Ibanah al-Ahkam (II, 525-526), merupakan kesepakatan empat mazhab.
Metode mainstream ini disandarkan pada petunjuk eksplisit hadis (‘ibarah al-nashsh) yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam Sahih Muslim yang menjelaskan bahwa rukyat merupakan ‘illat (faktor penentu) memulai dan mengakhiri puasa:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيِتِهِ
“Berpuasalah karena melihat (rukyat) hilal dan berhentilah berpuasa karena melihat hilal” (H.R Muslim).
Hadis ini merupakan tafsir aplikatif Rasulullah terhadap Q.S al-Baqarah [2]: 185 yang menjelaskan mengenai kewajiban berpuasa bagi orang yang menjumpai Ramadan:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهٌ
“Karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah”
Ayat di atas hanya mengatakan “Barang siapa di antara kamu ada di bulan itu”, tidak menjelaskan mengenai cara mengetahui masuknya Ramadan. Rasulullah menentukan cara mengetahui awal Ramadan dengan cara melihat (baca: rukyat) hilal. Cara Rasulullah ini kemudian dipahami secara apa adanya oleh mayoritas ulama.
Adapun para penganut kaidah Abu Yusuf seperti Mahmasani mencoba menyoroti lebih dalam mengenai status rukyat, apakah itu termasuk budaya atau bukan. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim menjelaskan bahwa pemilihan Rasulullah atas rukyat didorong oleh budaya berupa realita bahwa kebanyakan masyarakat Arab abad ke-7 M tidak bisa menulis dan menghitung (hisab).
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِيَّةٌ لَانَكْتُبُ وَلَا نَحْسِبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وِعِشْرِيْنَ وَ مَرَّةً ثَلَاثِيْنَ
“Kita adalah umat ummi yang tidak bisa menulis dan menghitung. Bulan itu begini dan begini. Rasulullah menghendaki yang pertama 29 hari dan yang kedua 30 hari.”(H.R. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menujukan bahwa status ketidakmampuan menulis dan menghitung merupakan alasan dari penggunaan rukyat. Ketika umat telah keluar dari status ini dan ilmu astronomi (hisab) telah berkembang sedemikian maju yang memungkinkan bagi Muslim untuk mengetahui awal bulan Hijrah secara pasti dan yakin, maka peralihan dari metode rukyat ke hisab adalah sebuah keniscayaan dan layak untuk dijadikan sebagai metode baru sebagaimana Yusuf al-Qaradawi tegaskan juga dalam Kaifa Nata’amal (165-173).
Baca juga: Penafsiran Umar bin Khattab sebagai Dasar Model Tafsir Kontekstual menurut Abdullah Saeed
Penutup
Dari penjelasan di atas, saya ingin memberikan tiga poin penutup. Pertama, adalah sebuah keniscayaan untuk menyegarkan pemahaman agama dengan basis nalar yang kuat agar agama dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi dapat berjalan berdampingan dan saling menyempurnakan.
Kedua, upaya kontekstualisasi pemahaman nas masih memungkinkan untuk merevitalisasi khazanah keilmuan klasik bernama usul al-fiqh.
Ketiga, dengan merevitalisasi khazanah pemikiran klasik, suatu pendapat hukum tidak kehilangan otoritasnya. Hal ini berbeda dengan ide pembaruan yang mengusung metodologi baru yang benar-benar lepas dari usul al-fiqh, yang mana kelompok tradisionalis masih menolaknya, sungguhpun saya sebagai akademisi dapat menerimanya secara kritis.
Baca juga: Memahami Kemunculan dan Ragam Metode Tafsir Kontekstual