Al-Quran secara umum diturunkan dalam Bahasa Arab. Namun, Bahasa Arab bukanlah satu-satunya bahasa dalam peradaban manusia. Sejak dimulainya kehidupan bumi, manusia dari berbagai etnik wilayah berkoneksi, berinteraksi dan berdiaspora termasuk soal budaya bahasa. Pada saat itu Al-Quran diturunkan tidak lepas dari konteks masyarakat Arab Quraisy. Sehingga menjadi persoalan bahwa, apakah semua kata dalam Al-Quran itu adalah bahasa Arab orisinil, atau ada kata-kata serapan bahasa asing yang telah terarabkan (ta’arib)?
Akibat polemik tersebut muncullah studi ilmu fiqhu al-lughah yang digunakan dalam pegkajian filologi linguistik qur’anik. Karya-karya ulama klasik mewarnai ilmu fiqh al-lughah ini seperti al-Khasais karya Abu al-Fath Usman ibn Jinni, al-Shahibi fi Fiqh al-Lughah karya Ahman ibn Faris, dan al-Muzhar fi Ulum al-Qur’an karya Jalaluddin Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-Suyuthi. Pada perkembangannya, ulama kontemporer juga turut menyempurnakan disiplin fiqh al-lughah ini seperti karya Ali Abd al-Wahid al-Wafi yang berjudul ‘Ilm al-Lughah dan Fiqh al-Lughah, serta Fushul fi Fiqh al-Lughah al-‘Arabiyah karya Abd al-Tawwab Ramadhan.
Dalam ilmu fiqh al-lughah memang terdapat beberapa kosa kata bahasa asing dalam Al-Quran yang diprediksi bukan dari bahasa Arab asli. Para cendekiawan klasik dan modern sebenarnya berbeda pendapat soal ini. terdapat tiga pandangan, ada yang menolak secara mutlak, sedikit menerima, hingga menerima secara terbuka, tentunya dengan dalil masing-masing. Namun jumhur ulama seperti Ibnu Abbas dan murid-muridnya yang terkenal mufassir masyhur berpandangan bahwa memang terdapat kosa kata musta’ribah dalam Al-Quran.
Cendekiawan seperti Jawaliqi, Suyuthi, dan Kaffaji sepakat dengan pandangan Ibnu Abbas. Pada perkembangan selanjutnya pandangan ini dikaji oleh orientalis seperti Arthur Geoffrey yang menelurkan buku The Foreign Vocabulary of The Qur’an, sejarawan kontemporer Ahab Bdaiwi dari Cambridge University dan Leiden University serta pakar linguistik Arab lainnya.
Baca juga: Memahami Makna Tilawah al-Quran dari Segi Bahasa dan Penggunannya dalam Al-Quran
Kata-Kata Musta’ribah dalam Al-Quran
Dalam ilmu fiqh al-lughah ada beberapa kata yang diprediksi telah mengalami pengaraban atau beragining kata yang disebut musta’ribah. Kata-kata tersebut antara lain adalah lafadz سجل dalam surah Al-Anbiya ayat 104. Menurut Suyuthi Jawaliqi, dan Khaffaji sepakat kata tersebut berasal dari bahasa Absynia yang berarti رَجَلً (lelaki), namun Khaffaji mengartikannya surat. Ibn Jinni sepakat dengan Khaffaji yang mengartikannya surat, namun ia berpendapat bahwa kata itu berasal dari Bahasa Parsi. Berbeda dari dua pandangan di atas, Arthur Geoffrey menyatakan bahwa kata ini bukan berasal dari Absynia maupun Parsi, tetapi dari bahasa Yunani yang setara dengan bahasa Latin sigillum.
Kata قِرْطَاس dalam surah Al-An’am ayat 7 juga diprediksi sebagai bahasa asing. Menurut sebagian pakar linguistik dan filologi qur’anik, kata ini berasal dari bahasa Yunani charta dan dalam bahasa Absynia berarti kartas. Namun para mufassir seperti al-Farra’ dan Raghib Isfahani berpendapat bahwa kata ini asli dari bahasa Arab yang berarti shahifah atau lembaran.
Baca juga: Alasan Kenapa Al-Quran Diturunkan Berbahasa Arab
Sejarawan kontemporer sekaligus sarjana Islamic studies Ahab Bdaiwi mengkaji kata-kata musta’ribah dalam Al-Quran yang ia telaah dari ulama-ulama klasik. Ia menyimpulkan bahwa di dalam Al-Quran terdapat beberapa kata asing yang berasal dari Ethiopia, Persia, India, Turki, Nabatean, Syria, Koptik, Ibrani, Yunani, Berber, dan Abysinia.
Menurut Bdaiwi dalam surah AN-Nisa’ ayat 51, lafadz جِبْت adalah nama setan dari Ethiopia kuno, sedang lafadz طَاغُوْت artinya adalah singkatan dari nama peramal atau tipe dari seorang penyihir. Pendapat ini ia kutip dari kritikus Hadis Ibn Abi Hatim yang juga mengutip pandangan Ibn Abbas.
Kata-kata Persia dalam Al-Quran menurut Bdaiwi adalah lafadz اسْتَبْرَق yang muncul 4 kali seperti dalam surah Al-Kahfi ayat 31 yang berarti tebal yang merujuk untuk menyifati “sutra yang tebal”. Tentang kosa kata yang berasal dari India Bdaiwi mengutip Suyuthi untuk lafadz ابْلَعِي dalam surah Hud ayat 44 yang berarti makanan atau minuman. Bdaiwi juga mengutip pandangan Ibn Abi Hatim bahwa semua lafadz كفر dalam Al-Quran sepertinya meminjam dari bahasa Ibrani yang berarti menutupi atau menyembunyikan.
Baca juga: Introducing English Semantics: Teori Semantika Al-Quran Ala Charles W. Kreidler
Kata-kata Nabatean juga ditemukan beberapa dalam Al-Quran seperti lafadz طَوْر سِيْنيْنَ dalam surah al-Tin ayat 2. Kemudian lafadz الْحَوَّارِيُّوْنَ adalah bahasa Nabatean dan lafadz اَسْفَارًا yang berarti buku. Indikasi kata Berber dalam Al-Quran juga ditemukan dalam surah Al-Ma’arij ayat 8 pada lafadz المُهْل yang dimakanai sebagai “jatuh” atau “jatuh ke bawah”.
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, dalam disiplin filologi qur’anik memang dikembangkan penemuan-penemuan baru tentang kata-kata musta’ribah ini. Selain terdapat perbedaan pandangan antar mufassir mengenai hal ini, upaya tentang perkembangan studi fiqh al-lughah atas asal-usul kata tersebut terus diteliti oleh para pakar.
Kasuistik tersebut sebetulnya tidak perlu ditanggapi negatif oleh umat muslim, karena pada hakikatnya Al-Quran sendiri tidak tereduksi otentisitasnya sebab adanya kata-kata musta’ribah tersebut. Dan sebagai seorang muslim yang bijak upaya para mufassir dan cendekiawan untuk terus mengembangkan kajian kata-kata musta’ribah tersebut sejatinya akan memperkaya disiplin keilmuan tafsir Al-Quran. Karena dalam Islam sendiri ijtihad terbuka lebar yang menurut Hadis Rasulullah akan mendapatkan dua pahala apabila benar, dan satu pahala apabila keliru. Wallahu a’lam[]