Taha Hussain adalah tokoh kelahiran 14 November 1889 dan wafat pada 28 Oktober 1973. Dia merupakan tokoh yang cukup terkenal dan kontroversial di masanya. Sumbangsihnya dalam bidang pendidikan dan sastra Arab cukup membuat Mesir dan Dunia Islam panas.
Taha digugat atas karyanya yang berjudul Fī al-Syi’rī al-Jāhilī yang kemudian dia revisi nama serta kontennya menjadi Fī al-Adāb al-Jāhilī disebabkan banyaknya gugatan agar buku itu dihentikan penyebarannya. Saat ini kita akan sulit menemukan karyanya yang pertama. Kecuali tulisan yang sudah dikaji ulang dan diimbuhi beberapa komentar tokoh di awal serta mengikutkan naskah “asli” nya di bagian akhir. Saya tidak bisa memastikan itu asli atau tidak, karena memang tidak ada referensi lain selain tulisan itu.
Dalam karyanya, Taha Hussain mengkritik habis-habisan tentang keotentikan syair jahiliah. Dengan beberapa faktor kecurigaan yang muncul dari benaknya, dia mengungkapkan bahwa syair jahiliah tidak lagi asli dari kaum jahiliah, syair tersebut sudah disusupi oleh beberapa kepentingan sejak munculnya Islam.
Baca Juga: Biografi Mahmud Syaltut: Tokoh Perintis Penerapan Tafsir Tematis
Penilaian itu bermula dari dua hal. Pertama, kontra-narasi antara syair jahiliah dan Alquran dalam penggambaran keadaan masyarakat Arab Jahiliah. Syair jahiliah menggambarkan bahwa keadaan masyarakat saat itu biasa-biasa saja, kebobrokan mereka sebagaimana diungkapkan Alquran nyaris tidak ditemukan disana. Padahal, kita ketahui al-Qur’an tersebut turun di Arab, menggunakan bahasa serta meng-upgrade Agama mereka serta meluruskan keadaan masyarakat sebelum diturunkannya kepada Nabi Muhammad. Alquran menyebutkan beberapa pembangkangan mereka, peperangan lisan dengan Nabi, serta kebodohan lain. Alquran yang turun di Arab banyak menyinggung tentang kaum Yahūdī penyembah berhala Naṣrani, kaum Ṣabi’un dan kaum Majūsī (Fī al-Adāb al-Jāhilī, 79).
Namun, Alquran tidak sedikitpun menyinggung kaum Yahūdī yang ada di Palestina, Kaum Naṣranī di Rūm, Kaum Majūsī di Persia dan yang lainnya, ia hanya membahas secara spesifik di daerah Arab saja. Ini menandakan bahwa pembahasan Alquran fokus pada mereka. Lalu, apakah kebobrokan demikian itu kita temukan dalam syair jahiliah? Tidak!
Kedua, ketidak selarasan bahasa Arab klasik dan bahasa syair. Dalam sejarah bahasa Arab, mereka dibagi 2 bagian. Yakni Bahasa Qahthan yang umumnya dipakai di Yaman dan Adnan di Hijaz. Keduanya berbeda dari pemakaian kata serta lahjahnya. Keduanya juga berbeda dengan bahasa Alquran. Namun dalam sya’ir mereka tidak ditemukan perbedaan kedua bahasa itu, begitu juga perbedaannya dengan bahasa Alquran, nyaris hampir sama (Fī al-Syi’rī al-Jāhilī, 229).
Disinilah Taha Hussain meyakini bahwa puisi yang seringkali dibawa oleh beberapa penyair, Umru al-Qais, Tarafah, dan Antarah adalah kepalsuan yang kemudian disandarkan kepada mereka. Pemalsuan itu dilatar belakangi oleh beberapa kepentingan:
Kepentingan politik
Kepentingan politik penyebaran Islam menjadi latar belakang yang hampir penting, menurut Ṭaha, sejak Islam datang, penyebaran dan antusias para sahabat begitu besar. Kemenangan Islam saat Hijrah ke Madinah menguasai semua lini, sejak itu kaum Quraisy minder dan peperangan besar seperti Badar dan Uhud terjadi.
