Kriteria ‘Ulul Albab’ dalam Alquran

kriteria ulul albab dalam Alquran
kriteria ulul albab dalam Alquran

Konsep kecerdasan dalam Islam sedikit berbeda dengan definisi cerdas secara umum. Orang–orang yang terpilih karena kecerdasannya oleh Al-Quran disebut sebagai golongan ulul albab (terjemahan kemenag: orang-orang yang berakal). Mereka inilah yang menjadi standariasi kecerdasan di dalam Islam.

Dilihat dari sisi kebahasaan, kata Ulul sendiri merupakan piranti kepemilikan dalam bahasa Arab. Sedangkan kata Albab merupakan bentuk jamak dari kata Lubb, menurut Imam Al-Ghazali Lubb merupakan intisari dari hati manusia. Jadi pada dasarnya, konsep kecerdasan dalam Islam tidak sepenuhnya berhubungan dengan kejeniusan akal, namun juga hal-hal yang berhubungan dengan hati.

Baca Juga: Konsep Kepribadian Ulul Albab dalam Surat Ali ‘Imran Ayat 190-191

Surah Ali Imran ayat 190-191 menunjukkan kepada orang-orang yang beriman tentang standar menjadi ulul albab. Dalam dua ayat ini, predikat ulul albab bukan sekadar untuk orang-orang yang cerdas secara intelektual saja, tetapi juga cerdas secara emosional dan lainnya.

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًاج سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (191)

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal (190) (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka”. (Q.S. Ali ‘Imrān/3: 191).

Merenungi ayat-ayat qauliyah dan kauniyah

Menurut ayat di atas, kecerdasan orang yang berpredikat Ulul Albab sudah sampai pada level pemikiran kritis. Tidak hanya mampu menggunakan akal, namun juga mampu mengeksplorasi akalnya. Standarnya, dengan apa yang sudah dihadirkan Allah di dunia ini, dia mampu berpikir tentang konsep ketuhanan. Hal ini seperti kekritisan Nabi Ibrahim saat mempertanyakan konsep ketuhanan.

Dalam Kitab Asbabun Nuzul di sebutkan, bahwa ayat ini turun saat orang-orang Quraisy meminta Rasulullah saw. berdoa agar bukit Shafa dijadikan emas sebagai bukti kenabiannya. Kemudian ayat ini turun, sebagai bentuk sindiran kepada bangsa Arab Quraisy yang tak mampu menggunakan akalnya dengan baik. Hal ini dikarenakan beberapa hal.

Pertama, Standar Tuhan menurut Kafir Quraisy diukur menggunakan benda yang bersifat kuantitatif, mereka hanya memedulikan harta, berhala-berhala yang mereka sembah terbuat dari logam-logam mulia. Kedua, permintaan orang-orang kafir tersebut tidak terlihat sebagai tuntutan pembuktian yang berbobot, karena seharusnya dengan kecerdasan mereka, mereka mampu mengajukan pembuktian yang lebih masuk akal. Hal ini mencederai citra masyarakat Arab yang terkenal cerdas dalam bertutur kata.

Ulul Albab tidak hanya membaca ayat-ayat Allah yang bersifat Qauliyah (ucapan), tetapi juga mampu mempelajari dan mentadabburi ayat-ayat Allah yang bersifat Kauniyah (alam ciptaan Tuhan). Mereka yang cerdas dalam menangkap pesan dan nilai yang terkadung di alam semesta inilah yang disebut ulul albab.

Dalam Tafsir Mafatih Al-Ghaib disebutkan, bahwa Rasulullah pernah bersabda bahwa “Sungguh celaka orang yang hanya membaca ayat ini, namun tidak mau memikirkannya lebih jauh”.

Baca Juga: Konsep Makna Uli An-Nuha dalam Tafsir Surah Thaha Ayat 49-55

Cerdas intelektual dan emosional

Tidak hanya mempelajari dan memahami tanda-tanda kekuasaan Allah, ulul albab juga melibatkan Allah dalam segala gerak geriknya, dalam keadaan Qiyam (berdiri), Qu’ud (duduk), dan Junub (berbaring). Al-Qurthubi menafsirkan kata-kata tersebut sebagai ‘setiap waktu’, karena manusia pasti melakukan ketiga hal tersebut setiap harinya. Sedangkan ‘Ala’uddin Al-Baghdadi menyebutkan bahwa yang dimaksud ketiga kata di atas, adalah setiap kondisi manusia, karena ketiganya berhubungan dengan shalat. Saat seseorang bisa shalat sambil berdiri (Qiyam), atau sambil duduk (Qu’ud), maupun berbaring (Junub), mereka tak melupakan Allah.

Saat sehat, mereka ingat Allah sebagai Sang Maha Pemberi, termasuk kesehatan. Sedangkan di saat sakit dan terpuruk, mereka juga ingat bahwa Allah adalah Sang Maha Penolong, yang akan membantu mereka kembali berdiri. Bagian ini mungkin yang mengarah pada maksud bahwa ulul albab tidak hanya berhubungan dengan kecerdasan intelektual, melainkan juga kecerdasan emosional.

Termasuk bagian dari cerdas secara emosi yaitu menjaga diri untuk tidak bersikap su’ dzan kepada Allah, karena para ulul albab ini mereka yakin bahwa tidak pernah ada ciptaan Allah yang sia-sia (Maa Khalaqta Hadza Bathila). Semua memiliki maksud dan tujuannya masing-masing. Dengan demikian, ulul albab ini akan pandai mengelola setiap keadaan dan peluang untuk menjadikannya sesuatu yang bermanfaat. ِ

Sebagaimana bunyi sebait syair,

إِذَا الْمَرْءُ كَانَتْ لَهُ فكْرَةٌ … فِفِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ عبرَة

“Selama seseorang masih punya akal … ada pelajaran di balik segala permasalahan”

Ulul Albab merupakan orang-orang proporsional yang mampu menciptakan keseimbangan antara akal dan hati, antara logika dan iman. Wallah a’lam