Sejak Makkah mampu ditahlukkan, Sahabat Umar melarang para perawi meriwayatkan syair, dan kemudian memperbolehkannya. Ibnu Salam, dikutip oleh Taha dalam karyanya : “Periwayatan syair jahiliah sedikit sekali, namun kian banyak saat Islam hadir” (Fī al-Syi’rī al-Jāhilī, 254).
Kepentingan Agama
Kepentingan ini hampir mirip dengan politik, sejalan beriringan. Propaganda keabsahan diutusnya Nabi Muhamnad menjadi faktor pendorong, mereka mengungkapkann bahwa kemunculan Nabi Muhammad telah lama dinanti oleh para cendekiawan dan pendeta Arab, serta rabi Yahudi dan biarawan Kristen. Referensi itu tidak bisa didapat kecuali dengan melihat berita dan legenda klasik. Menurut Ṭaha, pemalsuan juga terjadi ketika memalsukan Nasab Nabi (Fī al-Syi’rī al-Jāhilī, 272).
Fanatisme kesukuan
Sejak kekalahan Persia, tawanan mereka hidup di tengah-tengah Arab, menjadi masyarakat Arab dan menggunakan bahasa mereka sampai mereka beranak pinak. Namun demikian, mereka tetap tidak diterima sampai ia mampu menggubah syair Arab dan menjadi sekutu mereka dalam pembentukan syair bernuansa politik (Fī al-Syi’rī al-Jāhilī, 308).
Kisah
Penyampaian di masjid yang dibawa pada era para khalifah: Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali, sudah biasa membahas tentang Arab kuno dan non Arab serta perihal kenabian. Para pendengar terkesima hingga terkadang mereka berfikir keras bahkan menggunakan nalar tanpa adanya kapabilitas keilmuan dan kebenaran.
Baca Juga: Mengenal Asma Barlas Sebagai Tokoh Tafsir Feminis
Para pemimpin masa awal memandang cara ini efektif untuk mempengaruhi mereka dalam bidang Agama dan politik. Sehingga mereka mengarangnya, mengeskploitasi dan menyebarkannya secara luas. , dan alat yang biasa digunakan adalah syair (Fī al-Syi’rī al-Jāhilī, 292).
Kepentingan pribadi perawi
Ada kepentingan individual yang bertujuan untuk mengangkat rating mereka. Antara dua kemungkinan, 1). Mereka orang Arab, 2). Mereka terpengaruhi oleh orang Arab. Sebagai contohnya adalah Hammad dan al-Ahmar. Hammad adalah pemimpin Kuffah dalam bidang periwayatan dan hafalan, sedangkan al-Ahmar adalah pemimpin kota Baṣrah dalam hal itu. Keduanya memiliki perangai yang buruk, pemabuk, tidak memiliki kapabilitas keagamaan, tidak memiliki moral, kesopanan dan martabat. Mereka terlalu berlebihan dalam dirinya (Fī al-Syi’rī al-Jāhilī, 319).
Dengan ini, jika ditarik kesimpulan, Taha Hussain sangat meyayangkan jika syair jahili yang tidak otentik tersebut harus memiliki ruang dalam penafsiran. Yang harusnya terjadi adalah; al-Qur’an yang memiliki posisi dalam penggambaran kehidupan jahiliah atau penjelasan dari syair jahiliah. al-Qur’an sebagai teks Arab paling dapat diandalkan dan tidak ada keraguan lagi, jangan sampai ketidak kreadibilitasan keilmuan seseorang yang terkadang membaca semua fan keilmuan dan tidak mendalami salah satupun dengan mudah menengadahkan tangan saat ingin menafsirkan al-Qur’an dengan syair jahiliah (Fī al-Syi’rī al-Jāhilī, 378). Wallahu A’lam.